Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mengungkapkan backlog properti hunian di Indonesia mencapai 13,5 juta unit. Penulis memprediksi backlog akan terus bertambah setiap tahunnya karena masalah fundamental ekonomi yakni supply dan demand. Dimana supply tanah untuk berdirinya sebuah bangunan semakin terbatas, sementara potential demand-nya yakni jumlah penduduk terus tumbuh 1,49% setiap tahunnya.
Sebagai ilustrasi sederhana, menurut BPS pendapatan rata-rata masyarakat Indonesia saat ini sebesar USD3.475, atau sekitar Rp41,7 juta setahun dengan kurs Rp12 ribu, atau sekitar Rp3,5 juta per bulan. Jika suku bunga KPR sekitar 12% per tahun, dengan tenor pinjaman 15 tahun maka harga rumah maksimal yang bisa dibeli adalah Rp124 juta per unit. Tentu mencari harga hunian Rp124 juta per unit menjadi sangat sulit pada saat ini. Lalu bagaimana dengan masyarakat berpenghasilan rendah yang pendapatannya di bawah rata-rata?
Inilah mengapa pemerintah perlu memperhatikan kelas menengah ke bawah. Sebab masyarakat kelas menengah ke bawah adalah kelompok masyarakat yang paling terancam dari adanya backlog yang disertai dengan peningkatan harga properti hunian hingga 7,4% yoy. Mereka juga menyadari bahwa harga properti sulit dikendalikan apalagi berharap harga properti terjun bebas, mengingat hal ini terjadi karena masalah fundamental yang membuat harga properti hunian masih akan terus merangkak naik. Untuk itu bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, keputusan investasi membeli properti hunian paling tepat dilakukan saat ini juga, tidak perlu menunggu terkumpulnya uang tabungan yang tentu akan terkuras oleh kenaikan harga properti, inflasi dan kebutuhan lainnya.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk membantu masyarakat menengah ke bawah memiliki hunian. Pertama, cancel-off LTV untuk rumah pertama. 23 September 2013 lalu BI mengeluarkan aturan LTV Jilid II, secara prinsip peraturannya lebih ketat dibandingkan LTV Jilid I 15 Juni 2012. LTV memiliki tujuan yang baik untuk mengendalikan Non Performing Loan (NPL) KPR dan KPA serta diberlakukan untuk memperlambat kenaikan harga properti hunian.
Namun demikian kebijakan ini perlu dilihat kembali khususnya terkait peraturan Down Payment (DP) bagi pembeli rumah pertama. LTV Jilid II mengatur seorang pembeli rumah pertama yang luas bangunannya >70 m2 maka harus DP 30%, sementara untuk rumah tipe 22-70 m2 dengan KPR Syariah harus DP 20%. Aturan DP ini membuat calon pembeli dari kalangan kelas menengah ke bawah harus berpikir keras apalagi si pembeli juga harus membayar biaya provisi, bayar pajak pembeli (terkadang juga membayar pajak penjual), biaya BPHTB, biaya notaris, biaya penilai KJPP, premi asuransi jiwa, premi asuransi kebakaran dan lain-lain.
Untuk itu penulis mengusulkan agar pemerintah melalui Bank Indonesia bisa meninjau kembali aturan DP untuk rumah pertama sehingga pinjaman dari bank bisa turun 100%. Penghapusan ini tentu saja perlu dikompensasi dengan peningkatan aturan DP bagi pembeli rumah kedua, ketiga dan seterusnya.
Kedua, realisasikan bunga 5% bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Survei BI mengungkapkan bahwa 76% pembiayaan pembelian rumah dilakukan dengan sistem KPR, 14% dengan tunai bertahap dan 10% dengan uang tunai. Sementara itu, Cushman & Wakafield Indonesia dalam surveinya menyebutkan segmen masyarakat kelas menengah ke bawah memiliki ketergantungan terhadap KPR yang mencapai 78% hingga 84%.
Ketergantungan masyarakat kelas menengah ke bawah terhadap KPR sudah direspon oleh pemerintah melalui skema FLPP dengan bunga subsidi yang sudah digulirkan sejak 2010. Melalui skema ini, masyarakat berpenghasilan di bawah Rp4 juta memiliki kesempatan untuk memiliki rumah tapak atau rumah susun dengan syarat penghasilannya di bawah Rp7 juta setiap bulannya. Bunga KPR dengan skema FLPP juga lebih murah, terakhir pemerintahan Jokowi-JK mewacanakan bunga FLPP sebesar 5%. Tentu dengan bunga 5%, diharapkan peluang masyarakat berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah semakin terbuka. Pemerintah juga diharapkan bisa juga meningkatkan plafon maksimal FLPP menjadi lebih tinggi menyesuaikan inflasi harga bahan dan tukang bangunan yang mendominasi struktur biaya sebuah properti hunian selain harga tanah.
Ketiga, membangun hunian berimbang. Rumah adalah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh negara. Pemerintah sebagai pelaksana dari negara bertanggungjawab atas pemenuhan kebutuhan perumahan bagi warganya. Namun demikian pemerintah tidak bisa bergerak sendiri, perlu didukung pengembang swasta dan BUMN. Melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011, Permenpera No 10/2012 dan No. 7/2013 pemerintah mencoba meningkatkan supplyhunian berimbang dengan aturan kombinasi 1;2;3, di mana setiap pengembang yang membangun satu rumah mewah harus membangun dua rumah menengah dan tiga rumah sederhana. Peraturan ini perlu dikoordinasikan dengan para pengembang agar hunian berimbang benar-benar dapat terlaksana dengan baik.
[caption id="attachment_397761" align="aligncenter" width="460" caption="Kontan, 17 Februari 2015, Kolom Opini (Dokpri)"][/caption]
*) Tulisan ini pernah dimuat di KONTAN, 17 Februari 2015 dengan judul asli “Backlog Properti Dibayangi Daya Beli”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H