Mohon tunggu...
Rizky Febriana
Rizky Febriana Mohon Tunggu... Konsultan - Analyst

Senang Mengamati BUMN/BUMD dan Pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mengakhiri Kutukan Migas di Daerah

6 April 2015   21:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:27 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jujur, saya agak terkejut juga mendengarnya. Percaya tidak percaya atas apa yang disampaikan oleh Kompasianer asal Aceh Pak Muhammad Syukri yang bersama hadir di acara Kompasiana Nangkring bareng SKK Migas  di Pisa Café Mahakam Jakarta (31/3/2015). Pak Syukri waktu itu mengungkapkan hal yang diluar dugaan kepada dua pembicara yakni Pak Rudianto Rimbono (Kepala Humas SKK Migas) dan Pak Hery Margono (Kepala Divisi Supply Chain Management SKK Migas).

[caption id="attachment_408116" align="aligncenter" width="294" caption="Pak Syukri dan saya di acara Kompasiana Nangkring bareng SKK Migas (dokpri)"][/caption]

Pak Syukri mengatakan jangan sampai ada lagi peristiwa daerah penghasil migas seperti gas di Arun Aceh, yang menghasilkan pendapatan dari hasil buminya namun masyarakat disekitar tidak mengalami perubahan dalam kehidupannya. Saya langsung terbayang dengan sebuah istilah dibuku pelajaran yang sangat mahsyur yakni natural resource curse atau kita kenal dengan nama kutukan sumber daya alam.

Kutukan sumber daya alam (resources curse) adalah suatu kondisi paradoks dimana daerah yang berkelimpahan sumber daya alam dikaitkan dengan daerah yang diberkahi (bless) sehingga daerah tersebut seharusnya kaya. Namun nyatanya, pada banyak daerah yang memiliki sumber daya alam melimpah justru tetap mengalami kemiskinan dibalik keberlimpahannya, hal inilah yang disebut kutukan sumber daya alam. Jelas, dalam hati dan pikiran saya terus bertanya, benarkah demikian?

Mengutip sebuah tulisan Zulkifli Anwar seorang jurnalis di atjehpost.co yang berjudul Gampong Aron, Miskin Hingga Gas Arun Tamat Riwayatnya. Di awal tulisan Zulkifli Anwar mengajak pembaca dengan tulisan yang begitu menghenyak hati nurani, “Di desa inilah ditemukan ladang gas kedua terbesar di Indonesia tahun 1970-an. Namun, hingga pengapalan gas terakhir pada 15 Oktober 2014, deretan pertokoan di desa itu masih berupa pertokoan kayu ala 60-an. Padahal, dari kampung itulah gas dialirkan ke kilang pengolahan di Blang Lancang, Lhokseumawe. Dari sana pula selama lebih 30 tahun mengalirkan devisi ke kas negara dari hasil penjualan gas ke luar negeri.”

Tidak hanya di Aceh, di ujung Timur Indonesia juga diberitakan demikian. Papua yang kaya akan sumber daya alamnya, namun kekayaan itu tidak banyak dinikmati oleh putera daerahnya. Saya nggak bisa bicara banyak tentang seberapa kaya Papua karena semua orang juga tahu kekayaan di Papua. Saya hanya bisa menyajikan fakta kemiskinan yang masih tinggi di Papua. Berdasarkan data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) berdasarkan survei nasional 2010 angka kemiskinan di Papua Barat 258 ribu jiwa sementara di Papua 761,6 ribu jiwa. Jumlah yang cukup banyak. Bagaimana dengan di Aceh? Berdasarkan data yang sama, tercatat mencapai 21% atau ada sekitar 861,9 ribu jiwa penduduk Aceh yang masih berada di bawah garis kemiskinan.

[caption id="attachment_408117" align="aligncenter" width="490" caption="Profil Kemiskinan Daerah 2010 (TNP2K)"]

14283298351382462021
14283298351382462021
[/caption]

Fakta demikian juga terjadi di daerah lainnya di Indonesia, yang tentu dengan mudah kita temukan di headline media massa ataupun di prime time televisi. Kita juga akan dengan mudah menemukan beritanya ketika berselancar di dunia maya. Seolah sudah menjadi fakta yang terbantahkan bahwa daerah-daerah kaya sumber daya alam justru mengalami kutukan sumber daya alam, termasuk migas. Tentu fenomena ini pada akhirnya selalu perlu diantisipasi karena sangat berpotensi menimbulkan gerakan separatis jika tidak tertangani dengan baik. Bukankah kata Bung Karno, kita tidak boleh melupakan sejarah?

Mengakhiri Kutukan Migas di Daerah

Tentu kita juga harus adil dalam menilai. Sejauh ini selalu ada upaya perbaikan sistem bagi hasil dengan daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, termasuk migas antar pusat dan daerah. Sebagai pemerintah pusat sejatinya juga harus memikirkan bagaimana mentransfer hasil dari daerah kaya sumber daya alam kepada daerah-daerah di Indonesia yang tidak kaya akan sumber daya alam.

Seperti misalnya apa yang terjadi di Aceh dengan Arunnya. Seperti apa yang diungkapkan oleh ekonom Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Dr. Nazamuddin, M.A., dalam keterangan resminya di website www.unsyiah.ac.id yang mengatakan Pemerintah Aceh, Pemkab Aceh Utara, Pemko Lhokseumawe, dan masyarakat Aceh tak perlu lagi mengeluhkan era “Arun Jilid 1”, yang setelah beroperasi selama empat puluh tahun (1974-2014) namun tanpa dampak signifikan bagi pembangunan perekonomian masyarakat Aceh.

Dr. Nazamuddin, M.A jelas tak menampik bahwa pertama, Aceh baru mendapat dana tambahan bagi hasil migas dengan porsi besar (70:30) justru pada tahun 2002 setelah diberlakukan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kemudian, diganti dengan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) setelah dicapai nota kesepahaman damai antara Pemerintah RI dan GAM pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Pada saat Aceh menerima tambahan dana bagi hasil migas yang besar itu, masa booming penjualan ekspor LNG Arun ke luar negeri justru telah menurun. Kendati Aceh pernah mendapat dana bagi hasil migas sebesar 1-2 triliun rupiah, tapi itu tak lama dan langsung menurun di bawah 1 triliun, menjadi antara 800-500 miliar rupiah/tahun. Tambahan dana bagi hasil migas sebesar itu, menurut Nazam, tidaklah begitu membantu masyarakat Aceh untuk bangkit dari keterpurukan ekonominya akibat konflik 29 tahun, meskipun PT Arun juga sudah banyak membangun berbagai fasilitas pendidikan, rumah sakit, pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan lainnya.

Di sisi lain, dana bagi hasil migas itu diserahkan pusat kepada pemerintah provinsi, lalu provinsi membaginya lagi ke daerah penghasil maupun nonpenghasil. Daerah penghasil migas seperti Aceh Utara, Aceh Timur, dan Kota Lhokseumawe mendapat dana bagi hasil tambahan migas yang cukup besar. Tapi, seperti dikatakan Nazam, karena perencanaan yang dilakukan bupati bersama DPRK setempat bukan sepenuhnya untuk membangun ekonomi rakyat dalam bentuk industri kecil dan menengah serta ekonomi kreatif lainnya dalam satu kawasan industri seperti Kawasan Industri Medan (KIM) I dan II di Belawan, maka tak banyak tumbuh industri di kedua daerah itu.Masa kelam itu, kata Nazamuddin, mestinya kita tutup dengan dibukanya lembaran baru untuk “Arun Jilid 2” yang perlu disongsong serius dalam bentuk terminal gas (regasifikasi) yang dipusatkan di bekas eks kilang PT Arun NGO Co, Kota Lhokseumawe.

Dalam skala nasional, tentu masalah bagi hasil juga menjadi concern pemerintah, dalam hal ini juga SKK Migas. Perlahan tapi pasti, arah menuju bagi hasil yang lebih adil bagi masyarakat Indonesia juga mulai disusun dalam pengelolaan sumber daya alam. Di migas contohnya, pemerintah terus memprioritaskan tenaga kerja Indonesia. BPS mencatat, pada tahun 2001 jumlah tenaga kerja di sektor migas mencapai 21.346 jumlah tersebut bertambah menjadi 22.945 pekerja. Sejak 2006, penggunaan TKI meningkat di industri hulu migas, sejalan dengan bertambahnya jumlah kontraktor KKS. Rata-rata, kenaikan jumlah TKI sekitar 1.070 orang per tahun, sedangkan rata-rata kenaikan TKA pada kisaran 13 orang per tahun. Sejak 2008 sampai saat ini, penggunaan TKI dapat dipertahankan pada kisaran 96 persen dari total tenaga kerja permanen. SKK Migas mendorong kontraktor KKS meningkatkan kompetensi TKI melalui program penugasan internasional, seperti program Technical Development Exchange (TDE).

[caption id="attachment_408118" align="aligncenter" width="490" caption="Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) (dok SKK Migas)"]

1428330130973722246
1428330130973722246
[/caption]

Tidak hanya dari sisi tenaga kerja, saat ini juga mengedepankan peningkatan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Sebagaimana yang diatur dalam PTK Nomor 007 Revisi-II/PTK/I/2011, Pada Bab III angka 7.1.3.2. “SKK Migas dapat menetapkan besaran presentase persyaratan janji/komitmen pencapaian TKDN minimal yang lebih besar daripada 35% (tiga puluh lima persen). Saat ini, tingkat kandungan lokal komponen barang baru mencapai 36 persen dan kandungan lokal komponen jasa baru mencapai 63 persen. Ada pun investasi di sektor migas mencapai 14 miliar per tahun. Bahkan dalam 5 tahun ke depan, Pemerintah menargetkan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) dalam komponen industri minyak dan gas bumi bisa mencapai 75 persen.

[caption id="attachment_408120" align="aligncenter" width="490" caption="Keterlibatan bank nasional dan daerah dalam proses hulu migas (dok SKK Migas)"]

14283302331693354313
14283302331693354313
[/caption]

Salah satu contoh upaya yang dilakukan dalam rangka mendukung TKDN adalah sudah ada kebijakan menggunakan bank nasional dalam transaksi setiap Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) migas di Indonesia. Peraturan yang mulai berlaku sejak adanya surat edaran di tahun 2009 dimana untuk tahap produksi harus menggunakan bank BUMN sementara untuk tahap eksplorasi bisa menggunakan bank nasional lainnya. Tidak hanya itu, saat ini masih berlaku surat edaran untuk menggunakan kapal dan bangunan lepas pantai produksi dalam negeri.

Memprioritaskan Putera Derah

Tentu bangsa kita tidak anti asing. Saat ini perlahan pemerintah mulai menunjukan gejala nasionalismenya (perlu dicatat, mengutip Pak Rudianto Rimbono, nasionalisme beda dengan nasionalisasi). Di minerba kita ada istilah smelter, perusahaan-perusahaan minerba harus membangun smelter untuk meningkatkan nilai tambah ekspor minerba kita disamping tentu saja meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan ekonomi daerah di proses smelter dan beribu manfaat lainnya. Sementara di Migas, kita mulai menunjukan kepercayaan untuk menyerahkan pengelolaan Blok Mahakam kepada PT Pertamina (Persero).  Hal-hal seperti ini memang perlu, agar kita menjadi tuan di negeri sendiri.

[caption id="attachment_408123" align="aligncenter" width="427" caption="Contoh pola rekruitmen putera daerah (PT Freeport Indonesia)"]

142833043746423949
142833043746423949
[/caption]

Namun ada hal lainnya juga yang perlu diprioritaskan dalam kegiatan hulu migas nasional kita yakni memprioritaskan putera daerah. Maka penulis usul disetiap proses hulu migas setidaknya harus ada kriteria berapa persen di daerah tersebut yang menjadi pekerja adalah putera daerah, apakah 10%, 20% atau 30%, 40% atau 50%+1%. Tidak hanya dengan putera daerah tentu saja, dengan industri daerah/ukm daerah tentu saja perlu dipikirkan bersama untuk muatan local content. Sekarang Bank Daerah sudah, ruang karya bagi putera daerah menyusul, ukm/industri daerah juga demikian. Hal ini tentu menjadi bagian kearifan lokal dan pemberdayaan masyarakat lokal demi menciptakan proses industri hulu migas yang berkesinambungan dan mencapai ultimate goals yang didambakan yakni pro poor, pro job, pro growth dan tentu local people prosperity.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun