Halo semua, apa kabarnya ? semoga sehat selalu yaa
Kembali lagi sama aku di kompasiana. Tentunya dengan membawa artikel yang baru  buat dibaca yaa. Btw, ini sebenernya udah mau di penghujung aku nulis artikel di kompasian nih. Mungkin aku akan menulis sekitar dua artikel lagi.
Coba tebak, topik apa yang bakal aku bahas di sini? hehe
Okay di artikel kali ini, aku akan menceritakan sedikit tentang kisah seseorang. Orang tersebut merupakan orang yang sangat bekerja keras untuk hidupnya demi menghidupi keluarga kecilnya. Diumur yang tidak lagi muda, meskipun beliau suda merasa lelah untuk bekerja, mau tidak mau ya harus bekerja. "Sudah mau gimana lagi, wong ini terpaksa."
Keluarga ini terdiri dari empat orang yang terdiri dari suami, dua anak, dan dirinya.
Kenapa artikel yang dibahas kali ini berbeda dengan artikel yang biasanya? Yap, artikel kali ini memang agak sedikit berbeda dengan yang biasanya. Aku menuliskan kisah orang yang, mohon maaf bisa dibilang kondisi ekonominya kurang baik dan tidak stabil.
Mengapa demikian? Aku berharap dalam penulisan artikel ku ini, bisa membawa manfaat dan menyadarkan diri kita masing-masing bahwa seberapa beruntung nya kita hidup di dunia ini.
Dulu sewaktu kecil, aku diajarkan oleh salah satu guru tentang bagaimana kita agar selalu sadar posisi kita. Posisi di sini bermaksud kondisi kehidupan kita yaa
Beliau mengatakan bahwa " Lihatlah ke atas untuk urusan akhirat mu, dan lihatlah ke bawah untuk urusan duniamu". Hal tersebut memiliki penjelasan yang sederhana, tetapi sangat dalam artinya.
" Lihatlah ke atas untuk urusan akhirat atau ukhrawi mu", memiliki arti bahwa sebagai makhluk yang beriman, kita harus melihat orang di atas kita. Di atas kita ini berarti melihat orang yang lebih tinggi ilmu agamanya, yang lebih alim, yang lebih baik ibadah nya, meliha orang yang istiqomah dalam urusan akhirat.
Sederhana nya, jika kita melihat orang yang lebih baik di atas kita, kita akan merasa bahwa diri kita ini ibadah nya masih sangat kurang, masih sangat jauh dari kata baik. Kita yang setiap harinya solat di akhir waktu, sholat subuh bolong-bolong, sholat sunnah jarang akan ngerasa tertampar dengan ketidakseriusan dalam beribadah.
Dengan kita melihat orang yang lebih baik ibadahnya, kita akan merasa kurang dan akan memperbaiki ibadah lagi. Yang semulanya sholat lima waktu masih bolong, solat yang bolong ngga di qadha, solat sunnah jarang akan berubah menjadi lebih baik. Sholat jamaah di mushola shaf depan, tahajud dari jam 12 sampe mau subuh kan masyaallah.
Contoh orang yang ibadahnya lebih baik dari kita ya seperti para ulama, kyai, dan orang-orang alim yang memperhatikan sholatnya.
Sekarang kalo diumpamakan kita meniru orang yang di bawah kita tentang urusan agama? Ya wallahu a'lam gimana ibadah kita. Gampangnya nyontoh orang kok yang lebih buruk. Yaa jadinya kita malah terjerumus ke tidak benaran dan menormalisasikan tidak menjalankan kewajiban ibadah sebagai umat muslim.
" Lihatlah ke bawah untuk urusan dunia mu", punya pemaknaan yang sederhana. Jika kita melihat untuk urusan duniawai, kita tidak akan pernah merasa hidup dalam kecukupan. Hidup kita akan terasa selalu kurang.
Contohnya gini, setiap orang tidak bisa disamakan kondisi ekonomi dan kebutuhan hidupnya apa saja. Ira hanya mampu membeli tas seharga 200 ribu karena uang belanjaan dibagi untuk membeli kebutuhan makan juga. Sedangkan, Ari bisa membeli tas seharga 1 juta, sepatu 2 juta dan masih sanggup untuk membeli kebutuhan makan dalam jumlah banyak juga. Di sini Ari tidak salah karean itu adalah ha katas kepemilikan harta nya.
Tetapi yang akan terasa salah adalah jika Ira hanya mampu membeli tas seharga 220 ribu tetapi memaksakan untuk membeli tas seharga 1 juta agar sama atau tidak kalah saing dengan Ari. Ini merupakan contoh bahwa kita selalu melihat ke atas. Akan selalu merasa kurang.
Jika kita melihat ke bawah, melihat ke orang yang kurang mampu, kita akan menggunakan harta kita lebih bijak lagi serta tidak segan menyisihkan uang untuk membantu orang yang kurang mapu. Tindakan seperti ini akan memunculkan ke tenangan dan rasa bersyuku yang tinggi.
Nah, narasumber aku kali ini yang akrab disapa Emak adalah salah satu sosok inspiratif.
Di atas aku memberi tahu bahwa keluarganya terdidi dari empat orang. Sebenarnya, almarhum suami emak ini udah meninggal kurang lebih setahun yang lalu. Dahulu, kebutuhan ekonomi nya ditopang bersama. Beban terasa lebih ringan.
Setelah suami emak meninggal, mau tidak mau ya kebutuhan ekonomi di urus oleh Emak.
Emak memiliki dua anak yang tinggal bersama di rumah. Anak lelaki nya pun turut membantu untuk meringankan beban Emak.
Emak adalah sosok yang sangat luar biasa, beliau tetap berusaha semaksimal mungkin dan juga merupakan pekerja keras. Beliau sangat mencintai keluarganya.
Emak juga ditugaskan untuk membersihkan mushollah di perumaan serta mendapatkan upah. Tidak jarang juga, teteangga membantu meringankan beban dengan memberikan sedikit uang, makanan atau sembako.
Tapi, di sini ada satu hal yang aku garis bawahi. Emak ini bener-bener rajin banget buat sholat jamaah di mushollah. Sholat maghrib, sholat isya dilakukan secara berjamaah di mushollah. Setiap hari berjamaah di mushollah.
Saat bulan puasa pun, emak tetap rajin. Bahkan lebih semangat lagi. Kalo pas bulan Ramadhan, biasanya emak udah standby di mushollah dari jam 4 atau setengah 5.
Meskipun kondisi ekonomi emak bisa dibilang kurang baik, beliau selalu bersyukur dan tidak meninggalkan kewajibannya.
Beliau selalu mengatakan, "Wes gaopo nduk, dilakoni ae. Piye maneh." Emak selalu berikhtiar dan berpasrah diri kepada yang Di-Atas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H