Mohon tunggu...
Rizky Kertanegara
Rizky Kertanegara Mohon Tunggu... profesional -

Dosen Ilmu Komunikasi, Pemerhati Aviasi, Pemerhati Teknologi, Pemerhati PSSI :)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

KPI Malang, KPK Sayang

12 April 2012   01:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:44 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13341957361892468308

Sejak munculnya P3SPS 2012 yang diluncurkan oleh KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), penolakan pun berdatangan. ATVSI sebagai 'pelindung' para TV swasta menjadi garda terdepan penolakan ini. KPI mengeluarkan P3SPS 2012 dalam Rakornas KPI di Surabaya, pada April 2012. P3SPS 2012 ini sudah bisa dilihat dalam situs kpi.go.id. ATVSI berkeberatan mengenai pasal siaran pemilu dan pembatasan iklan. Padahal inti pasalnya jelas, bahwa dalam siaran pemilu dan pilkada, televisi harus melakukannya secara berimbang dan tidak boleh bersikap partisan. Selain itu, iklan niaga hanya boleh maksimal 20% dari total waktu siaran dalam sehari. Sayangnya, Nasib KPI sepertinya tak seberuntung KPK (Komisi Pemberantas Korupsi). Sama-sama berlabel lembaga yang independen dan mandiri, KPI seperti tak bernyali dengan kewenangan yang dimilikinya. Bahkan, ketika diserang oleh 'mafia' industri televisi yang merasa pemasukan dari iklannya 'dicuri' ,mereka seperti tak berkutik. Bandingkan dengan KPK, ketika ada wacana untuk membatasi perannya hanya dalam bentuk pencegahan dan bukan penindakan (tempo.co, 07/03/12), semua elemen masyarakat ramai-ramai membela. Untungnya Komisi I DPR menyikapinya dengan 'waras'. Seperti pernyataan Al Muzzammil Yusuf. "Kami di DPR mengapresiasi P3SPS sebagai bentuk tanggung jawab KPI terhadap aspirasi dari masyarakat yang menghendaki konten penyiaran yang sehat dan bertanggung jawab," ujarnya di Jakarta, (Antara, 10/04/12). Sejumlah alasan dikemukakan sebagai serangan 'fajar' sebelum KPI mulai menerapkan P3SPS ini. Salah satunya adalah Erick Thohir yang ketua ATVSI. Ia menegaskan P3SPS tak ubahnya Kode Etik Jurnalistik 'kw' terkait materi teknis jurnalistiknya. Selain itu pembatasan  20 persen iklan dari seluruh siaran per hari akan membuat industri olahraga utamanya olahraga nasional terkapar (republika.co.id, 02/04/12). Sebagai penikmat tayangan sepakbola, kita pasti sepakat iklan yang serampangan hingga memotong waktu kick off, dan iklan built-in ketika sedang berlangsung sangatlah mengganggu. Lalu untuk alasan olahraga nasional di televisi memang sudah 'lesu darah'. Kapan kita terakhir menikmati All England? atau bagaimana rasanya ketika SEA Games Palembang kemarin tidak menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Lain lagi Leo Batubara. Dia menganggap KPI tidak bisa berperan sebagai yudikatif dan eksekutif sekaligus karena disitulah akan muncul bibit korupsi karena kewenangan yang terlalu besar (epaper.tempo.co, 09/04/12). Pertanyaannya mengapa tidak? Kenapa mengkhawatirkan sebuah 'propaganda' ketika televisi swasta telah berubah menjadi oligarki penguasa informasi. Fenomenanya, ketika televisi adalah bagian dari korporasi politik, maka berita adalah iklan dari sang pemilik media. Bayangkan ketika pemberitaan mengenai hal-hal yang 'seksi' terkait kepentingan publik seperti BBM, tiba-tiba muncul berita 'sarasehan' politik yang memunculkan sang pemilik media yang 'membela' rakyat. Atau setelah ada pemberitaan ricuh politik di ruang wakil rakyat DPR, muncul iklan untuk mengajak penonton memilih yang 'baru', yang tentu saja berafiliasi dengan partai sang pemilik media. KPI sama dengan saudaranya KPK. Jika KPK berperang dengan korupsi, KPI harus bertindak melawan 'koruptor' penyiaran. Kenapa? Karena Penyiaran memiliki spektrum frekuensi yang dimiliki oleh segenap rakyat Indonesia. Oleh karena itu, penggunaan frekuensi milik publik ini harus untuk kemaslahatan rakyat bukan pemilik media. Penyalahgunaan yang terjadi, sama bahayanya dengan korupsi. Inilah yang tidak disadari sampai saat ini oleh masyarakat. Percayalah, tujuan KPI untuk melakukan pembatasan iklan dan liputan pemilu adalah sebagai tameng melawan oligarki media dan pelindung kepentingan publik. Media penyiaran harus kembali ke khitahnya, sebagai pengawas 'watchdog' pemerintah dan bukan suporter partai politik. Sayangnya KPI tak memiliki bala bantuan padahal KPI adalah regulator penyiaran yang sah. KPI Malang, KPK Sayang..

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun