Ibukota negara Indonesia pindah. Presiden & seluruh dedengkot pemerintahan pun mulai bersiap angkat kaki dari Jakarta. Menuju Ibu Kota baru yang berlokasi di Kalimantan. Tapi hingga hari kemerdekaan tahun ini terlihat belum ada progress baik dari IKN.Hanya huru-hara saja yang makin terlihat.
Istana baru yang digadang-gadang malah menimbulkan polemik baru. Entah karna desainnya jauh dari harapan, garuda yang tampak lesu, hingga perancangnya ternyata mempunyai background pematung, bukan arsitek. Lantas untuk apa tempo hari membuat lomba desain istana presiden baru kalau desain yang dipakai bukan dari pemenangnya. Padahal hadiahnya fantastis sekali! 2 milyar besarnya. Nilai maksimal tabungan yang bisa dijamin oleh lembaga pemerintah.
Daripada menilik mengenai desain Istana barunya. Kok saya lebih tergelitik dengan cara public relation kepresidenan menangani berita miring ini. Kenapa I Nyoman Nuarta yang harus turun tangan menanganinya? Dan berujung blunder. I Nyoman Nuarta bukan saja meredakan emosi publik, malah semakin menuang pertalite ke dalam kobaran api.
Kalau saya jadi PR kepresidenan alih-alih berdiam diri saja, saya akan membuat berita mengenai asal-usul burung Garuda. La apanya yang diributkan lo? Burung Garuda saja tidak nyata. Tidak ada yang namanya burung garuda di dunia ini. Garuda diambil dari pewayangan, untuk gambarannya pun dibuat seperti elang jawa. Upaya itu agar mampu meredam opini publik. Selain itu kan, waktunya cukup berdekatan dengan hari kemerdekaan. Saya rasa sangat pas sekali mengedukasi publik lagi.
Setelah itu, saya akan menerangkan alasan dibalik kepala Garuda yang tertunduk. Bukan karna malu dengan kondisi Ibu Pertiwi yang dirampas kebebasan berbicaranya. Tapi kepala Garuda tertunduk sebab bersiap untuk terbang tinggi. Seperti burung elang saat mulai terbang kepalanya pasti akan tertunduk. Bukankah cara-cara diatas cukup bagus untuk seorang amatir? Daripada perancangnya harus berduel kata dengan publik di kolom komentar.
 Sebetulnya saya heran, kok bisa melakukan keblunderan semacam itu. Kan selama ini para politisi saja sudah cukup umum menggunakan hominem semacam ini. "Tidak ada yang namanya banjir adanya hanya air menggenang" Bukankah cara saya ini serupa dengan apa yang sering dilakukan politisi Indonesia? Apakah ini berarti benar adanya Tom Lebong adalah otak dibalik kejeniusan komunikasi era Jokowi sebelumnya? Kemana penanganan media masa yang selalu out of the box pemerintahan Jokowi? Upss saya lupa Tom Lebong pindah ke kotak suara sebelah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H