Mohon tunggu...
Rizky Febriana
Rizky Febriana Mohon Tunggu... Konsultan - Analyst

Senang Mengamati BUMN/BUMD dan Pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Rumah seperti Jodoh

7 Januari 2015   17:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:37 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1420602485688958606

[caption id="attachment_389081" align="aligncenter" width="560" caption="Rumah nenek (ilustrasi, dok pri)"][/caption]

Handphone Kami Sore itu (4/1) berdering. Kebetulan dering pertama Kami gak sempat mengangkatnya karena sedang naik motor.  Terpaksa Kami berhenti sebentar apalagi setelah melihat layar HP yang menelepon adalah si pemilik rumah yang rencananya Kami mau beli. Setiap pemilik rumah telepon, firasat Kami, saya dan istri jadi nggak menentu, galau, alay, wajarlah Kami adalah pembeli yang sangat bergantung terhadap utang alias KPR mania, bukan keturunan orang kaya yang punya uang kas di mana-mana... syalala..la..la…

“Pak Rizky, saya dimarahin suami terus nih, Bapak minta harga dinaikin, bersih,” ungkap seorang ibu si pemilik rumah yang suaminya bekerja di luar kota.

Setelah mendengar itu, mata saya menatap istri sambil menarik nafas dalam-dalam. Lalu saya dengarkan kembali suara ibu si penjual yang berkata, “bapak juga gak mau bayar pajak penjual. Jadi Kami tahunya bersih Pak Rizky!”

Bak petir disiang bolong. Saya bilang sama si Ibu, “baik Ibu. Saya coba tanya dulu sama orang yang mau pinjemin Saya duit untuk beli rumah ibu.” Jawab Saya sok diplomatis, padahal puyeng… hehe…

Detik itu juga Saya langsung hubungin teman yang mau pinjemin duit kantornya. “Dia jawab ribet Mas, soalnya harus merubah-ubah lagi semua dokumen yang masuk. Termasuk Saya bakal ditanya-tanya lagi oleh atasan Saya, kok berubah-ubah nilainya?” ungkapnya agak cemas.

Saya sih maklum, soalnya yang namanya KPR gak bisa merubah-ubah begitu saja, termasuk nilai plafon pinjaman plafon KPR kita. Wajarlah kan Kita bukan minta sama bapak sendiri. Pasti banyak pertanyaan yang akan muncul, termasuk mungkin kecurigaan kongkalikong antara saya dan rekan saya yang bantu proses KPR ini.

Kemudian saya berdiskusi panjang dengan istri, alhasil kami sepakat untuk tidak jadi beli, meski kami harus menanggung biaya yang sudah dikeluarkan termasuk biaya appraisal (penilai) yang sudah menilai harga rumah yang mau dibeli itu. Kami pasrah sembari menagih kembali uang muka yang sudah Kami berikan.

Sayang waktu kami sudah DP, kami gak buat perjanjian harga yang sudah disepakati dan kewajiban para pihak dimana pajak ditanggung masing-masing. Dulu mikirnya kita pakai adat orang-orang timur, yang selalu mengedepankan etika dan kekeluargaan. Tapi juga kalo dipikir-pikir, seandainya dulu ada perjanjian hitam diatas putih ketika DP rumahnya, pasti nanti si istri dan suami pemilik rumah berantem deh, jadi gak harmonis “Mamah gimana sih, jual rumah kok harga segitu?” pikiran saya dan istri menerawang masa depan pasangan si pemilik rumah seandainya ada perjanjian diawal antara kami dan mereka. Sebenernya bisa kami paksakan untuk mengikuti permintaan si pembeli rumah. Tapi kami pikir ya sudahlah, mungkin ini takdir terbaik, rencana Tuhan terhadap perjalanan hidup kami berdua. co cweet...  Kami juga gak mau berpikir macem-macem tentang si penjual rumah ini...

Kalo kejadian ini sudah seperti orang mau nikah kali ya, yang mau dipinang (rumah) tergantung orang tuanya (si pemilik rumah), orang tuanya (si pemilik rumah) awalnya sudah setuju, sudah ada panjer untuk mahar dan biaya pernikahan (dp rumah), penghulu juga sudah siap (si bank), tinggal hari H tanda tangan buku nikah, eh orang tuanya gak jadi setuju terutama si bapaknya, minta nambah mahar sama minta gak mau menanggung biaya resepsi mulai dari gedung, konsumsi, dokumentasi dan biaya yang lain-lainnya, maunya si keluarga mempelai bersih gak keluar uang sepeserpun. Hehe… Si calon mempelai (rumah) juga gak bisa berbuat apa-apa, meski mungkin si mempelai cinta mati, tapi doi gak bisa berbuat apa-apa, karena doi juga harus ada restu bapak ibunya (si pemilik rumah).

Batal beli rumah sebenernya bukan kali pertama. Ini kali kedua. Dulu pernah sekali, sudah ada komitmen omongan. Eh, ternyata doi nikah sama orang lain. Ya kira-kira rumah dibeli sama orang lain yang lebih kaya yang punya uang kas banyak dikantongnya. Ya sudah, karena gak ada komitmen apa-apa, saya dan istri juga gak bisa ngapa-ngapain, kecuali cuman bisa bilang rumah seperti jodoh. Kami akan terus mengembara mencari siapa jodoh kami berdua?

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun