Mohon tunggu...
Rizky Arya Kusuma
Rizky Arya Kusuma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Belajar nulis.

Butiran debu dari jagad buana, sekadar berusaha bermanfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Antara Konsep Pikiran dan Kenyataan

23 Juni 2023   10:02 Diperbarui: 23 Juni 2023   10:07 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Duduk di tepi pantai, memandangi laut. Menyelaraskan diri dengan ke-netral-an alam yang nyata. Melihat laut itu, menyadari bahwa itu laut dan nyatanya laut itu ada disana. Titik. Itu saja. Tanpa pembandingan, tanpa rasa suka maupun tidak suka, tanpa reaksi pikiran apapun. Yang ada hanyalah: laut itu ada di sana, di hadapanku.

Siapapun yang membaca ini pasti sepakat akan kenyataan itu. Tidak ada yang bisa menyangkalnya. Dan tidak ada keterpisahan antara satu orang dengan yang lainnya. Karena tidak ada si "aku". "Laut itu ada di sana" adalah kenyataan seapaadanya yang (bisa) sama-sama pembaca dan saya sadari.

Tetapi, tadi aku membuka kembali foto-foto laut lainnya di gallery HP, lalu di kepalaku bermunculan narasi dan asumsi tentangnya. Ya, pasti, narasi dan asumsi itu sudah bukan 'kenyataan seapaadanya' laut itu. Karena dalam menarasikannya, diikuti memori, kenangan, emosi dan penghakimanku terkait laut itu. Akibatnya, aku jadi tidak lagi benar-benar menyadari 'kenyataan seapaadanya' laut itu.

"Aku lebih suka laut yang ... daripada... ; Laut ini biru, laut itu tidak; Laut ini indah, laut itu tidak; Laut..." adalah konsep yang muncul di pikiran, bukan 'kenyataan seapaadanya'.

Konsep di pikiran tiap orang berbeda-beda. Begitu pula yang terjadi ketika kita melihat apapun. Termasuk ketika kita melihat orang lain, pikiran, perasaan, pun melihat diri kita sendiri.

Pernahkah kamu melihat (sembari menertawakan) anak kecil yang bertengkar sampai sebegitunya hanya karena boneka berbie, mobil-mobilan, sepatu, sandal, baju? Hanya karena punya konsep di pikiran yang berbeda terkait itu? 

"Sepatuku lebih mahal, lebih bagus dari punyamu," anak lainnya tidak terima karena menurutnya, "sepatuku lebih bagus, warnanya ada banyak," akhirnya mereka bertengkar.

Itu anak kecil, wajar. Bagaimana dengan kita yang bukan lagi anak kecil, yang 'katanya' sudah 'dewasa', ternyata juga masih sering bertengkar hebat hanya karena punya konsep di pikiran yang berbeda terkait suatu hal.

Contoh: Bagi fans-nya tim A, konsep tentang permainan timnya yang pragmatis itu brilian, luar biasa cerdas, sesuai komposisi tim, yang penting menang, tentu bisa diterima. Tapi, bagi orang yang bukan fans-nya tim A, misal fans-nya tim M, konsep tentang tim A yang demikian tadi enggak bisa diterima alias ditolak. Bagi fans-nya tim M, permainan itu ya harus cantik, menyerang, build-up serangan dari bawah dari kaki ke kaki, sehingga enak ditonton.

Begitu juga terjadi di banyak hal lainnya.

Apa yang sebatas 'kita' percaya dan apa yang 'orang lain' percaya itu kan 'hanya berupa konsep-konsep di pikiran', bukanlah 'kenyataan seapaadanya'. Belum tentu benar, masih relatif. Jadi, apa iya perlu bertengkar sampai sebegitunya hanya karena perbedaan konsep di pikiran?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun