Gaung “NKRI Harga Mati!” nampaknya bukanlah hal yang tak pernah kita dengar. Ya! Gaung tersebut telah mewarnai hari-hari kita sejak 2014 dan semakin sering kita dengar belakangan ini; para politisi, aparatur negara, masyarakat pro-pemerintah, dan banyak kalangan menggaungkan spirit ini – seolah spirit “Republik Indonesia” telah menyatu dalam nadi dan darah kita tanpa bisa diragukan lagi. Namun tiba-tiba suatu pandemik menghampiri Indonesia, gaung “NKRI Harga Mati”-pun tak terdengar bukannya sayup-sayup, padahal sebelumnya ini gaung yang bisa kita temukan di mana-mana; dalam pidato kenegaraan, tulisan di berbagai media terutama di media sosial, hingga pernyataan buzzer maupun masyarakat pro-pemerintah.
Bukan rahasia umum lagi jika pemerintah Indonesia gagap dalam menangani pandemik yang kini sedang marak di Indonesia; ya, gagap! Tak perlu denial, lihat saja kurangnya APD, koordinasi yang kurang bersinergi antar pejabat publik, kebijakan yang gampang diralat, bahkan banyak orang yang menginginkan adanya transparansi yang menandakan bahwa di mata khalayak pemerintah kurang transparan mengenai penanganan COVID-19. Namun, tak hanya di situ, kegagapan pemerintah “NKRI Harga Mati” juga terlihat dengan adanya pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang ‘dikebut’ di tengah pandemik ini, dan dipastikan bahwa pejabat publik nampaknya salah memprioritaskan agenda.
Sebuah Pengantar Singkat Mengenai Republikanisme
Dari awal “NKRI Harga Mati” digaungkan, saya melihat bahwa gaung ini belum cocok di Indonesia; selain karena gaung ini hanya diperuntukan dalam proses simulasi melalui corong berbagai media, “NKRI Harga Mati” digunakan sebagai doktrin untuk menjustifikasi kebencian, bentuk diskriminatif, dan lain sebagainya ke pada suatu golongan atau individu yang berada tepat di jalur oposisi dan orang banyak menggaungkan hal ini tapi secara esensial, substansial, jauh dari apa yang dimaksud NKRI itu sendiri, khususnya RI itu sendiri, khususnya makna Republik dalam ‘Republik Indonesia’ itu sendiri – Ya! keberhasilan simulasi “NKRI Harga Mati” sejak awal dimainkan tak usah diragukan lagi karena masih memiliki dampak hingga saat ini. Tidak ada yang salah dengan “NKRI Harga Mati”, namun yang akan dibahas di sini adalah simulasi “NKRI Harga Mati” yang overused sehingga banyak orang menggunakan tindakan maupun perkataan yang misleading terhadap hal tersebut – yang mana padahal esensi dan substansinya tidak serendah itu.
Republikanisme dalam Republik Indonesia (RI) nampaknya belum menggugah para elemen masyarakat RI untuk membuka diskusi lebih mendalam lagi mengenai apa itu Republikanisme serta bagaimana berwarganegara dengan Republikanisme, dan ini telah menjadi absensi yang amat besar – selagi hal ini mengalami absensi besar bertahun-tahun lamanya, pemerintah kita nampaknya lebih suka menggunakan NKRI dengan imbuhan kalimat-kalimat sebagai jargon politik saja, yang bertujuan memukau dan menarik suara dari rakyat. Republikanisme, merupakan paham induk Indonesia yang terlupakan – bagaimana bisa hidup dibawah kata ‘republik’ sedangkan kita belum paham betul apa itu republikanisme?
Republikanisme sebagaimana kita pahami hanya sebatas ‘pemerintahan demokratis di mana kekuasaan ada di tangan rakyat’ namun sebenarnya republikanisme dapat lebih kita pahami melalui pikiran mengenai polis di Athena dan gagasan politik Aristoteles, gagasan mengenai Homo Legalis oleh Cicero, Kehendak Umum-nya Rosseau. Dalam buku Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan: Dari Marx sampai Agamben yang ditulis oleh Robertus Robet, mengatakan bahwa republikanisme muncul dalam gagasan politik Aristoteles yang memiliki relevansinya dengan polis di Athena. Kita mungkin telah mengetahui sejauh ini bahwa polis memiliki arti ‘kota’, namun ternyata dalam terms republikanisme Aristotelian, polis berarti wahana deliberatif, di mana setiap orang bisa menjadi apapun yang diinginkannya sejauh hal itu sejalan dengan res publica yang terkandung di dalamnya; dalam polis inilah segala urusan publik dibicarakan dan dibahas dalam sebuah wadah majelis kewarganegaraan yang disebut eklesia, dan setiap warga negara posisinya adalah setara untuk membahas kebijakan publik bersama di eklesia – warga negara diberikan kesetaraan hak untuk memutuskan kebijakan secara demokratis. Dalam terms Aristotelian, polis (yang merupakan ranah res publica) diisi oleh para politisi, petinggi negara, filsuf, dan ilmuwan sedangkan oikos (yang merupakan ranah res privata) diisi oleh para agamawan, tentara, budak, serta para istri ataupun selir; yang kemudian nantinya akan masuk pula unsur logos dan phone dalam diskursus republikanisme Aristotelian.
Selain republikanisme Aristotelian, kemudian kita akan mengenal republikasime dari Homo Legalis-nya Cicero. Homo Legalis Cicero dapat dikatakan merupakan modifikasi dari Zoon Politicon-nya Aristoteles yang mana ditandai dari cara Cicero memahami polis bukan sekedar keberadaan alami bagi orang yang meyakininya, melainkan suatu persekutuan yang memiliki dimensi legal-formal dan satu-satunya yang dianggap sah. Pergeseran ‘siapa itu warga negara’ dalam terms Aristotelian yang secara moral-teleologis dinyatakan sebagai subjek melalui logos, terjadi dalam pengertian Cicero yang dilihatnya melalui legalis-instrumentalis, yakni sebagai warga negara yang bertanggungjawab dan taat kepada hukum. Dengan kata lain, Cicero memperkenalkan republik (res publica) sebagai persoalan rekonstruksi hak dan kewajiban dalam arena relasional antara pemerintahan dan warga negara; pengertian ini berarti setiap pemerintahan dituntut untuk bersetia dengan ideal keadilan, atau menurut Robertus Robet “ikatan kepada yang adil”, sementara warga negara yang baik adalah mereka yang memegang tanggung jawab dan taat terhadap hukum. Perbedaan antara republik Aristoteles dan Cicero dalam hal ini dapat dilihat dari pengertian bahwa warga negara dalam tradisi Athena (Aristoteles) adalah subjek politik yang bertindak bebas dalam polis sebagai wahana deliberatif dan rasional, sedangkan dalam tradisi Romawi Kuno (Cicero) ditandai dengan keberanggotaan dalam sebuah komunitas bersama atau hukum bersama yang bisa identik dengan sebuah komunitas teritorial, singkatnya legal-formalis.
Format lebih luas mengenai republikanisme mendapat tempatnya dalam pemikiran Rosseau yang dituangkan dalam buku Contract Sociale, yang, meski dibakar oleh pemerintahan kota Paris dan Geneva, menginspirasi api semangat republik untuk tidak mengakui keabsahan seorang raja. Konstruksi negara Rosseau didasarkan pada apa yang disebut dengan Kehendak Umum. Meski setiap warga negara memiliki kehendak yang berbeda-beda dan saling berlawanan, entah individu maupun kelompok, namun apabila sejauh hal tersebut diarahkan pada kehendak umum bersama sebagai satu bangsa, semua kehendak itu bersatu menjadi satu kehendak; kehendak umum. Undang-undang harus merupakan ungkapan kehendak umum, tidak ada perwakilan rakyat karena kehendak rakyat tidak dapat diwakili; rakyat sendiri harus berkumpul dan menyatakan kehendaknya melalui perundangan yang diputuskannya. Pemerintah hanya sekedar menjadi ‘panitia’ yang ditugasi untuk melaksanakn keputusan rakyat (fungsi eksekusi). Dengan demikian, negara menjadi republik, res publica, urusan umum; kehendak umum disaring dari pelbagai keinginan rakyat melalui pemungutan suara dan keinginan yang tidak berhasil mendapat dukungan suara terbanyak dengan demikian terlihat sebagai tidak umum dan disingkirkan. Namun demikian, untuk memahami kehendak umum menurut Rosseau diperlukan vertue, keutamaan; orang harus dapat membedakan antara kepentingan pribadi dan kelompoknya di satu pihak dan kepentingan umum di lain pihak. Jadi, untuk berpolitik dan bernegara diperlukan kemurnian hati yang bebas dari segala pamrih – berpolitik menjadi perihal moralitas. Republik bagi Rosseau yaitu bahwa negara adalah urusan umum, menjadi inti cita-cita demokrasi modern dan tetap menghalang usaha berbagai elit ideologis dan teknokratis untuk menganggap negara sebagai urusan mereka yang ekslusif – Rosseau berhasil memberikan arah dan makna pada suatu kerinduan yang sudah kuat; membuat jelas bahwa penolakan terhadap penindasan merupakan hak asasi dan tanda martabat mereka sebagai manusia bebas.
Gagap Republik dan Republik Gagap di Tengah Pandemik
Setelah membaca republikanisme, kita kurang lebih mendapatkan gambaran mengenai apa itu republik lebih jauh lagi (saya harap demikian), tidak hanya mengandalkan esensi sederhana yang sebelumnya sudah saya kutip (sekali lagi, saya harap demikian), dan bisa merenung apakah sejauh ini hidup berbangsa dan bernegara sejalan dengan republikanisme (untuk terakhir kali, saya harap demikian). Indonesia sejak awal perumusan bentuk negaranya, menyadur kuliah Robertus Robet di Jurnal Perempuan mengenai republikanisme dan feminisme, secara sederhana hanya ingin memiliki bentuk negara yang berbeda dari bentuk-bentuk kebanyakan negara yang ada saat itu, dan sejak saat itulah Indonesia menemukan republik, namun disayangkan republik tidak menemukan tempatnya di Indonesia – atau dapat dikatakan, seminimalnya kurang menemukan (meski dalam beberapa kasus, republikanisme amat terpinggirkan).
Kurangnya diskusi lebih lanjut, kurang enggannya negara memfasilitasi diskusi publik (malah cenderung melakukan pembubaran, atau pembiaran terhadap pembubaran yang dilakukan oleh beberapa organisasi masyarakat atau ormas), melakukan razia buku yang dianggap ‘merusak’ kehidupan berbangsa dan bernegara, dan lebih sukanya para politisi yang melibatkan narasi-narasi privat untuk berpolitik sembari menggaungkan “NKRI Harga Mati”; sebut saja lah yang paling dominan adalah narasi keagamaan, bukankah sudah cukup bagi kita untuk mengatakan bahwa sebagai republik kita gagap republik. Apabila kita lihat lebih jauh, di waktu-waktu yang lalu agama menjadi senjata paling ampuh dalam berpolitik – entah untuk menjatuhkan figur maupun menaikan tingkat elektabilitas figur politik. Dalam hal ini, apabila kita memegang teguh ideologi republikanisme, maka tak seharusnya agama masuk ke ranah publik seperti politik, karena agama pada dasarnya adalah urusan privat, res privata. Banyak contoh lain yang apabila dijabarkan menunjukkan bahwa sebagai negara republik kitapun gagap republik, namun saya akan berhenti di sana dan akan membahasnya dalam konteks saat ini, yakni Pandemik COVID-19.