Sebagai seorang Muslim yang hidup di lingkungan dengan berbagai tradisi keislaman, saya sering melihat perbedaan dalam praktik ibadah. Salah satu pengalaman yang paling berkesan adalah ketika saya bepergian ke daerah lain dan menemukan masjid di sana melaksanakan doa qunut saat salat Subuh. Hal ini berbeda dari kebiasaan di masjid tempat saya biasa beribadah, di mana doa qunut jarang dilakukan. Awalnya, saya merasa bingung, tetapi seiring waktu dan belajar, saya memahami bahwa perbedaan tersebut adalah bagian dari keluasan ajaran Islam.
Rasulullah pernah bersabda:
"Perbedaan di antara umatku adalah rahmat."
(HR. Al-Baihaqi dalam Risalah As-Sunan).
Hadis ini mengingatkan kita bahwa Islam adalah agama yang fleksibel dan luas, memungkinkan beragam interpretasi dan praktik tanpa meninggalkan esensinya. Perbedaan dalam pandangan keagamaan sering muncul karena beragamnya penafsiran teks, budaya lokal, dan kebutuhan masyarakat yang berbeda-beda.
Saya pernah menghadiri peringatan Maulid Nabi di suatu daerah yang memiliki tradisi berbeda. Perayaan di sana berlangsung meriah dengan tabuhan rebana, syair pujian, dan hidangan bersama. Di sisi lain, di tempat asal saya, Maulid diperingati dengan lebih sederhana, hanya berupa kajian dan doa. Kendati caranya berbeda, saya melihat kesamaan tujuan, yakni memperkuat kecintaan kepada Rasulullah .
Ketika menghadapi perbedaan seperti ini, saya belajar untuk tidak memandangnya sebagai hal yang perlu diperdebatkan. Islam mengajarkan kita untuk bersikap bijak dan menghargai keragaman. Imam Syafi'i, salah satu ulama besar dalam Islam, pernah berkata, "Pendapatku benar, tetapi mungkin salah. Pendapat orang lain salah, tetapi mungkin benar." Sikap ini mengajarkan pentingnya rendah hati dalam menghadapi perbedaan pendapat.
Namun, menyikapi keberagaman ini membutuhkan ilmu dan kesabaran. Tanpa pemahaman yang cukup, perbedaan bisa menjadi pemicu konflik. Saya pernah menyaksikan dua teman yang berdebat panjang hanya karena perbedaan cara melipat tangan dalam salat. Padahal, jika dilihat dari esensi ibadah, keduanya sama-sama bermaksud mendekatkan diri kepada Allah.
Sebuah kisah tentang sahabat Rasulullah pernah memberikan saya pelajaran penting. Ketika para sahabat berbeda pendapat mengenai waktu salat Asar saat perjalanan menuju Bani Quraizhah, Rasulullah tidak menyalahkan salah satu pihak. Sebaliknya, beliau menghormati niat baik keduanya. Kisah ini menunjukkan bahwa perbedaan teknis dalam praktik ibadah bukanlah hal yang perlu dijadikan bahan perselisihan selama tujuannya sama.
Rahmat dari perbedaan ini juga tampak dalam fleksibilitas Islam yang memungkinkan umatnya menjalankan ajaran agama sesuai dengan situasi dan kondisi. Perbedaan dalam masalah-masalah cabang (furu') menunjukkan bahwa Islam bukan agama yang kaku, tetapi justru merangkul keragaman.
Meski begitu, penting untuk membingkai keberagaman ini dengan ilmu dan toleransi. Jika kita kurang bijak, perbedaan bisa menimbulkan perpecahan. Oleh karena itu, dialog yang konstruktif dan saling belajar menjadi kunci dalam menyikapi perbedaan. Ketika kita memahami bahwa tujuan utama kita adalah mendekatkan diri kepada Allah, kita akan lebih mudah melihat perbedaan sebagai sebuah kekayaan, bukan ancaman.
Allah telah menekankan pentingnya persaudaraan dalam Al-Qur'an: