[caption id="attachment_410242" align="aligncenter" width="506" caption="Roadmap Peraturan Menteri ESDM yang menjadi dasar peningkatan TKDN dalam bisnis migas (dokpri)"][/caption]
Jujur, awalnya terasa berat bagi saya untuk mengikuti setiap agenda SKK Migas yang digelar bersama Kompasiana, mulai dari nangkring hingga blog competition. Sebab temanya begitu sensitif bagi sebagian masyarakat awam seperti saya. Saya nggak mengerti bagaimana itu hasil minyak dari perut bumi bisa berubah menjadi bensin atau gas dari bumi yang bisa mengeluarkan api ketika ia jadi LPG 3kg. Saya cuman tahu, bahwa migas kita dikuasai asing, pemerintah apalagi SKK adalah antek asing.
Perlahan pikiran saya mulai terbuka. Mulai dari acara nangkring Kompasiana bareng SKK Migas. Saya sih sadar, bahwa saya harus bisa seperti apa yang sering orang kutip dari Pramoedya Ananta Toer, bahwa kita harus adil sejak dalam pikiran. Kalo saya baca buku yang kontra, maka saya harus juga baca buku yang pro. Begitulah kira-kira. Mungkin mirip cover both side dikalangan wartawan, itu juga yang harus saya pegang.
Tentu saya bukan orang migas, saya adalah karyawan biasa disebuah perusahaan yang kebetulan lama dibagian riset. Saya selalu ingat kata-kata atasan, bahwa saya harus punya data dan fakta yang disertai angka-angka.
Interaksi saya sebagai peserta nangkring bareng SKK Migas jelas menyampaikan data, fakta dan angka bahwa migas kita nggak dikuasai asing. Bahwa pemerintah dan SKK bukan juga antek asing. Oke saya mau menjelaskan sedikit apa yang saya dapat termasuk dari hari ini di Supply Chain Management (SCM) Summit yang diselenggarakan SKK Migas.
Herry Margono, kepala divisi Supply Chain SKK Migas selalu menjelaskan bahwa perusahaan asing di Indonesia hanya sebagai penggarap sawah bukan pemilik. Ya kira-kira kalo rumah hanya ngontrak, nggak punya sertifikat hak milik (SHM). Dan dalam mengolah sawah, bukan pemilik sawah yang mengeluarkan biaya tapi pengelolanya. Kira-kira begitulah analogi sederhananya.
Hal kedua, yang juga saya baru paham setelah ikut SCM Summit 14-16 April 2015 di JCC Jakarta bahwa yang hadir disini banyak sekali perusahaan lokal khususnya mereka perusahaan penyedia barang dan jasa (PJB). Waktu break ishoma saya ketemu dengan namanya Pak Yohannes, beliau perusahaan PJB untuk para perusahaan pemegang kontrak eksplorasi migas (K3S). Beliau adalah pegawai perusahaan asing yang saat ini merasakan bagaimana mulai diproteksinya perusahaan asing untuk bisnis di Indonesia. Asing boleh masuk, tapi harus didirikan dengan badan hukum di Indonesia biar bendera bisnisnya bendera merah putih, kepemilikan sahamnya juga harus melibatkan orang Indonesia.
[caption id="attachment_410244" align="aligncenter" width="555" caption="Migas untuk bangsa (dokpri)"]
Sama halnya apa yang disampaikan oleh PJB lokal Indonesia lainnya seperti orang-orang PT Bukaka, PT Servotech Indonesia, PT Bank Mandiri, BRI, Jasindo dan lainnya mereka tentu menyambut baik regulasi yang dibuat oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM yang kemudian ditindak lanjuti melalui peraturan (PTK) yang dibuat SKK Migas untuk meningkatkan kapasitas dan keterlibatan nasional dari tahun ke tahun.
Nggak cuman melibatkan mereka, jasa dan produk perusahaan nasional tersebut harus memenuhi yang namanya TKDN (tingkat kandungan dalam negeri). Sekarang peraturan revisi PTK 007 revisi 03 makin melibatkan peran produk-produk nasional. Produk-produk untuk ngebor minyak misalnya, harus punya kandungan komponen lokal minimal sekian persen, katakanlah misalnya 40%. K3S seperti pertamina, chevron, bp indonesia, Exxon, eni, impex, petronas, total dan lain-lain harus ikut peraturan. Jadi K3S cari vendor penyedia Barang dan jasa yang bisa memenuhi standard minimal 40%, kalo nggak 40% ya si vendor akan kena sanksi.
[caption id="attachment_410246" align="aligncenter" width="522" caption="TKDN terus meningkat di atas rata-rata 50% (dokpri)"]