Mohon tunggu...
Rizky Febriana
Rizky Febriana Mohon Tunggu... Konsultan - Analyst

Senang Mengamati BUMN/BUMD dan Pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Perlukah Pembatasan Tarif?

13 Januari 2015   00:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:17 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_390353" align="alignnone" width="700" caption="Permenhub No 91 Tahun 2014 "][/caption]

Akhirnya peraturan tentang kenaikan tarif bawah (floor price) diteken oleh Ignasius Jonan. Melalui Permenhub Nomor PM 91 Tahun 2014 yang ditandatangani per 31 Desember 2014, Kemenhub mengatur batas normal serendah-rendahnya 40% dari tarif batas atas. Peraturan baru ini secara otomatis mengelaminasi peraturan kemenhub PM No 59 Tahun 2014 yang juga ditandatangani Jonan di November lalu sebelum peristiwa QZ8501 tentang tarif batas normal 30% dari batas atas.

Sesuai prediksi ditulisan saya sebelumnya, peraturan baru ini juga tidak lagi memberikan opsi bagi maskapai yang ingin menerapkan batas normal yang lebih rendah dari 40% dari tarif batas atas. Padahal di peraturan sebelumnya masih mengizinkan tarif normal yang lebih rendah dari ketentuan, asalkan ada persetujuan Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub. Alhasil peraturan ini menimbulkan polemik di masyarakat, baik yang pro maupun kontra. Polemik ini sebenarnya berakar dari pertanyaan perlukan pemerintah memberlakukan pembatasan/intervensi tarif?

Sejarah mencatat pemerintah pernah tidak mengintervensi tarif penerbangan. Pemerintah melalui SK Menteri Perhubungan No. 25 Tahun 1997 melimpahkan kewenangan penentuan tarif ke Indonesian National Air Carriers Association (INACA) sebuah asosiasi penerbangan nasional. INACA kemudian pernah menetapkan tarif batas atas (ceiling price) dan batas bawah (floor price) untuk penerbangan kelas ekonomi dimana besaran tarif INACA itu dipatok dalam kurs dolar AS, yaitu 11 sen per seat per kilometer. Praktek itu berlangsung hingga pertengahan tahun 2001.

[caption id="attachment_390354" align="alignnone" width="625" caption="INACA, Bisnis Indonesia dalam buku Perusahaan Saling Mematikan dan Bersengkongkol karya Udin Silalahi"]

1421057808850645176
1421057808850645176
[/caption]

Namun kemudian, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang didirkan untuk mengawasi pelaksanaan Undang-undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persingan Usaha tidak sehat ini menilai bahwa penetapan harga yang dilakukan INACA ditenggarai sebagai praktek kartel yang merugikan konsumen. Pada Juli 2001, KPPU menyarankan agar pemerintah mencabut pelimpahan wewenang ke INACA dan membatalkan kesepakatan harga yang dibuat INACA.

INACA juga pada kesempatan yang sama menyodorkan beberapa pilihan kepada pemerintah dalam menetapkan tarif baru setelah tarif tidak ditentukan oleh INACA. Pertama, pemerintah menggunakan sistem tarif yang pernah diterapkan INACA. Kedua, pemerintah menetapkan patokan tarif tertinggi. Alternatif lain, pemerintah menetapkan tarif dasar. Tapi, untuk yang terakhir ini, pemerintah mesti menyerahkan penetapan tarif yang berlaku kepada operator penerbangan.

Pemerintah pun merespon rekomendasi KPPU dan usulan INACA. Pemerintah melalui Kemenhub akhirnya mengeluarkan peraturan Menteri Perhubungan pada 1 Februari 2002 melalui SK No. KM8/2002 tentang Mekanisme Penetapan dan Formulasi Perhitungan Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi dan SK No. KM9/2002 tentang  Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi.

Peraturan tersebut membuat pemerintah menerapkan tarif dasar dan bisa dikatakan sebagai era baru campur tangan pemerintah terhadap penerbangan. Peraturan ini secara umum masih membuka kesempatan untuk maskapai memberikan tarif lebih murah karena tidak diatur dalam peraturan. Disisi lain, peraturan tersebut memunculkan perang tarif antar maskapai. Perang tarif pada prakteknya berlangsung hingga sekarang merupakan konsekuensi penentuan tarif yang dilepas melalui mekanisme pasar. Maskapai yang tidak bisa bersaing dipasaran pun akhirnya secara terpaksa merugi dan keluar dari market. Ini sebuah fakta menarik yang tidak bisa dibantah adanya dampak negatif persaingan tarif.

Pada perkembangannya, pemerintah mulai intervensi kembali dengan penentuan tarif batas atas (ceiling price) dan tarif batas bawah (floor price).  Yang terbaru, di atur diperaturan Kemenhub PM No 51 Tahun 2014 yang ditandatangani 30 September 2014 dan berlaku hingga sekarang kecuali adanya beberapa perubahan tarif batas bawah di era Jonan. Pemerintah menentukan tarif dasar ditambah ketentuan tarif batas atas dan tarif batas bawah.

Sampai disatu titik kebijakan-kebijakan ini menimbulkan pertanyaan kembali, mana yang lebih baik. Apakah perlu pemerintah mengatur dengan pembatasan tarif  atas maupun bawah? Ataukah pemerintah tidak perlu mengaturnya, serahkan saja kepada mekanisme pasar, tidak perlu ada batas atas dan batas bawah?

Saya sebagai konsumen yang sensitif terhadap harga, tentu menginginkan tarif penerbangan semurah mungkin, menganggap pemerintah tidak perlu mengatur tarif bawah (floor price) sehingga maskapai bisa memberikan harga yang bervariatif dan murah. Disatu sisi tentu saya berharap, pemerintah juga tetap intervensi batas tarif atas (ceiling price) supaya maskapai tidak semena-mena menentukan tarifnya termasuk di peak season, seperti musim mudik, natal, tahun baru dan liburan sekolah.

Maskapai “kecil”, tentu berharap ada pembatasan tarif bawah (floor price) agar ia tidak terjadi perang tarif, saling bunuh antar maskapai dan praktek-praktek jual rugi (predatory price). Sementara maskapai besar tentu menginginkan harga (tarif) dilepas semua ke mekanisme pasar. Tidak perlu ada batas tarif atas apalagi batas tarif bawah, se-fleksibel mungkin se-efisien mungkin. Tarif batas atas hanya membuat maskapai tidak bisa meraup banyak keuntungan ketika peak season. Sementara tarif batas bawah hanya membuat maskapai tidak bisa kreatif untuk meningkatkan load factor mereka karena tidak bisa menawarkan tarif lebih rendah lagi.

Sementara itu pemerintah memiliki logikanya tersendiri bagaimana menyeimbangkan keinginan konsumen (kita) dan produsen (maskapai). Rumit memang, namun terkadang ini juga yang belum banyak dipahami. Oleh karena itu, sudah tepat sebenarnya peraturan pemerintah yang menentukan tarif ini harus selalu berkordinasi dengan dua pihak yakni INACA (Indonesian National Air Carriers Association) yang mewakili maskapai penerbangan di Indonesia dan juga Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mewakili seluruh konsumen penerbangan. Nah, apakah Jonan sudah melakukan kordinasi itu? Kalau sudah, selesai semua urusan!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun