Mohon tunggu...
Rizky Muhamad Subagja
Rizky Muhamad Subagja Mohon Tunggu... -

Mahasiswa S1 PKn FPIPS UPI

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemilu 2014 dan Golput

14 Maret 2014   01:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:58 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Atmosfer politik Pemilu 2014, baik Pemilihan Legislatif 9 April dan Pemilihan Presiden 9 Juli sudah mulai terasa. Sebagai warga negara yang baik, hendaknya kita ikut menyukseskan dengan memberikan hak suara sesuai hati nuraninya, namun sebagian orang menyatakan untuk tidak memberikan hak suaranya atau golput (golongan putih) dengan berbagai alasan. Golput merupakan rival atau musuh bebuyutan pada kali setiap pemilu, terutama dalam pemilu 2014.

Motif golput dilihat dari dua zaman, zaman dulu muncul pada pemilu 1971 karena kegagalan rezim Orde baru (Orba) memberikan demokrasi bahkan bersifat otoriter, sedangkan golput zaman kini di era reformasi lebih didorong justru oleh sikap phobia terhadap demokrasi itu sendiri atau apatis terhadap permasalahan negaranya dan partai politik dianggap gagal memberikan alternatif dalam kultur demokrasi dengan hadirnya calon pemimpin yang lebih kompeten dan peduli kepada rakyat.

Golput, Hak atau Kewajiban
Golput sebagai hak atau kontra terhadap pemilu diartikan jika seseorang tidak memberikan hak suara politiknya karena tindakan apatisme pemilih. Rakyat sebagai pemilih merasa apatis terhadap agenda pesta demokrasi dianggap hanya menguntungkan elit politik semata, bosan dengan janji palsu kampanye yang dilakukan oleh pegiat politisi. “Kalau tidak ada yang bisa di percaya, ngapain repot-repot ke kotak suara? Dari pada nanti kecewa” (Abdurrahaman Wahid, dkk, 2009: 1). Hemat saya, hak suara dari kaum golput itu sangat diperlukan untuk menentukan sosok pemimpin yang unggul dalam menentukan kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik.

Sebagai kewajiban bukan berarti menyuruh untuk melakukan golput, tapi diartikan seseorang dituntut untuk ikut andil dalam memberikan hak suaranya atau pro terhadap pemilu bahkan ada pihak yang mengklaim golput itu haram atau dosa, mubazir, dan sebagainya. Mantan Presiden PKS dan MPR-RI, DR. Hidayat Nur Wahid pernah meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengeluarkan fatwa haram bagi kaum golput. Jadi, jika seseorang golput, maka ia telah berdosa. Fatwa tersebut agar meminimalisir tingginya golput pada pemilu.

Mencederai Demokrasi
Pada era reformasi ini, kita harus cerdas memahami bahwa tindakan golput adalah tindakan tidak benar karena demokrasi tidak melegalkan seseorang untuk tidak memilih, melainkan membebaskan warga negara untuk menentukan hak pilih sesuai hati nuraninya. Bertindak golput berarti sama saja mencederai bahkan kehilangan aura atau pesonanya, seolah sistem demokrasi ini tidak jauh beda dengan sistem negara lainnya, baik komunis maupun liberal. Tindakan golput di republik ini merupakan penyakit demokrasi yang harus segera diobati dan tergolong sebagai tindakan pembakangan sipil (civil disobedience) terhadap aturan negara.

Mengatasi Golput
Pertama, pentingnya pendidikan politik. Menurut Undang-Undang Nomor. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, pendidikan politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Inti pendidikan politik agar  masyarakat melek politik (politics literacy) maka timbul kesadaran hak dan kewajiban sebagai warga negara yang baik.

Salah satu tujuan pendidikan politik yang lebih bersifat nyata dan rasional adalah meningkatnya partisipasi rakyat dalam pemilihan (electoral participation ), salah satunya adalah pemilu ( general election). Sekolah, perguruan tinggi, organisasi kemasyarakatan dan partai politik sebagai sarana pendidikan politik. Didalam pendidikan politik harus memberikan penanaman nilai budaya politik berlandaskan pada ideologi Pancasila, konstitusional UUD 1945, historis Sumpah Pemuda 28 Oktober 1982, serta Proklamasi 17 Agustus 1945. Politisi dari berbagai partai politik selain memberikan pendidikan politik tapi ia juga harus menepati janji kampanye yang diusungnya.

Peran pendidikan politik yang dilakukan partai politik diatur Undang-Undang No. 2 tahun 2011 tentang perubahan Undang-Undang No. 2 tahun 2008 tentang partai politik. Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan edukasi politik melalui perannya melaksanakan tahapan pemilu demi terwujudnya pemilu yang demokratis, lansung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana diatur Undang-Undang No. 22 tahun 2007 tentang penyelenggaraan pemilu. Lembaga legislatif (DPR,DPRD,DPD) juga memiliki peran dalam melakukan pendidikan berdasarkan pasal 29 UU No. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD, DPD.  Sementara masyarakat melakukan pendidikan politik sebagimana diatur dalam Pasal 247 UU No. 8 tahun 2012 tentang pemilu.

Kedua, menciptakan pemilu yang baik. Susilo Bambang Yudhoyono (2011 dalam Bakir Ihsan, 2012:102), Pemilu yang baik ditentukan oleh: 1) Sistem pemilu yang tepat, yang mencerminkan free dan fair; 2) Kelembagaan penyelenggaraan pemilu, KPU yang kredibel; 3) Manajemen pelaksanaan, penghitungan suara, dan pengawasan pemilu objektif dan efektif; 4) Kesadaran dan pengetahuan masyarakat untuk menggunakan haknya dan dapat berpartisipasi dalam pemilihan umum dengan baik; 5) Keberhasilan pemilu juga tecermin dari ketertiban pemilu tanpa kekerasan, dan aksi-aksi anarki yang lain.


Idealnya setiap pemilu, terutama Pemilu 2014 dilaksanakan secara demokratis, berkala, bebas, jujur, adil, dan damai bila didukung juga oleh berbagai faktor, diantaranya tegaknya keterwakilan terhadap pemimpin, akuntabilitas, tingginya kepercayaan publik, tercapainya kesejahteraan dan keadilan sosial bagi  seluruh rakyat Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun