Sudah hampir sepuluh bulan sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan dua kasus pertama COVID-19 di Indonesia. Namun, hingga saat ini angka positif terus merangkak naik dan belum menunjukan tanda-tanda akan berakhirnya masa pandemi.
Fenomena pandemi COVID-19 ini memang menjadi hal baru, bukan hanya bagi Indonesia, namun juga bagi seluruh negara di dunia. Terlebih belum adanya standar penanganan secara pasti untuk penanganan Virus COVID-19 sehingga menyebabkan pandemi ini masih berlangsung hingga sekarang.
Perhari ini saja (29/12/2020), kasus COVID-19 di Indonesia sudah menyentuh angka 727.122 kasus. Dengan jumlah pasien sembuh sebanyak 596.783 orang dan pasien meninggal sebanyak 21.703 orang.
Jika dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainya, kasus COVID-19 di Indonesia dapat dikatakan tinggi dengan tingkat kasus aktif sebesar 108.636 kasus. Pandemi yang berlarut-larut hingga kini turut berpengaruh pada kehidupan perekonomian masyarakat Indonesia.
Sejak awal diumumkanya kasus COVID-19 di Indonesia, Presiden Joko Widodo telah menyatakan bahwa Indonesia tidak akan melakukan kebijakan lockdown seperti yang dilakukan oleh negara-negara lain yang memilki tingkat penyebaran virus yang tinggi.
Presiden menyatakan bahwa Indonesia lebih memilih kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau yang kita kenal dengan (PSBB). Kebijakan PSBB dianggap tepat oleh pemerintah dengan tetap memprioritaskan penangan kesehatan tanpa mengorbankan sektor perekonomian.
Upaya-upaya untuk memutus mata rantai Virus COVID-19 terus dilakukan oleh pemerintah, pemerintah mengklaim bahwa saat ini penanganan COVID-19 telah dilakukan dengan baik bahkan dikatakan lebih baik jika dibandingkan dengan negara lainya. Pemerintah dalam hal ini berupaya untuk mencari titik keseimbangan dimana pemerintah terus mengupayakan pemulihan kesehatan nasional dan tetap memperhatikan kehidupan ekonomi masyarakat.
Pemerintah juga mengatakan bahwa pandemi ini dapat dijadikan sebagai momentum untuk melakukan reformasi yang fundamental, baik itu dibidang kesehatan maupun ekonomi. Pandemi COVID-19 menjadi momentum untuk mereformasi sistem dan penyelenggaraan jasa kesehatan dalam rangka penguatan sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Selain itu, melalui kebijakan makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal pemerintah berupaya untuk memperbaiki fundamental ekonomi serta perbaikan sumber daya manusia.
Banyak pihak yang menyayangkan sikap pemerintah yang dianggap terlambat dalam menanggapi adanya pandemi COVID-19. Wabah COVID-19 sudah muncul sejak akhir tahun 2019 di Wuhan, China. Dan diawal tahun 2020 sudah mulai menyebar ke berbagai negara lainya.
Namun sikap pemerintah justru berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan oleh negara-negara lainya. Dimana saat negara lain mulai membatasi dan menutup diri dari kedatangan warga negara asing terutama dari China, pemerintah justru hendak mengeluarkan kebijakan pembiayaan influencer senilai Rp. 72 miliar dan mensubsidi tiket pesawat demi meningkatkan kedatangan wisatawan.
Wacana tentang kebijakan ini sempat menjadi perbincangan hangat, dimana banyak pihak menilai pemerintah abai terhadap bahaya Virus Corona yang mulai menyebar luas. Terlebih saat itu pemerintah masih tetap mengizinkan para tenaga-tenaga kerja asing dari China untuk tetap masuk ke Indonesia.
Menteri Kesehatan dr. Terawan mengatakan kepada masyarkat untuk tetap ‘enjoy aja’ dan tidak perlu membesar-besarkan masalah tersebut. Bahkan Menko Perekonomian, Airlangga Hartanto mengatakan ‘Karena perizinan di Indonesia berbelit-belit maka Virus Corona tak bisa masuk’.
Peristiwa-peristiwa tersebut menjadi bukti dari ketidakseriusan sikap pemerintah terhadap adanya wabah Corona. Hal tersebut tentu menuai kritik dari banyak pihak tentang bagaimana kesiapan dari pemerintah terhadap wabah Corona yang mungkin akan masuk ke Indonesia.
Namun, disatu sisi pemerintah mengatakan bahwa pihaknya telah siap apabila wabah Corona mulai masuk ke Indonesia. Pemerintah mengklaim telah menyiapkan seluruh fasilitas kesehatan dan anggaran dalam upaya pencegahan penyebaran Virus COVID-19.
Tetapi sikap yang ‘abai’ dari pemerintah membuat masyarakat banyak yang tidak teredukasi mengenai Virus COVID-19. Sehingga saat Presiden Joko Widodo mengumumkan adanya dua kasus pertama positif Corona, membuat banyak masyarakat panik. Dan menyebabkan terjadinya kelangkaan karena banyak dari masyarakat yang memborong segala keubutuhan sehari-hari. Termasuk kebutuhan akan masker dan handsanitizer yang menjadi langka dan mahal.
Pemerintah melalui berbagai kebijakanya terus melakukan segala upaya dalam rangka pencegahan penyebaran Virus Corona. Pemerintah berusaha untuk tetap menjaga kehidupan perekonomian masyarakat dengan tetap memprioritaskan sisi kesehatan.
Namun kenyataanya hingga kini apa yang menjadi upaya pemerintah masih belum terwujud, saat ini dengan kasus COVID-19 yang masih terus bertambah semakin mengancam kesehatan masyarakat dimana korban jiwa terus berjatuhan, disatu sisi kehidupan ekonomi masyarakat semakin lesu akibat dari pandemi selama berbulan-bulan.
Selain sektor kesehatan, sektor yang paling terdampak akibat dari adanya pandemi COVID-19 adalah sektor ekonomi. Adanya pandemi COVID-19 menyebabkan ketidakstabilan disektor ekonomi. Kehidupan perekonomian yang tidak stabil kian dirasakan masyarakat Indonesia, khususnya rumah tangga.
Konsumsi rumah tangga sebagai salah satu penopang perekonomian nasional mengalami perlambatan yang signifikan sehingga mempengaruhi kinerja industri dan usaha mikro, kecil,dan menengah. Hal ini dibuktikan dari data BPS yang mencatatkan bahwa konsumsi rumah tangga turun dari 5,02 persen pada kuartal I tahun 2019 ke 2,84 persen pada kuartal I tahun 2020.
Adanya pandemi COVID-19 juga membuat mobilitas dari masyarakat berkurang karena adanya kebijakan dan aturan kesehatan tentang pembatasan sosial, perjalanan maupun kerumunan. Pemerintah dalam upayanya menetapkan aturan untuk belajar dan bekerja dari rumah.
Kebijakan ini kemudian berpengaruh pada perlambatan kegiatan usaha, para pelaku usaha mengalami kondisi yang serba sulit hingga mengalami kerugian bahkan sampai menutup usahanya. Hal ini tentu sangat merugikan dimana berpotensi menurunkan penyerahan dalam negeri sehingga berpengaruh pada penerimaan pajak pemerintah.
Hal ini dapat dilihat dari data penerimaan pajak pemerintah di Semester I 2020 hanya mencapai Rp513,65 Triliun atau 44,02 persen dari target berdasarkan Perpres No 72 Tahun 2020 Rp 1.198,8 Triliun. Angka tersebut terkontraksi sampai 12,01 persen dibanding periode sama tahun lalu yaitu Rp604,3 Triliun.
Kondisi ekonomi yang sulit membuat para pelaku usaha melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang kemudian menciptakan banyak pengangguran. Masyarakat yang tidak memilki pendapatan berpengaruh terhadap tingkat konsumsi masyarakat yang rendah. Selain itu pandemi COVID-19 yang melanda seluruh dunia, menyebabkan terjadinya pelemahan ekonomi yang berdampak pada menurunya harga komoditas dan membuat kegiatan ekspor terhambat.
Pandemi yang berkepanjangan dan menimbulkan ketidakpastian membuat investasi menjadi lemah dan berdampak pada tutupnya usaha. Kondisi seperti ini mengganggu pertumbuhan ekonomi Indonesia, menurut data BPS pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Kuartal II minus 5,32 persen, sementara pada Kuartal III minus 3,49.
Pertumbuhan ekonomi yang minus di dua kuartal membuat Indonesia masuk ke jurang resesi. Resesi ekonomi menyebabkan minimnya investasi yang masuk sehingga menghilangkan lapangan kerja yang berdampak pada banyaknya pengangguran. Pandemi yang berkepanjangan sangat menyulitkan masyarakat, selain itu, ancaman akan bahaya Virus Corona juga terus meningkat.
Di satu sisi masyarakat perlu untuk terus bermobilitas demi memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Kesulitan ekonomi hingga kini yang diakibatkan dari pandemi yang belum bisa ditangani dengan baik, pemerintah dainggap belum bisa mengendalikan pandemi Virus Corona karena hingga kini pertambahan kasus semakin tinggi yang menyebabkan kehidupan perekonomian masih belum dapat pulih seperti sedia kala.
Untuk mengatasi dampak kesehatan dan dampak ekonomi yang diakibatkan oleh adanya pandemi COVID-19 maka dari itu pemerintah membuat berbagai macam kebijakan baik untuk sektor kesehatan maupun ekonomi yang keduanya saling terkait. Perbulan April pemerintah memutuskan untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan menghimbau untuk dilakukannya work from home dan pembelajaran dari rumah. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi resiko tertular Virus Corona.
Kebijakan ini juga dianggap sesuai dengan apa yang menjadi tujuan pemerintah untuk memprioritaskan kesehatan masyarakat tanpa mengorbankan perekonomian. Namun perlahan kebijakan ini belum cukup untuk membendung laju penyebaran Virus Corona. PSBB yang masih diterapkan hingga kini belum dapat menekan angka penyebaran Virus Corona, sebaliknya PSBB yang masih diterapkan hingga saat ini malah menghambat kehidupan perekonomian masyarakat.
PSBB menyebabkan mobilitas masyarakat menjadi terbatas, sehingga kehidupan menjadi semakin sulit ditambah banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang membuat jumlah pengangguran semakin bertambah. Kebijakan PSBB dirasa tidak efektif dan berlarut-larut hingga kini dan menyebabkan kehidupan perekonomian terus merosot dan jatuh ke jurang resesi.
Menanggapi kebijakan PSBB yang belum efektif pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan baru yang dikenal dengan new normal atau tatanan kehidupan baru. Dimana ini dimaksudkan untuk menghindari kejatuhan ekonomi dengan melakukan relaksasi terhadap kebijakan PSBB.
Kebijakan new normal dimaksudkan untuk menghidupkan kembali sektor ekonomi yang mati dan lesu akibat adanya pembatasan dari pemerintah. Dengan menerapkan standar protokol kesehatan diharapkan kehidupan perekonomian dapat kembali membaik.
Untuk mengatasi perekonomian yang lesu, pemerintah memberlakukan kebijakan untuk memulihkan perekonomian nasional dengan mendorong konsumsi rumah tangga. Kebijakan ini diwujudkan dengan mengalokasikan anggaran sebesar Rp. 203,9 Triliun untuk perlindungan sosial.
Perlindungan sosial dimaksudkan untuk meningkatkan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah dan meningkatkan konsumsi. Perlindungan Sosial tersebut diberikan antara lain melalui Bantuan Sosial (Bansos), Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa, subsidi listrik dan Program Keluarga Harapan. Pemerintah juga memberikan BLT BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp600.000 untuk karyawan swasta yang mempunyai gaji Rp5 juta/bulan ke bawah.
Namun program bantuan sosial dari pemerintah sempat menuai kritik setelah kemarin Menteri sosial Juliari Batubara terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK terkait korupsi dana bantuan sosial. Bantuan yang seharusnya menjadi stimulus untuk membantu perekonomian masyarkat malah menjadi sasaran korupsi dari pejabat pemerintah. Sehingga menimbulkan persepsi buruk dari publik tentang keseriusan pemerintah dalam menangani pandemi.
Namun sejak awal pembahasanya UU Cipta Kerja sudah mendapat banyak kritik dari masyarakat terutama para tenaga kerja. UU Cipta Kerja dianggap memangkas hak-hak dari buruh dan hanya menguntungkan pengusaha. Selain itu dalam pembahasanya, para buruh merasa tidak dilibatkan sehingga banyak aspirasi yang tidak bisa disampaikan.
Namun pada akhirnya pemerintah tetap melanjutkan pembahasan dan mengesahkannya menjadi UU pada tanggal 5 Oktober 2020. Pengesahan UU ini mendapat banyak protes dari kalangan buruh dan mahasiswa yang melakukan aksi boikot dan mogok kerja hingga aksi demonstrasi dijalanan dan kantor-kantor pemerintah.
Aksi demonstrasi tentu menyebabkan banyak kerumunan massa dimana banyak yang tidak mengindahkan standar protokol kesehatan dari pemerintah. Bahkan aksi ini berlanjut hingga beberapa minggu kemudian dan mengakibatkan kasus corona meningkat tajam.
Banyak pihak yang menyayangkan sikap pemerintah yang terburu-buru dalam melakukan pengesahan UU Omnibuslaw dimasa pandemi seperti ini, dimana pengesahan UU tersebut malah memantik demonstrasi dari masyarakat yang berakibat pada meningkatnya kasus COVID-19.
Selain itu pemerintah juga melakukan pinjaman luarnegeri untuk membantu mengatasi pandemi dengan penandatanganan kesepakatan hutang dari Jerman dan Australia senilai Rp. 24 triliun. Kebijakan ini turut mendapat banyak kritik karena dianggap menambah beban hutang yang sudah cukup tinggi. Pemerintah mengklaim pinjaman ini diperlukan untuk menutup defisit APBN yang diperkirakan kian melebar hingga 6,34% pada akhir tahun.
Banyak pihak yang juga mempertanyakan tentang penyerapan anggaran penanganan COVID-19 yang masih belum maksimal. Anggaran penanganan Corona masih banyak yang mengendap di Pemerintah Daerah sehingga menyebabkan penanganan pandemi menjadi tidak maksimal.
Per 10 Desember lalu masih ada sekitar Rp. 247 Triliun dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang masih tersimpan di daerah. Ini menjadi ironi dimana ada anggaran yang tidak terpakai dan disatu sisi ada masyarakat yang membutuhkan bantuan dari pemerintah.
Tentu sebagai rakyat Indonesia kita percaya bahwa pemerintah mempunyai komitmen dan tanggungjawab untuk menangani pandemi ini. Namun, pemerintah juga diharapkan maksimal dalam melakukan upaya-upaya pemberantasan COVID-19 dengan tetap memprioritaskan kepentingan masyarakat.
Pemerintah selayaknya tidak hanya terbatas pada pembuat kebijakan namun bagaimana pemerintah juga mengedukasi dan menjadi contoh bagi rakyatnya. Agar pemerintah mendapat rasa percaya dari masyarakat sehingga masyarakat akan mengikuti kebijakan yang dibuat pemerintah.
Disatu sisi pemerintah menghimbau masyarakat untuk membatasi aktivitas dan menjaga jarak. Namun, disisi lain pemerintah malah menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang berpotensi menimbulkan kerumunan seperti Pilkada misalnya. Penyelenggaran Pilkada banyak menuai polemik karena berpotensi menciptakan kerumunan, seperti kegiatan kampanye dan pemilihan umum di TPS.
Namun, pemerintah mengatakan bahwa penyelenggaraan pilkada akan sesuai dengan standar protokol kesehatan yang ada. Indonesia juga mencatat rate kasus aktif yang tinggi melebihi ambang batas dari WHO dan juga testing harian di Indonesia yang masih rendah membuat banyak pihak bertanya-tanya kemana saja anggaran penanganan covid-19.
Selain itu banyak juga terjadi masalah-masalah dilapangan dan masyarakat seperti kehebohan tentang pengambilan paksa jenazah teridentifikasi COVID-19 hingga masalah kerumunan yang masih kerap terjadi di masyarakat dan juga banyaknya hoax dan berita palsu soal COVID-19.
Ini semua seharusnya dapat diminimalisir oleh pemerintah selaku pemangku kebijakan dengan melakukan edukasi-edukasi kepada masyarakat tentang pandemi dan bahaya Virus Corona.
Selain itu pemerintah juga perlu memperbaiki komunikasi publik dan juga melakukan penindakan pelanggaran hukum yang adil kepada semua pihak. Pemerintah harus mampu melawan hoax yang beredar sehingga kedepan pemerintah mendapat kepercayaan penuh dari masyarakat dan masyarakat menjadi sadar dan ikut bertanggungjawab untuk bersama-sama menyelesaikan pandemi.
Hingga kini apa yang menjadi tujuan pemerintah baik itu perbaikan kesehatan maupun perbaikan ekonomi masih belum terlihat. Kasus COVID-19 masih menghawatirkan dan kondisi perkonomian juga masih sulit. Kebijakan yang dilakukan pemerintah terkesan kurang maksimal karena terlihat setengah-setengah antara memprioritaskan sektor kesehatan atau ekonomi.
Seharusnya pemerintah memiki prioritas yang utama dalam hal kesehatan masyarakat. Penanganan COVID-19 seharusnya menjadi prioritas sehingga pemerintah mampu menciptakan kehidupan yang kembali normal sehingga perekonomian cepat kembali pulih.
Jangan sampai anggaran besar yang telah dikeluarkan menjadi kurang efektif karena penegakan kebijakan yang tidak maksimal dan membuat pandemi berlarut-larut semakin lama. Karena hal ini tidak hanya merugikan kesehatan tetapi juga menimbulkan kerugian ekonomi yang semakin besar. Pemerintah seharusnya sadar dalam memilih prioritas antara menangani pandemi atau memulihkan ekonomi.
Tetapi kita semua juga harus bersama-sama baik pemerintah maupun rakyat saling percaya dan bekerjasama demi menuntaskan pandemi dan menciptakan kehidupan yang normal kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H