Hustle Culture merupakan suatu fenomena yang belakangan ini ramai menjadi pembahasan tak hanya oleh para pakar, namun juga oleh banyak masyarakat. Fenomena ini menjadi bahan perbincangan yang tak ada habisnya karena selain memang masih banyak masyarakat, khususnya generasi muda yang menjalankannya, hustle culture juga menimbulkan pro dan kontra. Hustle culture sendiri berasal dari kata hustle yang secara harfiah berarti 'terus-menerus'. Istilah ini secara tidak langsung merepresentasikan suatu kebudayaan di mana secara terus menerus seseorang akan bekerja, menghasilkan sesuatu -- singkatnya menjadi senantiasa selalu produktif.
Fenomena hustle culture sendiri dapat mengarahkan kita pada suatu workaholism, yang mana melansir dari American Psychology Association berarti suatu kondisi di mana seseorang merasakan paksaan atau kebutuhan dari dalam diri untuk terus bekerja yang tak dapat dikendalikan. Kendati demikian, hustle culture tidak melulu mengenai bekerja di sektor formal pada sebuah institusi atau perusahaan, namun juga mengacu pada seseorang yang aktif dan selalu sibuk melakukan aktivitas apapun. Hustler, sebutan bagi orang yang menjalankannya, beranggapan bahwa untuk meraih kesuksesan perlu merelakan waktu istirahat sehingga hustle culture dapat menimbulkan berbagai dampak buruk seperti mendatangkan berbagai penyakit baik fisik maupun psikis hingga mengarah pada kematian akibat kelebihan bekerja, maupun kurangnya interaksi dengan orang di sekitarnya.
Hustle Culture Sebagai Imbas Kemajuan Industri-Teknologi
Sebagai sebuah fenomena yang tak henti-hentinya mendapat tempat, terlebih sejak adanya seruan 'Tetap Produktif Meski Dari Rumah' sejak COVID-19 melanda, hustle culture tidak muncul dengan sendirinya. Fenomena yang sudah ada sejak tahun 1971 dan kian  menyebar dengan cepat terutama di kalangan milenial ini ternyata merupakan imbas dari berbagai kondisi, namun salah satunya yang paling mencolok dan berpengaruh adalah kemajuan industri. Melalui Economica, Lugina Setyawati, dosen sosiologi Universitas Indonesia, mengambil contoh munculnya perusahaan-perusahaan start-up. Perusahaan start-up sejatinya mengedepankan inovasi dan kreativitas sehingga terdapat tuntutan untuk selalu bekerja dan menghasilkan sesuatu, terlebih apabila perusahaan tersebut beroperasi di bidang jasa. Menurutnya, hal ini lah yang kemudian menjadikan seolah tidak ada 'jam kerja' tertentu yang membatasi -- terjadi pergeseran pemaknaan waktu kerja yang sebelumnya 9 to 5 menjadi 24 hours.
Perkembangan industri pun tidak hanya dilihat dari kemunculan perusahaan start-up, namun juga kemajuan monetisasi yang dilakukan oleh para perusahaan melalui teknologi. Adalah Douglas Kellner (1989) yang mengajukan istilah technocapitalism untuk menunjukkan peran teknologi yang terus semakin berpengaruh dan menjadi kapitalis utama dalam relations of production. Kellner mendefinisikan technocapitalism sebagai konfigurasi masyarakat kapitalis di mana pengetahuan teknis dan saintifik, otomasi, komputer, dan teknologi tinggi memainkan peran dalam mekanisasi proses pekerja, sekaligus juga memproduksi bentuk-bentuk organisasi kemasyarakatan dan budaya baru dalam kehidupan keseharian masyarakat.
Kehadiran technocapitalism beragam dan sudah mulai akrab dalam kehidupan kita sehari-hari mulai dari e-commerce, bimbingan belajar online, penyedia jasa transportasi, hingga salah satunya yang paling mencolok adalah media sosial. Dalam media sosial beragam kegiatan monetisasi dilakukan di dalamnya; mulai dari event seperti tantangan-tantangan berbayar, endorsement, paid promotions, adsense, dan yang lainnya.
Monetisasi yang terjadi akhirnya menimbulkan komodifikasi yang memicu setiap orang untuk lebih giat bekerja entah dengan terus-menerus produktif baik melalui perusahaan maupun individual, dengan menjadikan kehidupan keseharian, perkembangan gagasan, ide-ide serta kreativitas, sebagai sesuatu yang menghasilkan komoditas tersebut. Technocapitalism akhirnya juga turut andil dalam menjadikan seseorang menjadi salah satu dari hustlers, bekerja di luar durasi jam kerja normal karena tuntutan perusahaan atau menjadi freelancer sebagai pekerjaan sambilan.
Pro dan Kontra Hustle Culture
Hustle culture, sebagaimana telah disinggung di atas, menimbulkan pro dan kontra. Sebagian dari mereka yang mendukung budaya ini beranggapan bahwa hustle culture dapat menimbulkan hasil berupa etos kerja yang tinggi, tingkat kompetitif yang tinggi, serta inovasi dan kreativitas yang terus berkembang. Bagi mereka, hustle culture berbuah manis bagi pelakunya karena bekerja secara terus-menerus dapat membuat mereka memiliki jenjang karir dan kesuksesan yang gemilang.
Namun, tak sedikit pula yang menolak atau kontra terhadap hustle culture. Sisi buruk dari hustle culture antara lain munculnya beragam masalah baik fisik maupun psikis. Kita dapat menemui, atau malah mungkin kita sendiri, menjadi burnout karena harus bekerja terus-menerus demi memenuhi ekspektasi perusahaan atau jika untuk mencapai target yang kita inginkan. Menurut WHO, burnout sudah termasuk ke ranah masalah mental bahkan, orang yang mengalami burnout dapat berujung kepada depresi yang tentunya membahayakan dirinya. Tak hanya permasalahan psikis, masalah fisik seperti penyakit jantung, stroke, yang berujung pada kematian pun menjadi salah satu dari sekian banyak dampak buruk hustle culture.