Mohon tunggu...
Rizky Andriawan
Rizky Andriawan Mohon Tunggu... -

a geek, a social media addict, a writer, a movie freak, a social critic, a software engineer, an amateur mathematician, and a nationalist

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Untung Ruginya Memilih Tuhan

28 September 2010   19:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:53 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Mending percaya aja, toh kalo Tuhan itu gak ada ya gw gak rugi, tapi kalo ada, gw dapet surga, sementara atheist, kalo gak ada ya gak untung, kalo ada atheist rugi masuk neraka"

Sejak beberapa bulan lalu ketika saya mulai membahas masalah ketuhanan di facebook, gak sekali dua kali ketika sebuah diskusi mencapai titik kebuntuan antara harus percaya Tuhan atau tidak, terdengar kalimat seperti yang saya tulis di atas sebagai jawaban. Logika ini cukup terkenal dan dipopulerkan oleh matematikawan Blaise Pascal (yap, pascal yang bikin segitiga polinomial itu) dan biasa disebut Pascal's Wager (http://en.wikipedia.org/wiki/Pascal's_Wager). Yah, biarpun nadanya emang agak2 pragmatis tapi banyak yang ngikutin pemikiran ini... Nah, awalnya memang sepintas terlihat bahwa paham atheism itu ruginya ada, untungnya gak ada, tapi masalahnya, emang iya paham theism itu gak ada ruginya? Ilustrasinya gini:

  • ketika menyikapi masalah Tuhan, manusia dihadapkan pada pilihan, mau percaya Tuhan atau nggak, nah atheist milih nggak, theist milih iya
  • selanjutnya, theist akan memilih lagi, dari semua agama yang ada, agama mana yang mau dianut, mulai dari A sampe Z
  • setelah memilih agama, theist akan kembali dihadapkan pada pilihan, mau memilih aliran mana dari agama2 itu
  • setelah memilih aliran, berikutnya theist akan memilih lagi, implementasi bagaimana yang akan digunakan dalam kehidupannya
  • setelah itu, theist akan memilih lagi bagaimana mereka harus menyikapi isu - isu di luar agamanya seperti politik negara, sosial dengan agama lain atau sains

Nah kasusnya tentang Tuhan itu secara garis besar bisa dibilang kemungkinannya:

  1. Tuhan itu gak ada
  2. Tuhan itu ada dan dia gak peduli apa yang manusia lakukan (gak itung2an gitu, siapapun boleh masuk surga atau siapapun masuk neraka)
  3. Tuhan itu ada, dia peduli sama yang manusia lakukan, tapi dia strict soal agama-aliran-cara hidup mana yang dia pilih
  4. Tuhan itu ada, dia peduli sama yang manusia lakukan tapi dia gak terlalu strict sama agama (yah, masih bisa dinego lah)

untuk masing - masing kemungkinan efeknya adalah: kasus 1 : Tidak ada Tuhan atheis hidup santai, theist hidup dengan cara yang sebetulnya gak ada untungnya kasus 2 : Tuhan yang tidak mengurusi kehidupan manusia atheis hidup santai, theist hidup dengan cara yang sebetulnya gak ada untungnya karena toh sama2 bakal masuk surga, neraka, atau malah mungkin gak ada afterlife kasus 3 : Tuhan yang strict sama agama atheist hidup santai, theist hidup dengan cara masing, tapi cuma yang milih agama, aliran dan implementasi yang pas yang dapet untung, sisanya udah cape2 ngikutin ajaran agamanya nasibnya sama aja sama atheist kasus 4 : Tuhan yang menilai kehidupan manusia tapi fleksibel urusan agama atheist hidup santai, theist hidup dengan cara masing, tapi cuma yang milih agama, aliran dan implementasi yang pas yang dapet untung gede, sisanya cape2 ngikutin ajaran agamanya, nasibnya bakal nunggu kompensasi yang sama aja sama atheist jadi kesimpulannya? :p Kalau mau main pragmatis dan cari aman, jelas dari ilustrasi di atas bahwa untuk banyak kasus, nasib anda gak akan jauh beda sama yang hidup santai... Btw, tulisan ini bukan bertujuan untuk menggambarkan enaknya jadi atheist lho sebetulnya, saya justru ingin menuliskan, bahwa pragmatisme dalam kehidupan beragama tidak akan membawa anda ke mana - mana, memenangkan tiket ke surga jauh lebih berharga dibanding masuk ke sekolah impian, perusahaan bergengsi atau jabatan yang bagus... Nah kalau untuk hal - hal itu saja anda berpikir serius, kenapa untuk hal yang satu ini kebanyakan orang justru mendasarinya dengan pragmatisme? :) _________________________________________________

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun