Mohon tunggu...
Rizky Mediantoro
Rizky Mediantoro Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Dua puluh empat, dan besar bersama Indonesia! :)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Rectoverso Joko Widodo

25 Maret 2014   23:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:29 1592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ir. H. Joko Widodo, itulah beliau, mantan Walikota Kota Surakarta yang saat ini banyak di gantungkan harapan oleh banyak orang sebagai calon pucuk pimpinan Negara di Masa depan. Tidak sedikit dari mereka yang tersebar di setiap lapisan masyarakat, membangun optimisme rekan serta keluarganya bahwa ada sebuah harapan baru untuk Indonesia. Bagaikan gayung bersambut, pribadi-pribadi yang diyakinkan tersebut, dikukuhkan keyakinannya oleh media yang memberitakan dari gaya kepemimpinan sosok Joko Widodo dengan apik di Kota Batik, hingga bagaimana beliau membeli sepasang sepatunya di Kota Jakarta.Tingkah polahnya yang sederhana, santun, namun berwibawa seakan menjawab kejengahan masyarakat atas warisan budaya feodalistis. Masih melekat dengan erat bagaimana beliau memenangkan hati masyrakat Jakarta melalui dua putaran dengan dramatis, dan dari situlah semua cerita serta harapan bermula.

Sepertinya tidak ada yang istimewa ketika beliau memimpin Kota Surakarta. Terjun langsung melihat kondisi masyarakat di lapangan dengan meninjau pasar tradisional, menata para pedagang kaki lima dengan segala cara, mengumpulkan warga untuk mendengarkan keluh-kesahnya, mengakui keberadaan produk lokal dengan menjadikan mobil Esemka sebagai mobil dinasnya, dan masih banyak lagi yang dilakukan untuk menjawab mandat yang diberikan kepadanya, karena memang itu adalah yang menjadi kewajibannya sebagai Walikota.

Namun semua itu terlihat berbeda, ketika beliau membawanya ke Jakarta melalui kemeja kotak-kotaknya untuk menghadapi pemilukada putaran pertama yang dihelat pada 11 Juli 2012. Sukses memikat hati para pemilih, arjuna baru politik Indonesia telah lahir melalui dua putaran. Mengusung tagline Jakarta Baru, beliau memang memberikan suguhan baru sebagai Gubernur yang melakukan perubahan pada Kota Metropolitan. Merelokasi pasar Tanah Abang, dan melakukan normalisasi waduk Pluit serta Ria-Rio adalah sebagian kecil kontribusi karya untuk menata Jakarta. Kontribusi nyatanya bahkan mengingatkan rakyatnya akan sosok pemimpin yang ideal sekelas Bapak Ali Sadikin.

Bulan madu tidak sampai disitu, keberaniannya untuk melakukan reformasi birokrasi di tubuh pemerintahannya dinilai cukup berhasil, melalui proses lelang jabatan. Kini pelayanan langsung kepada masyarakat di tingkat kelurahan kualitasnya mengalami peningkatan cukup signifikan. Dinas-Dinas pun tidak ketinggalan, kinerja dan penyerapan anggaran digenjot oleh beliau agar dapat berlari mengikuti jalur geraknya. Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar yang menjadi janji kampanyenya, dibagikan langsung sebagian kepada masyarakat melalui blusukan yang telah menjadi ciri khasnya. Sebagai Gubernur Jakarta, apa yang telah dilakukannya menjadi kenyamanan dan kepuasan tersendiri bagi warganya.

Namun kenyamanan itu mulai tidak mendapatkan rasa aman dihati warganya ketika mendekati pesta demokrasi. Bagaimana tidak, hampir di setiap Media massa dan survei yang dilakukan lembaga berbeda, menempatkan Gubernur baru mereka sebagai calon presiden yang memiliki popularitas tertinggi. Tetapi rakyat Jakarta masih bisa bernafas dengan teratur, mengingat janji Gubernur tercintanya semasa kampanye adalah menyelesaikan pengabdian satu periode kepemimpinan.

Cukup mudah untuk menemukan jejak Ir. H. Joko Widodo. Gubernur yang tidak pernah sepi berita ini, hampir setiap hari diikuti oleh kawan-kawan kuli tinta di mana beliau berada. Tidak sulit pula masyarakat mengetahui sikap beliau menanggapi hal-hal yang berkaitan dengan kabar pencalonan presiden dari dirinya. Copras-capres, Copras-capres, saya ndak mikir, itulah tanggapan beliau yang muncul hampir di setiap media yang bertanya kepadanya. Masyarakat bisa bernafas lega mendengar tanggapan Gubernur unik mereka perihal isu tersebut, terlebih konfrensi pers yang dilakukan dirinya pada tanggal 20 September 2012 di kediaman Ibu Megawati, yang menyatakan akan menyelesaikan jabatannya selama lima tahun dan tidak akan menjadi kutu loncat.

Sikap yang baik dari karakter yang kuat tercermin dari sosok sederhana beliau, dan masyarakat percaya kepadanya. Abraham Lincoln presiden ke-16 Negeri Paman Sam pernah berkata, “untuk menguji karakter seseorang, berilah dirinya kekuasaan”. Kuasanya terhadap Jakarta tidak merubah kepribadiannya, dan iming-iming kekuasaan atas Nusantara tidak menggoyang karakternya. Masyarakat semakin percaya, praktis popularitasnya semakin berjaya di setiap media. Namun tepat di hari ke-515 berjalan semenjak beliau di lantik pada tanggal 15 Oktober 2012, sebuah perintah harian yang ditulis tangan oleh “Ibu”, melahirkan keputusan yang luar biasa, Gubernur Jakarta Baru secara resmi di mandatkan untuk ikut bertarung dalam merebut Indonesia Satu. Berbagai reaksi muncul hingga ke akar rumput, ada yang senang ada yang cemberut, ada yang semangat dan juga ada yang kalang kabut.

Sosok yang berjaya di setiap survei juga turut ikut bersaing merebut kekuasaan atas Nusantara. Bukan sekedar cerita, keputusan tersebut mereduksi sebagian kepercayaan masyarakat kepadanya, “terlalu cepat” adalah komentar yang sering di dapat apabila kita merapat ke hampir setiap kalangan masyarakat, meskipun keputusan itu “naik” di saat yang tepat. Terlepas dari keyakinan bahwa politik adalah momentum, momen haru pencalonan presiden beliau dapat dinilai sebagai politik Rectoverso dari seorang Ir. H. Joko Widodo.

Rectoverso merupakan kata yang diambil dari bahasa prancis, dan pernah menjadi judul album dari karya Dewi Lestari, yang memiliki artisebuah gambar yang seolah-olah terpisah padahal menjadi satu kesatuan yang menyeluruh. Ir. H. Joko Widodo jelas berbeda apabila melihat dari gaya kepemimpinannya, serta cara bagaimana beliau menjawab mandat yang diberikan kepadanya. Namun keputusannya untuk ikut merebut posisi Indonesia Satu harus kita cermati bersama, terutama dalam bentuk pengabdian yang akan diberikannya kepada Bangsa dan Negara.

Berbicara tentang pengabdian, seharusnya dengan hanya menjadi Walikota Surakarta atau menjadi Gubernur Jakarta dengan baik saja sudah merupakan bentuk pengabdian yang luar biasa. Saat ini Indonesia memiliki banyak kader Bangsa dengan berbagai macam latar belakang yang layak untuk dijadikan pimpinan Negara, Indonesia tidak dalam kondisi krisis pemimpin di wilayah kedaulatannya, sehingga keputusan beliau untuk manjadi calon presiden dapat kita nilai bukan sebagai bentuk pengabdian, dan hanya terkesan sebagai pertaruhan karir politik saja. Apabila ini yang terjadi, sosok Ir.H.Joko Widodo belum dapat kita katakan berbeda, dan masih memperlihatkan sisinya yang tetap menyatu dalam lembaran yang sama dengan rekan sejawatnya, jikalau beliau bersikukuh untuk mundur dari jabatannya beberapa bulan kedepan karena alasan pencalonan Presiden.

Pengunduran diri Ir. H. Joko Widodo dari jabatannya sebagai Gubernur Jakarta, masih merupakan hal yang wajar dan tidak di larang oleh hukum positif yang ada. Sang Proklamator Indonesia-pun, Bung Hatta pada tahun 1956 mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia, selepas dewan baru terbentuk, dan sistem pemerintahan berubah menjadi parlementer, Bung Hatta menganggap peran kepala Negara hanya menjadi simbol semata sehingga posisi wakil presiden tidak lagi dibutuhkan menurut UUDS 1950. Sejarah Bung Hatta tersebut memang berbeda dengan apa yang sedang terjadi di Jakarta saat ini, namun keputusan sikapnya untuk tidak sejalan dengan seorang kepala Negara dapat kita harapkan untuk diaplikasikan juga oleh Gubernur Jakarta Baru, ketika beliau dihadapkan dengan pertanyaan perihal kesiapan dan kesediaannya untuk di calonkan menjadi Presiden oleh partainya.

Dipilih dan memilih adalah hak setiap warga Negara, namun sikap menolak untuk dipilih karena alasan harus meletakan jabatan yang diamanatkan, adalah sikap seorang Negarawan sejati. Ir. H. Joko Widodo adalah seorang Negarawan ketika beliau memimpin Surakarta lalu Jakarta, dan penulis angkat topi kepadanya, namun apabila keputusannya tetap sama, yaitu meninggalkan Jakarta untuk menjadi Presiden Indonesia, dapat kita nilai bersama bahwa ini merupakan politik Rectoverso dari seorang Ir. H. Joko Widodo, seakan berbeda tetapi ternyata sama saja. :) :) :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun