Mohon tunggu...
Rizky Febriana
Rizky Febriana Mohon Tunggu... Konsultan - Analyst

Senang Mengamati BUMN/BUMD dan Pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Subsidi Parpol Salah Sasaran

10 Maret 2015   18:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:51 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_401912" align="aligncenter" width="560" caption="Bantuan APBN ke partai politik DPR RI (Kompas)"][/caption]

Politisi PDI Perjuangan yang kini menjabat menteri dalam negeri, Tjahjo Kumolo mewacanakan pemberian subsidi sebesar Rp1 triliun untuk setiap parpol. Tentu, wacana ini sangat prematur menurut penulis dan menimbulkan banyak pertanyaan yang berujung meningkatnya sinisme terhadap parpol. Ada dua alasan sederhana yang penulis nilai wacana ini sangat prematur.

Pertama, rendahnya track record transparansi parpol. Tentu kita masih ingat bahwa setiap tahun Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia memberikan penganugerahan keterbukaan informasi badan publik. Tahun lalu bertempat di Wakil Istana Presiden Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat (12/12), KIP memberikan penganugerahan keterbukaan informasi badan publik. KIP melakukan pemeringkatan keterbukaan informasi terhadap 34 kementerian, 135 badan/lembaga, 34 provinsi, 138 BUMN, 61 Perguruan Tinggi Negara dan 12 partai politik.

Untuk kategori partai politik, Gerindra berada di urutan pertama keterbukaan informasi versi KIP dengan nilai 57, sementara PKS (Partai Keadilan Sejahtera) berada di peringkat kedua dengan 31 disusul PKB dengan nilai 22 dan PAN dengan nilai 16.

Dalam rilis resminya, KIP menjelaskan proses penilaian yang dilakukan selama 27 Oktober hingga 4 Desember 2014 melalui 2 tahapan: tahapan pertama kuisioner penilaian mandiri (self assestment questioner) dengan verifikasi website; dan visitisasi dengan melakukan proses wawancara dan pemeriksaan dokumen pendukung bagi yang masuk dalam 10 besar penilaian tahap pertama.

Sementara itu, KIP menyesalkan beberapa partai politik yang tidak mengembalikan self assestment questioner. Alhasil penilaian hanya dilakukan terhadap 4 partai dari 12 partai politik yang seharusnya dilakukan penilaian. Padahal KIP sendiri sudah sejak tahun 2011 melakukan penganugerahan keterbukaan informasi sesuai amanat UU No 14 Tahun 2008 tentang KIP.

Hal lain tentu kita ingat dengan wacana ini adalah bukan hal yang baru. Dulu kita tahu bahwa soal pemberian subsidi keuangan dari pemerintah kepada partai-partai politik memang dibenarkan menurut UU Pasal 12 ayat (2) UU Nomor 2/1999 tentang Partai Politik. Pasal ini menyebutkan bahwa partai politik memang bisa menerima bantuan tahunan dari anggaran negara yang ditetapkan berdasarkan perolehan suara dalam pemilihan umum sebelumnya.

Adanya bantuan pemerintah itu karena parpol merupakan organisasi nirlaba yang tidak boleh menerima sumbangan dari bantuan dari pihak asing. Parpol pun juga dilarang untuk mendirikan badan usaha dan memiliki saham suatu badan usaha. Hal ini berbeda dengan organisasi nirlaba lainnya seperti NGO yang kadang kala menerima bantuan dana berupa hibah dari pihak donor asing. Penetapan mengenai besarnya bantuan tahunan itu juga ditetapkan melalui  Peraturan Pemerintah Nomor 51/2001 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik.

Peraturan terbaru diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, dinyatakan bahwa partai politik wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran yang bersumber dari bantuan APBN dan APBD kepada BPK secara berkala 1 (satu) tahun sekali untuk diaudit paling lambat 1 (satu) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Permendagri Nomor 26 Tahun 2013 Peraturan Menteri dalam Negeri RI Nomor 26 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2009 tentang pedoman tata cara perhitungan, penganggaran dalam APBD, pengajuan, penyaluran dan Laporan Pertanggungjawaban Penggunaan Bantuan Keuangan Partai Politik. Tapi apa yang terjadi, adakah parpol yang melaporkan penggunaan dananya yang mereka terima dari dana APBN/D?

Kedua, subsidi parpol menghilangkan logika pembenaran penghapusan subsidi energi. Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) sejak 1 Januari 2015 mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM), khususnya bensin premium. Pengurangan subsidi energi ini terlihat dari nilai subsidi energi di APBN-P yang menurun drastis.

Pemerintahan baru telah memotong anggaran subsidi energi secara signifikan dengan penurunan Rp206,9 triliun menjadi Rp137,8 triliun dalam APBN-P 2015 dibanding pagu APBN induk 2015 sebesar Rp344,7 triliun. Penurunan drastis anggaran subsidi energi, dijelaskan dia, berasal dari anggaran subsidi BBM, elpiji dan bahan bakar nabati (BBN) yang tercatat merosot drastis Rp211,3 triliun. Dari APBN sebesar Rp276 triliun menjadi Rp 64,7 triliun di APBN-P 2015. Pemerintah punya ruang fiskal yang cukup besar yakni Rp206,9 triliun.

Selama ini, wacana pengurangan subsidi energi itu salah sasaran. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ndaime Diop (World Bank, 2014) dalam penelitiannya tahun 2012 mengemukakan bahwa 84% dana subsidi BBM pada tahun tersebut atau sekitar Rp178 triliun dinikmati oleh warga masyarakat kelas atas. Bahkan, 40% dinikmati oleh lapisan 10% golongan masyarakat paling atas. Alhasil, hanya 16% saja yang dinikmati oleh warga miskin.

Tony Prasentiantono, ekonom UGM yang juga ketua Pusat Studi Ekonomi Kebijakan Publik (PSEKP) pernah melakukan simulasi sederhana seandainya subsidi energi dihapuskan (tentu secara bertahap. Seperti dilansir di website resmi http://psekp.ugm.ac.id/, Tony Prasentiantono menyimulasikan dengan angka subsidi BBM dan listrik di APBN 2014 yang jumlahnya mencapai adalah Rp 350 triliun, yang terdiri dari subsidi BBM Rp 246 triliun dan subsidi listrik Rp 104 triliun. Jika suatu saat nanti subsidi BBM bisa dihilangkan (tentu saja secara bertahap), maka kita akan mendapatkan ruang fiskal hampir Rp 250 triliun.

Jika kita asumsikan dana sebesar itu dibagi dua sama rata untuk kepentingan: (1) pembangunan infrastruktur, dan (2) melindungi daya beli kelompok miskin, maka berarti untuk masing-masing pos mendapatkan Rp 125 triliun. Besaran tersebut sangat signifikan. Sebagai perbandingan, biaya pembangunan bandara megah Kualanamu di Sumatera Utara juga “hanya” Rp 5,6 triliun dalam tempo 8 tahun. Artinya, kebutuhan dananya “cuma” Rp 700 miliar per tahun. Bandara di Balikpapan yang indah itu juga hanya Rp 2 triliun; bandara Ngurah Rai di Bali cuma Rp 2,7 triliun; rel kereta ganda (double track) Jakarta-Surabaya sepanjang 727 km hanya Rp 10,6 triliun; jalan tol di atas laut di Bali sepanjang 12 km cuma Rp 2,7 triliun, dan seterusnya. Dengan kata lain, dana Rp 125 triliun per tahun untuk menambah anggaran infrastruktur tersebut sangatlah besar!

Lalu, bagaimana dengan dana Rp 125 triliun jika kita berikan secara tunai kepada penduduk miskin? Ini juga sangat dahsyat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), per Maret 2014 jumlah penduduk miskin kita adalah 28,3 juta, yang terdiri dari 10,5 juta di perkotaan dan 17,7 juta di perdesaan. Jika kita transfer dana Rp 125 triliun kepada mereka, akan diperoleh angka Rp 6 juta/orang/tahun.

Tarhlah data BPS tersebut sesungguhnya misleading (terlalu rendah). Kita ambil data lain. Dengan kriteria Bank Dunia USD 1,25/orang/hari, maka akan ditemukan angka penduduk miskin 65 juta orang. Dengan data ini, akan diperoleh bantuan tunai langsung Rp 2,7 juta/orang/tahun. Jika diasumsikan per keluarga kita berisi 4-5 orang, maka akan diperoleh Rp 10 juta/keluarga/tahun, atau Rp 800.000/keluarga/bulan.

Tentu wacana subsidi Rp1 triliun ke parpol membuat masyarakat akan berpikir benarkah penghapusan subsidi energi untuk disalurkan ke sektor produktif (pendidikan, kesehatan, pertanian dan infrastruktur) dan orang-orang kelas bawah by name by address agar lebih tepat sasaran?

Meski sekedar wacana, subsidi parpol jelas diperkirakan akan salah sasaran, apalagi tidak ada kajian ilmiah yang dapat diterima nalar publik, ini malah ujug-ujug keluar angka fantastis Rp1 triliun per partai.  Oh tidak….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun