GAGAP REPUBLIK: MASUKNYA YANG PRIVAT KE YANG PUBLIK
COVID-19 sebagaimana yang kita tahu, telah menyebar; dari yang semula hanya epidemik di Cina kini telah merebak ke hampir seluruh penjuru dunia dan telah banyak negara melakukan tindak pencegahan maupun pengobatan, termasuk Indonesia. Sejak Januari kabar virus ini masuk ke Indonesia hingga April, saat ini, saat virus itu sendiri masuk ke Indonesia, kita banyak melihat apa yang pemerintah republik ini lakukan, yang disuguhkan oleh berbagai media, kepada kita, yang menunjukan bahwa selain kita gagap republik ternyata kita juga republik yang gagap, yang mana mungkin kita telah mengetahui dan merasakan kegagapan yang dialami oleh pemerintah kita, sebagai salah satu aktor dominan yang kerap menggaungkan “NKRI Harga Mati”, dalam menangani COVID-19.
Pandemik COVID-19 yang sekarang menghantam Indonesia tak hanya membuat kekacauan di ranah res publica, namun juga res privata. Dalam ranah res privata kita bisa lihat bahwa kekacauan terjadi di perekonomian individu setiap warga negara dan tak dapat dipungkiri lagi dalam hal ini negara itu sendiri, namun di ranah res publica pemerintah masih melakukan hal-hal menyebalkan yang membahayakan publik bahkan terkesan abai terhadap kesehatan publik sejak awal virus ini merebak. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya kelakar para politisi dan pejabat negara hingga masuknya narasi keagamaan ke dalam urusan publik; yang menunjukan bahwa di satu sisi kita tak hanya gagap republik namun juga telah menjadi republik yang gagap dalam menhadapi situasi ini; saat negara lain sibuk mempersiapkan diri menghadapi virus ini, dengan mempersiapkan banyak sekali test kits, para pejabat publik kita justru menganggap ‘enteng’ dengan berkelakar dan menggunakan narasi keagamaan seperti “sudah berdoa saja semoga Indonesia tidak kena COVID-19”, dan “Indonesia tidak terkena COVID-19 karena kita baca Doa Qunut”. Tidak ada yang salah dengan narasi keagamaan seperti ini, yang salah adalah saat-dan-tempat dalam menggunakannya; saat COVID-19 akan menjadi urusan kesehatan publik, pemerintah Indonesia justru tetap menggunakan narasi semacam itu – alih-alih ingin menciptakan ketenangan masyarakat, justru yang terjadi adalah sebaliknya. Kegagapan nampak melalui, sekali lagi, kembalinya narasi keagamaan yang dalam diskursus republikanisme adalah yang ‘privat’ masuk oleh para pejabat ‘publik’ muncul untuk menangani masalah yang memang berkenaan dengan publik, yakni kesehatan dan keselamatan warga negara di tengah pandemik COVID-19
Kini, kita tengah menikmati buah pahit dari kegagapan semacam itu; kekurangan APD untuk tenaga medis yang diiringi dengan bertambahnya jumlah kematian tenaga medis serta pakar, kurangnya stok masker karena adanya penimbunan, pemerintah yang saling ‘mencuci-tangannya’ dan kebingungan, miskoordinasi antara pusat dan daerah, munculnya argumen usang yang sudah lama terbantahkan “COVID-19 tidak mungkin bertahan di Indonesia karena cuaca kita adalah cuaca panas”, wacana anggota DPR yang terkesan memprioritaskan diri untuk melakukan tes COVID-19 (meski hal ini ditolak), hingga munculnya aturan bahwa masyarakat yang menghina Presiden maupun Menteri Kesehatan atau siapapun pejabat publik di tengah Pandemik COVID-19 akan dipenjara dan percepatan Omnibus Law CILAKA yang sedang dikerjakan oleh DPR.
REPUBLIK GAGAP: PENGERAHAN YANG PRIVAT UNTUK MEMBUNGKAM YANG PUBLIK DI TENGAH PANDEMIK COVID-19
Sebagai negara dengan keberagaman SARA sekaligus sebagai aktor utama yang memainkan narasi “NKRI Harga Mati” dengan masif, sudah sepantasnya hal tersebut tidak pernah ada dalam urusan yang berkenaan dengan publik. Dalam republikanisme, sudah jelas bahwa yang utama adalah yang publik, maka hal-hal seperti narasi keagamaan seharusnya tidak perlu dibawa kembali sebagai narasi solutif dalam menangani COVID-19 maupun sebagai narasi yang menunjukan bentuk kesombongan dalam menghadapi COVID-19. Berkelakar pun seharusnya tidak dilakukan oleh para pejabat publik mengingat bahwa pandemik ini, sebelum memasuki Indonesia, telah memakan korban jiwa di Cina – baik dari pasien maupun tenaga medis. Pun di awal masih memikirkan pendapatan negara dengan memberikan subsisi yang besar untuk pariwisata sekaligus membuka besar gerbang arus wisata nampaknya kurang etis dilakukan mengingat pandemik ini dan beberapa negara justru melakukan pengetatan dan pencegahan secara masif. Ditambah lagi, kini polisi akan melakukan penangkapan pada siapapun yang dinilai menghina presiden maupun menteri kesehatan terkait pandemik ini serta DPR yang sedang mengebut Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (CILAKA) untuk segera disahkan di tengah pandemik COVID-19; di tengah situasi di mana masyarakat tidak bisa berkumpul untuk menyampaikan aspirasinya.
Malangnya nasib kita, sudah gagap republik, republik gagap pula; di tengah pandemik ini publik harus berpikir agar selamat untuk dirinya sendiri dan keluarganya, dan menghadapi kenyataan bahwa para pejabat publik yang kerap menggaungkan “NKRI Harga Mati” ternyata gagap republik. Poin terakhir sangat menunjukan bahwa kita gagap republik dan republik gagap. Bagaaimana tidak, negara sekali lagi menunjukan bahwa ‘yang privat’ dengan seenaknya masuk ke ‘yang publik’ dan dengan semena-mena melakukan tindakan tanpa melibatkan publik. Bergeraknya aparatur negara untuk menangkap siapapun yang dianggap menghina pejabat publik menunjukan bahwa negara sekali lagi hadir sebagai bentuk yang anti-kritik. Selain bersifat subjektif a la negara, penilaian atau anggapan menghina presiden ini berbahaya karena sangat berpotensi membungkam suara, kritikan, yang disampaikan oleh masyarakat, oleh publik, oleh khalayak, sebagai bagian yang terkena dampak COVID-19 secara langsung. Nampaknya, selain komunikasi publik, para pejabat publik kita harus belajar lagi mengenai demokrasi, khususnya demokrasi republikanisme.
Tak perlu lah kita menggaungkan masalah baru “kritik yang membangun”, atau “kritik boleh, asal dengan solusi”, karena pada dasarnya selain terkesan kurang demokratis, pada hakikatnya kritik itu mengungkapkan apa yang salah sedanngkan solusi mengungkapkan bagaimana yang benar. Kritik itu terbuka, mengutip Terry Eagleton: “.... Kritik membuka diri untuk diperdebatkan, mencoba meyakinkan, dan mengundang kontradiksi. Dengan demikian, kritik menjadi bagian dari tukar pendapat publik”. Jadi jelas bahwa kritik adalah urusan yang publik, ia tidak mengancam keselamatan individu pemerintah maupun keluarganya, dan tidak sepantasnya mendapat perlakuan dari yang privat; tentara, polisi, terlebih apabila yang disampaikan dalam kritik tersebut adalah fakta. Menggunakan kekuatan yang privat untuk menghadapi yang publik berarti menunjukan bahwa kita masih gagap republik, dan menunjukan bahwa kita republik yang gagap di tengah pandemik COVID-19 ini. Kenapa demikian? Karena dalam diskursus republikanisme, yang privat tidak akan pernah menemukan tempatnya di publik; TNI, POLRI, Badan Intelijen Negara, merupakan lembaga res privata yang seharusnya bergerak dalam ruang keselamatan entah itu negara maupun pejabat publik individual, dan karena itu lah mereka baru boleh masuk dalam ruang publik saat gerakan publik mengancam keselamatan negara maupun pejabat publik individual – selama yang bersifat publik tidak seperti itu, maka sesuatu yang memang menemukan tempatnya di res publica haruslah dihadapi dengan elemen yang menemukan tempatnya di res publica juga.
Selain pengerahan yang privat dalam menghadapi yang publik, percepatan Omnibus Law CILAKA tanpa mengikutsertakan aspirasi publik juga merupakan tindakan yang jauh dari demokrasi republikanisme; selain isinya yang timpang, mengutamakan oligark dan membiarkan rakyat berpotensi dieksploitasi, ketidakikutsertaan rakyat dalam perumusan Omnibus Law CILAKA juga menjadikan hal tersebut bukanlah representasi dari kehendak rakyat, melainkan hanya representasi kehendak lembaga, sekelompok orang, bukan merupakan representasi kehendak umum, terlebih lagi kecenderungan yang dikandungnya merupakan kecenderugan sekelompok orang, sebuah kelas, bukan seluruh lapisan elemen masyarakat, dan sekali lagi, DPR sebagai representasi pejabat publik yang tinggi sama sekali tidak menemukan republikanisme dalam proyeknya kali ini.
Selain itu, dengan dikebutnya proyek ini untuk segera disahkan, menjadikan DPR seolah salah memprioritaskan agenda karena pada saat ini rakyat sedang bertarung hidup dan mati di tengah pandemik COVID-19 – mengingat bahwa belum ada langkah pasti dan protokol kesehatan yang membuat masyarakat lebih merasa aman karena kehidupan dan keselamatannya dijamin oleh negara, oleh pemerintahan, yang kecanduan dengan “NKRI Harga Mati”, semakin membuktikan bahwa tak hanya gagap republik namun juga republik yang gagap. DPR seharusnya berhenti melakukan tindakan ini dan menunggu khalayak bisa bergerak bebas untuk menyampaikan aspirasinya, untuk merepresentasikan kehendaknya, memberikan kepada rakyat Omnibus Law CILAKA untuk dikritisi, menghidupkan demokrasi, bukan sebaliknya – mengingat bahwa tujuan setiap peraturan negara dibuat untuk kepentingan publik, untuk kepentingan khalayak luas, untuk kepentingan setiap warga negara, dan setiap warga negara, dalam republikanisme, berhak untuk menyampaikan kehendaknya dan memiliki haknya untuk menyampaikan aspirasinya.
EPILOG