[caption id="attachment_397537" align="aligncenter" width="465" caption="Mahkamah Agung harus turun tangan! (dok. PN Madiun)"][/caption]
Lepasnya status tersangka KPK terhadap Budi Gunawan disidang praperadilan bukan sesuatu yang terlalu mengejutkan. Sejarah mencatat, sebelum ini ada dua proses praperadilan dengan keputusan melepaskan status tersangka yang sudah ditetapkan oleh lembaga penegak hukum. Pertama, terkait kasus korupsi proyek pemulihan lahan (bioremediasi) PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) pada 27 September 2012 lalu.
Dalam sidang yang digelar serentak di empat ruang sidang berbeda di PN Jaksel, empat hakim tunggal yang menangani permohonan praperadilan empat tersangka memutuskan untuk menerima sebagian permohonan, salah satunya melepaskan status tersangka kejaksaan terhadap mereka.
Kedua, praperadilan terkait kasus atas status tersangka Toto Chandra. Pimpinan perusahaan Permata Hijau Group itu ditetapkan sebagai tersangka oleh Ditjen Pajak pada 2009. Tak terima dengan penetapan tersangka ini, Toto lalu menggugat dengan mengajukan praperadilan ke PN Jaksel pada Agustus 2014. Hakim tunggal M Razzad mengabulkan permohonan tersebut dan membatalkan penetapan tersangka oleh Ditjen Pajak.
Penulis melihat sumber perdebatan terkait praperadilan itu berawal dari pertanyaan-pertanyaan apakah boleh praperadilan melepaskan status tersangka seseorang atau tidak semua berakar dari multitafsir Pasal 1 butir 20 dan Pasal 77 KUHAP. Dalam KUHAP diatur wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus:
(1) Sah tidaknya suatu penangkapan atau penahanan.
(2) Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
(3) Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan
Selama MA belum turun tangan untuk memberikan pedoman kepada para hakim di sidang praperadilan, selama itu pula pola praperadilan akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Selain untuk para tersangka seperti diberikan “angin” untuk melakukan proses praperadilan, namun juga akan dijadikan sebagai celah hukum bagi pihak-pihak yang berperkara.
Masyarakat sendiri juga akan melihat konsistensi MA terhadap para hakim yang membatalkan status tersangka dipraperadilan. Jika hakim Suko Harsono disanksi dan dimutasi akibat membatalkan salah satu tersangka korupsi bioremediasi yang saya sebutkan di awal bagaimana dengan 3 hakim tunggal lainnya yang disaat yang bersamaan melakukan hal yang sama? Bagaimana dengan Sarpin Rizaldi apakah akan bernasib sama?
Untuk itu, atas proses multitafsir ini, Mahkamah Agung terkesan lambat untuk mengeluarkan peraturan yang dapat menjawab pertanyaan apakah praperadilan bisa melepaskan status tersangka seseorang? ya atau tidak harus dijawab oleh MA! Biar hakim juga memiliki pedoman yang jelas dan clear dalam memimpin sidang praperadilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H