Permasalahan tindak pidana kasus narkotika dinegara indonesia terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan sehingga hal tersebut tidak pernah luput dari perhatian pemerintah serta aparat penegak hukum untuk menindak tegas agar para pengguna narkotika bisa ditekan sekecil mungkin supaya tidak terus tumbuh di dalam kehidupan masyarkat Kemajuan tehknologi menjadi salah satu factor utama masuknya seseorang kedalam kehidupan yang sangat luas dan bebas hal ini menjadi ruang yang di manfaatkan oleh pengedar serta pengguna narkotika menjalankan peraktik gelap peredaran narkotika.
Pada tataran masyarakat narkotika sudah masuk kedalam sector yang cukup luas baik pada tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, maupun lansia. Jika melihat fakta hampir disetiap daerah dapat ditemukan para pengguna narkotika, Badan Narkotika Nasional mencatat dalam kurun waktu tahun 2021 sampai dengan pertengahan tahun 2022 telah berhasil mengungkap 55,392 kasus tindak pidana narkotika dan 71,994 orang ditetapkan sebagai tersangka, dengan barang bukti berupa 42,71 ton sabu, 71,33 ganja. Selain mendatangkan persoalan bagaimana negara hadir untuk mencegah peredaran narkotika dikalangan masyarakat salah satu topik yang hangat untuk dibahas adalah terkait dengan persoalan pemidanaan bagi pelaku penyalah gunaan narkotika karena kondisi dari Lembaga Pemasyarakatan yang mengalami kelebihan penghuni (overcrowding) dengan sebagian besarnya didominasi oleh pelaku terpidana kasus narkotika.
Overcrowding yang terjadi pada Lembaga Pemasyarakatan diakibatkan karena kesalahan dalam merumuskan kebijakan legislasi, khususnya dalam aspek tujuan pemidanaan bagi pelaku penyalahgunaan narkotika, mayoritas dalam merumuskan kebijakan yang dilakukan oleh lembaga legislasi berupa pemeberian sanksi pidana penjara. Padahal menurut Undang-Undang Nomor .35 Tahun 2009 tentang Narkotika, telah menggunakan system pemidanaan dua jalur (Double TracK System) secara explisit disebutkan dalam pasal 4 huruf D, Pasal 54 dan Pasal 103 Undang-Undang memberikan kewenangan kepada hakim untuk memberikan putusan berupa pemberian rehabilitasi medis, dan rehabilitasi sosial, khususnya bagi pelaku penyalahguna narkotika tetapi pada tingkatan peraktiknya hakim cenderung mengabaikan isi dari perintah Undang-Undang tersebut, sehingga hal ini mengakibatkan banyak pelaku Penyalahguna Narkotika yang ditempatkan dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Berdasarkan system dari database Pemasyarakatan (SDP) Direktorat Jendral Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), hingga saat ini menunjukan Overcrowding telah mencapai 109% (Seratus Sembilan Persen) dari kapasitas yang ada di dalam Lembaga Pemasyarakatan dengan tindak Pidana Narkotika sebagai pemberi sumbangsih terbesar di dalam Lembaga Pemasyarakatan jumlah keseluruhan yang tercatat sebanyak 137.098 penghuni, rincian tahanan terdiri dari 122.209 tahanan Penyalahguanaan Narkotika, dan 14.919 Pengedar Narkotika.
Ketidak seimbangan ini harus segera dicermati secara serius agar dapat menemukan konsep yang terbaharu guna menekan laju pertumbuhan Penyalahguna Narkotika, jika mencermati paradigma terbaharu dari beberapa negara maju  seperti swedia, para pengguna narkotika sudah tidak lagi dipandang sebagai pelaku tindak pidana (Kriminal) melainkan mereka dipandang sebagai orang yang mengidap Penyakit Kronis, untuk itu sangat dibutuhkan pengobatan secara berkala baik perawatan kesehatan dan bimbingan konseling sehingga paradigma ini muncul dengan konsep kebijkaan yang baru yakni, tidak lagi memberlakukan pemidanaan melainkan membawa para pelaku untuk diberikan rehabilitasi, dengan kata lain upaya tersebut mengarah kepada Dekriminalisasi bagi para pengguna narkotika.
Selaras dengan tujuan pemidanaan bahwa menurut pendapat Muladi dan Barda Nawawi Arief dalam bukunya "Teori dan Kebijakan Pidana" bahwa pemidanaan itu bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang lebih bermanfaat. Hal ini senada dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 D ayat (1) yang mengatakan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta pengakuan yang sama dimata hukum. Kemudian dalam pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang menentukan : "Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahguna Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial".
Pasal 57 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menyebutkan "selain melalui pengobatan dan/atau rehabilatasi medis, penyembuhan Pecandu Narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional" dipertegas juga dengan peraturan pelaksana Badan Narkotika Nasional No.11 tahun 2014 menurut pasal 3 ayat (1) seseorang dapat dilakukan rehabilitasi jika orang tersebut merupakan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahugunaan Narkotika, oleh karena itu sudah sangat jelas upaya untuk memunculkan Paradigma yang baru berkaitan dengan hukuman bagi pelaku tindak Penyalahguna Narkotika menurut Hukum Positif Indonesia yang telah mengatur secara rinci agar para penegak hukum termasuk kepada Hakim untuk segera menerapkan solusi dengan memutus kebijakan rehabilitasi, bagi pengguna narkotika jika hukuman yang masih berlaku adalah penahanan di Rutan atau Lembaga Pemasyarakatan ini bukan termasuk solusi konkret dari tujuan pemidanaan, jika maksud dari pemidanaan salah satunya memberikan hal bermanfaat dengan cara memberikan penyembuhan secara kesehatan dan pemulihan fisik langkah untuk menerapkan Deskriminalisasi merupakan hal yang tepat, dilain hal juga upaya ini dapat mengurangi dampak kepadatan Lapas atau Rutan yang telah Overcrowding.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H