Mohon tunggu...
Rizky Arya Kusuma
Rizky Arya Kusuma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Belajar nulis.

Butiran debu dari jagad buana, sekadar berusaha bermanfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Next-Level Virtual Library: Evolusi Perpustakaan di Era Masyarakat 5.0

22 Juni 2023   09:26 Diperbarui: 22 Juni 2023   09:27 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masyarakat 5.0 atau society 5.0 adalah masa depan baru bagi umat manusia dalam pemanfaatan teknologi di berbagai aspek kehidupan. Masyarakat 5.0 dapat disebut sebagai "masyarakat cerdas" yang hidup dengan mengintegrasikan dunia fisik dan dunia maya. Konsep ini pertama kali diucapkan oleh Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, yang bertujuan agar terjadi keseimbangan dalam kemajuan teknologi dengan penyelesaian berbagai masalah sosial, kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya secara terintegrasi. Perkembangan teknologi yang kian pesat merupakan ejawantah dari visi masyarakat 5.0 dengan mengubah pola aktivitas manusia secara manual menjadi digital atau virtual. Aktivitas mengakses informasi dan pengetahuan oleh pemustaka adalah salah satu yang terkena dampaknya.

Pemustaka adalah pengguna fasilitas layanan perpustakaan. Pemustaka dapat berupa perseorangan, kelompok orang, masyarakat, atau lembaga. Di era sekarang, banyak pemustaka yang mulai beralih dengan mengakses buku elektronik karena dianggap lebih mudah dan praktis. Riset dari IKAPI menunjukkan jumlah buku digital yang terbit terus meningkat bekalangan ini. Wijonarko (2020) menemukan adanya fenomena di mana pemustaka lebih berminat mengakses informasi melalui internet dibandingkan dengan membaca buku. Bahkan media buku hanya digunakan untuk mengerjakan tugas formal saja. Mereka lebih menggemari aplikasi-aplikasi yang tersedia di internet dibandingkan berkunjung ke perpustakaan ataupun mengakses secara daring fasilitas e-library. Hal itu tak terlepas dari keterbatasan fasilitas berbasis teknologi yang ternyata juga masih belum dilengkapi sepenuhnya oleh perpustakaan. Sementara, penelitian mengenai harapan para pengguna perpustakaan pernah dilakukan oleh Duck (2005) yang menunjukkan bahwa harapan para pengguna perpustakaan lebih kepada faktor kenyamanan, penyegaran di perpustakaan, dan dukungan teknologi yang digunakan agar dapat mengakses sumber-sumber diluar perpustakaan. Perpustakaan juga diharapkan melayani atau beroperasi lebih lama dan mempunyai jaringan internet. Oleh karena itu, untuk menjawab kebutuhan para pemustaka tersebut, penulis berpendapat diperlukan sebuah evolusi perpustakaan menuju "Next-Level Virtual Library" untuk menjawab kebutuhan masyarakat 5.0 yang menuntut kemudahan, kecepatan, dan kenyamanan dalam mengakses informasi dan pengetahuan.

Perpustakaan virtual adalah sebuah konsep perpustakaan yang memberikan kemudahan akses kepada pemustaka melalui akses elektronik. Artinya, koleksi perpustakaan virtual tidak hanya berbentuk fisik, tetapi juga berformat digital atau virtual. Secara umum, sebagian besar perpustakaan di Indonesia sudah mulai mengembangkan perpustakaan virtual sebagai inovasi dari layanan konvensionalnya. Perpustakaan tersebut telah memiliki koleksi digital berupa e-journal, e-book, CD audio maupun video dan untuk membacanya mengunakan bantuan perangkat komputer atau perangkat lainya. Selain itu, seluruh kegiatan layanan pemustaka, layanan teknis, dan administrasi proses pencatatan dilakukan dengan bantuan komputer. Namun, konsep seperti itu ternyata masih belum optimal. Sebab, masih terdapat pemustaka yang merasa kesulitan dan belum bisa menemukan buku yang diinginkan walaupun sudah tersedia fasilitas katalog online (OPAC -- Online Public Access Catalog). Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan para pemustaka tentang lokasi-lokasi bahan pustaka, susunan bahan pustaka, dan jarak antara OPAC dengan rak buku yang jauh menjadi penyebab informasi buku sulit ditemukan. Informasi yang terkandung pada buku atau bahan bacaan juga tidak selamanya mudah diketahui oleh para pengguna. Hal ini disebabkan faktor bahasa, ketebalan buku, dan kondisi buku, sehingga tidak selamanya pengguna yang telah mendapatkan buku dapat memperoleh isi informasi buku. Oleh sebab itu, perpustakaan virtual yang sudah ada saat ini belumlah cukup, sehingga dibutuhkan sebuah evolusi perpustakaan menuju "Next-Level Virtual Library."

"Next-Level Virtual Library" adalah sebuah konsep perpustakaan masa depan yang memanfaatkan teknologi Virtual Reality (VR). Menurut American Libraries Association (ALA), Virtual Reality (VR) merupakan simulasi gambar atau seluruh lingkungan yang dihasilkan komputer yang dapat dialami menggunakan peralatan elektronik khusus, yang memungkinkan penggunanya "hadir" di lingkungan alternatif seperti di dunia nyata terhadap objek dan informasi virtual tiga dimensi (3D) dengan data tambahan seperti grafik atau suara. Bentuknya berupa video 360 yang menangkap seluruh adegan di mana pengguna dapat melihat ke atas, bawah, dan sekitarnya dan memungkinkan pengguna berinteraksi dengan objek fisik dan virtual. "Realitas baru" ini dapat menciptakan pengalaman unik yang memperluas peluang dan keterlibatan langsung pengguna (Jamil, 2018). Beberapa perpustakaan luar negeri sudah mulai mengadopsi teknologi VR untuk memberikan pengalaman "lebih" kepada pemustaka. Maka, sudah seyogianya perpustakaan di Indonesia juga turut memanfaatkan teknologi VR. Menurut Koswara (1998), beberapa alasan mengapa teknologi harus diterima di perpustakaan yaitu pertama, tuntutan terhadap jumlah dan mutu layanan perpustakaan; kedua, tuntutan terhadap penggunaan koleksi bersama (resources sharing); ketiga, kebutuhan untuk mengefektifitaskan sumber daya manusia; keempat, tuntutan terhadap efisiensi waktu; kelima, keragaman informasi yang dikelola dan keenam, kebutuhan akan ketepatan layanan informasi.

Di Indonesia, masih sangat jarang perpustakaan yang memanfaatkan teknologi VR. Padahal, pemanfaatan teknologi VR dapat mengoptimalkan layanan perpustakaan sebagai pusat pengetahuan dalam kemasan rekreatif. Menurut Aulianto (2020), teknologi VR dapat diimplementasikan di perpustakaan dalam beberapa hal, antara lain:

  • Sebagai sarana wisata perpustakaan. Wisata perpustakaan merupakan kegiatan dengan bentuk wisata atau tur virtual perpustakaan yang bisa dilakukan untuk menunjukkan cara berkeliling perpustakaan, dan menemukan koleksi perpustakaan di rak buku dengan lebih mudah dan praktis. Manfaat wisata pepustakaan virtual untuk memudahkan akses ke semua tempat dan ruangan apabila secara fisik gedung perpustakaan sangat luas. Konsep ini sangat cocok bagi pemustaka difabel, pemustaka berusia lanjut, dan pemustaka dengan keterbatasan fisik lain dengan mobilitas rendah.
  • Sebagai directional reference bagi pemustaka, yaitu: 1) memberikan arahan lokasi tiga dimensi tentang perpustakaan dan gedung perpustakaan; 2) memberikan informasi visual yang mengarahkan kepada koleksi yang diperlukan; 3) memungkinkan pencarian menggunakan suara (execute a voice-search); 4) menyediakan pengguna pilihan untuk mengeksplorasi konten digital yang bersifat virtual di dalam lingkungan yang nyata. Hal ini dapat membuat pemustaka lebih mudah, cepat, dan nyaman dalam mengakses bacaan.
  • Sebagai betuk literasi informasi. Pemanfaatan VR dalam proses literasi informasi akan banyak berhubungan dengan pengayaan materi literasi dalam formatyang bisa diakses dengan peralatan VR. Materi ini dapat berisi segala informasi dan pengetahuan yang sudah biasa ada dalam modul literasi informasi yang diperoleh dengan memproduksi sendiri atau mengeksplore materi yang sudah banyak terdapat secara daring untuk memudahkan pemustaka memanfaatkan bahan-bahan literasi yang ada.
  • Sebagai katalog daring. Sistem VR secara sederhana dapat diterapkan dalam sistem katalog daring yang akan memberikan kemudahan pada pemustaka. Pemustaka akan dituntun secara virtual dalam tampilan 3D menuju rak koleksi untuk menemukan koleksi yang dicari sebelum pemustaka tersebut benar-benar menuju ke rak koleksi secara fisik.

Untuk mengadopsi tenkologi VR dalam perpustakaan, dibutuhkan ekosistem yang mendukung. Dari segi peralatan, diperlukan perangkat pendukung untuk dapat memanfaatkan teknologi VR dan membantu dalam mensimulasikan sesuatu yang sulit dihadirkan pada dunia nyata. Perangkat VR biasanya terdiri dari headset, helm, walker, dan sarung tangan. Perangkat ini digunakan dengan melibatkan indera sehingga akan memunculkan sensasi nyata yang lebih tinggi. Teknologi VR mensyaratkan tampilan gambar atau grafis (visual 3D) tampak nyata dan sesuai dengan perspektif penggunanya, serta mampu mendeteksi semua gerakan yang dilakukan oleh pengguna. Di sisi pengelolaan, pustakawan juga perlu mengetahui teknologi VR ini karena mereka akan bertanggung jawab untuk mengelola dan berbagi konten baru yang inovatif ini (Jamil, 2018). Untuk memenuhi semua itu, perpustakaan memerlukan biaya dan waktu yang tidak sedikit, sehingga saya mengistilahkan perjalanan menuju "Next-Level Virtual Library" sebagai sebuah evolusi perpustakaan.

Evolusi menurut KBBI, adalah perubahan (pertumbuhan, perkembangan) secara berangsur-angsur dan perlahan-lahan (sedikit demi sedikit). Dalam hal ini, evolusi menuju "Next-Level Virtual Library" merupakan perjalanan yang perlahan, namun pasti, menuju terwujudnya perpustakaan yang mengadopsi teknologi VR. Perpustakaan yang dapat diakses dengan lebih mudah, cepat, nyaman, dan memberi pengalaman "realitas baru" bagi para pemustaka. Hal ini selaras dengan dalil "The Library is a Growing Organism" yang dipopulerkan oleh Ranganathan. Maka, perpustakaan di Indonesia perlu didorong untuk berevolusi dengan memanfaatkan teknologi VR.

Tentu saja, evolusi menuju "Next-Level Virtual Library" perlu melibatkan banyak pihak. Pustakawan tidak bisa berjalan sendiri, diperlukan kolaborasi dengan pemerintah dan stakeholder lainnya. Pustakawan dapat berfokus meningkatkan kompetensinya dan pemerintah dapat memfasilitasinya dengan mengadakan pelatihan atau kursus. Atau, pemerintah melalui Mendikbudristek juga dapat mengusulkan sebuah kurikulum pendidikan baru yang dapat membentuk pustakawan dengan soft-competency dan hard-competency yang dibutuhkan di era masyarakat 5.0. Proses tersebut beriringan dengan alokasi dana pendidikan nasional untuk pengadaan peralatan yang diperlukan guna mengadopsi teknologi VR di perpustakaan. Setiap tahunnya, pemerintah dapat mengusulkan anggaran pendidikan yang sangat besar, 20% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sehingga bukan hal yang sulit bagi pemerintah untuk peduli dengan sektor literasi yang memerlukan dana besar dalam upaya menjawab tantangan zaman. Setelah mendapatkan pendanaan, pemerintah dapat menunjuk Perpustakaan Nasional (Perpusnas) sebagai leader evolusi menuju "Next-Level Virtual Library."

Perpustakaan di era masyarakat 5.0 harus mampu menyesuaikan kebutuhan dan keinginan pemustakanya. Perkembangan teknologi yang kian pesat telah mengubah perilaku pemustaka yang menuntut segala sesuatu harus dapat diakses dengan mudah dan cepat. Oleh karenanya, sebagai upaya menjaga eksistensi perpustakaan dan menjawab tantangan kemajuan zaman, maka perpustakaan harus berevolusi menuju "Next-Level Virtual Library" dengan mengadopsi teknologi Virtual Reality (VR) atau realitas maya. Virtual Reality (VR) dapat diimplementasikan untuk wisata perpustakaan, directional reference, literasi informasi, dan katalog daring. Dengan demikian, perpustakaan di era masyarakat 5.0 adalah perpustakaan yang mengadopsi teknologi Virtual Reality (VR) sehingga dapat menghadirkan "realitas baru" bagi pemustakanya.

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun