Era reformasi membawa perubahan yang mendasar pada seluruh tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak terkecuali pemilihan kepala daerah (pilkada). Lebih dari satu dasawarsa telah dilakoni, pilkada terus mengalami modifikasi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan dari rakyat di daerah itu sendiri.Â
Pelaksanaan pilkada secara langsung sebagaimana yang telah diterapkan sekarang bukan tanpa melewati halang rintang. Butuh waktu yang tidak singkat pula hingga pada akhirnya perwujudan asas kedaulatan rakyat di daerah untuk menghasilkan pemimpin definitif sekaligus memiliki legitimasi yang kuat dapat diaktualisasikan.Â
Bongkar pasang peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan kepala daerah menjadi contoh konkret bahwasanya pembentuk undang-undang masih mencari cara terbaik untuk mengimplementasikan amanat Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Â
Melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 sebagaimana yang telah diubah beberapa kali menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada), pilkada mengalami transisi mekanisme yang baru untuk memperebutkan kekuasaan sekaligus perwujudan demokratisasi di daerah yakni dilaksanakan secara serentak.
Dalam ranah teoritis, konsep pemilu serentak adalah suatu kebijakan politik untuk melakukan penggabungan pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif dalam satu hari H pemungutan suara. (Ria, 2014, hal. 532).
Pilkada serentak 2020 menjadi pelaksanaan pilkada yang sangat berbeda dan memiliki tantangan tersendiri daripada tahapan pilkada sebelumnya sebab dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19.Â
Kondisi darurat kesehatan kemasyarakatan memaksa Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bersama dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menunda pelaksanaan pilkada yang semula dijadwalkan pada bulan September 2020 menjadi bulan Desember 2020 sebagaimana yang diatur dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2020.Â
Kondisi menarik lain yang perlu dikritisi di Pilkada 2020 ialah meningkatnya jumlah calon tunggal di berbagai daerah. Dilansir dari data KPU bahwa terdapat 25 kabupaten/kota yang hanya memiliki satu pasangan calon dalam pilkada di daerah tersebut.
Sejatinya UU Pilkada memang mengamini pelaksanaan pilkada hanya dengan satu pasangan calon sebagai upaya terakhir. Legalitas calon tunggal pada pilkada tidak lepas dari "restu" Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 bahwa terdapat kekosongan hukum jika pilkada tidak diikuti sedikitnya 2 (dua) pasangan calon sebagaimana yang diatur dalam UU Pilkada dan berpotensi melanggar hak untuk dipilih dan hak untuk memilih manakala norma tersebut tidak dipenuhi.Â
Trend pilkada hanya dengan satu pasangan calon terus meningkat pada setiap perhelatan demokrasi di daerah. Pada tahun 2015, sebagai tahun tahapan pilkada serentak pertama, terdapat 3 (tiga) daerah yang memiliki satu pasangan calon, kemudian meningkat menjadi 9 (sembilan) daerah pada Pilkada 2017, dan meningkat kembali menjadi 16 (enam belas) daerah pada Pilkada 2018, dan terkini pada Pilkada 2020 terdapat 25 (dua puluh lima) daerah.Â
Semula diyakini bahwa hanya dengan menghadirkan satu pasangan calon pada pilkada  merupakan manuver dari kalangan elite politik untuk menjegal pasangan calon (yang juga berstatus petahana) agar tidak dapat maju sebab akan menciptakan akibat hukum daerah tersebut harus menunda pelaksanaan hingga pilkada berikutnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 89 ayat (4) Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Namun dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 seolah memutarbalikkan manuver politik tersebut secara nasional.