Mohon tunggu...
Rizky Haikal
Rizky Haikal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Pendidikan Indonesia

Mahasiswa jenjang S1 program studi Ilmu Komunikasi tahun 2021, senang menulis serta memiliki ketertarikan dalam bidang sastra dan seni. Mudah beradaptasi serta dapat berkomunikasi, percaya diri dalam berperilaku.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Crossing the Boundaries: Antara Trend Pakaian Lintas Gender dan Gejolak Sosial

14 September 2023   12:00 Diperbarui: 14 September 2023   12:07 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Crossdress merupakan suatu fenomena yang marak terjadi pada zaman ini. Fenomena individu yang mengenakan pakaian lintas gender ini merupakan perilaku yang dapat memicu munculnya kecenderungan transvestism yang menjurus pada penyimpangan seksual paraphilia. Melihat pada pernyataan tersebut, penting bagi setiap individu untuk dapat mengelola atau mengatur management self-expression dalam dirinya agar tetap dapat berpegang teguh pada norma yang ada, tanpa merasa terbatasi oleh hal-hal yang bersifat normatif.

Timbulnya hal tersebut ke permukaan menarik minat sekelompok mahasiswa dari Universitas Pendidikan Indonesia untuk menjadikan isu nyentrik ini sebagai topik riset yang diangkat dalam ajang Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM) tahun 2023. Kelompok yang dibimbing oleh Dr. Wina Nurhayati Praja, M.Pd,. ini merupakan kelompok yang lolos menuju tahap pendanaan dari Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa). Adapun komposisi kelompok tersebut berisikan Rizky Haikal mahasiswa Ilmu Komunikasi angkatan 2021 sebagai ketua tim, dan anggota kelompoknya yaitu Regina Aprilliyani mahasiswa Ilmu Komunikasi 2021, Zahra Mahasiswa Ilmu Komunikasi angkatan 2022, Safira mahasiswa Psikologi angkatan 2022, dan Gita Ayu Lestari mahasiswa Pendidikan Tata Busana angkatan 2020. Dengan adanya ketertarikan tersebut menyebabkan adanya peningkatan rasa ingin tahu sehingga kelompok peneliti melakukan riset dengan judul “Crossing the Boundaries: Fenomenologi Management Self-Expression Pelaku Crossdress Pria sebagai Upaya Pencegahan Kecenderungan Transvestik”.

Indonesia sendiri menduduki peringkat ke-5 dengan menyumbang 3% populasi masyarakat dengan masalah penyimpangan seksual, survei Central Intelligence Agency (CIA) tahun 2015 menyebutkan bahwa 7,5 juta dari total penduduk Indonesia merupakan individu yang mengalami masalah dalam pemuasan hasrat seksualnya. Sebuah riset menjelaskan bahwa dalam Ilmu Psikologi, salah satu bentuk aktivitas seksual yang tidak wajar dan tidak sesuai dengan norma sosial adalah paraphilia. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) mengklasifikasikan beberapa bentuk paraphilia dalam DSM-V, salah satunya adalah transvestism. Transvestism atau transvestik itu sendiri merupakan suatu gangguan perilaku seksual yang menyebabkan individu dapat mencapai hasrat seksualnya dengan mengenakan pakaian yang berlawanan dengan jenis kelaminnya dan bentuk perilaku tersebut dikenal dengan istilah crossdress. Riset menunjukkan bahwa terdapat perbandingan pada angka 20:1 yang menyebutkan bahwa prevalensi gangguan perilaku seksual khususnya paraphilia jauh lebih tinggi terjadi pada pria dibandingkan wanita, pernyataan tersebut menjadikan alasan pemilihan gender pria merupakan suatu hal yang sesuai dengan bahasan yang akan dikaji.

Banyak sekali stigma yang dilekatkan pada pelaku crossdress pria, biasanya terjadi akibat adanya pandangan dan pemaknaan yang berbeda antara pelaku dan juga publik. Perbedaan persepsi tersebut memberi banyak peluang untuk munculnya perdebatan, baik itu mengenai identitas gender bahkan hingga seksualitas sang pelaku. Hasil riset ini menjawab bahwa tidak semua crossdresser memiliki kecenderungan perilaku seksual yang terganggu. Walaupun demikian, perilaku ini tetap akan menjadi langkah awal timbulnya kecenderungan transvestik. Oleh karena itu, tetap harus ada solusi atau upaya yang ditawarkan untuk dapat mengurangi atau bahkan mencegah maraknya kasus tersebut. 

Temuan dari riset yang telah dilakukan juga menyebutkan bahwa dilema intrapersonal yang terjadi dalam diri setiap pelaku selalu menjadi titik balik untuk tetap kembali pada prinsip dan norma yang berlaku. Perilaku crossdress selalu dianggap hanya sebatas bentuk ekspresi diri bagi pelaku, sedangkan hal tersebut akan berbeda jika dilihat dari kaca mata publik. Pelaku menginginkan kebebasan dalam mempresentasikan identitas dirinya pada publik, sesuai dengan yang tercantum dalam undang-undang Pasal 28E Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Dengan demikian, dipastikan bahwa Indonesia merupakan negara yang mendukung adanya kebebasan berekspresi.

Ekspresi diri merupakan sebuah kebutuhan psikologis manusia yang harus dipenuhi, namun dengan adanya produk hukum tersebut, mereka menganggap bahwa keputusan mereka untuk melakukan berbagai tindakan menyimpang merupakan suatu hak yang tidak bisa dibatasi. Mindset tersebut muncul akibat masuknya paham ‘genderless style’ yang mulai memasuki pikiran-pikiran generasi muda terutamanya. Genderless style merupakan sebuah fenomena subkultur yang pertama kali muncul di Amerika Serikat pada tahun 1968, paham ini menyebutkan bahwa item fashion bukanlah suatu objek yang dapat diklasifikasikan berdasarkan gender. Sayangnya pemahaman tersebut belum dapat diimplementasikan secara merata pada seluruh masyarakat indonesia yang masih terikat paham konservatif (memegang teguh norma dan kebudayaan). 

Banyak sekali gejolak sosial yang terjadi sehingga membuat isu tabu ini memiliki daya tarik untuk dikaji lebih dalam. Topik crossdress dan kecenderungan transvestik memang selalu memiliki korelasi, keduanya merupakan hal yang memiliki keterikatan yang cukup erat. Meskipun demikian, perilaku crossdress pada beberapa individu memang dapat dikaitkan dengan kepuasan seksual yang terganggu (transvestik), penting bagi setiap orang untuk memahami bahwa identitas dan ekspresi gender adalah aspek kompleks dari keragaman manusia. Kecenderungan transvestik atau perubahan identitas gender biasanya merupakan proses yang kompleks dan berkembang seiring berjalannya waktu sehingga didasari oleh berbagai pertimbangan.

Kontak: 

E-mail: CtheBoundaries@gmail.com

Akun sosial media tiktok: @CtB___

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun