Mohon tunggu...
rizkyagustino
rizkyagustino Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa /UIN Sunan Kalijaga

saya sangat suka membaca mengenai topic ,teknologi ,kebudayaan,dan geografi . Hobi saya membaca novel fantasy ringan .Saya ingin melatih kemampuan saya dalam menulis .

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Dinding-Dinding Yang Memudar:Jejak Tradisi Gedek Di Tengah Arus Modernisasi

14 Desember 2024   11:50 Diperbarui: 14 Desember 2024   11:50 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam perjalanan sejarah budaya Indonesia, bambu telah lama menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari masyarakat, terutama di daerah pedesaan. Salah satu bentuk pemanfaatan bambu yang terkenal adalah gedek, yaitu anyaman bambu yang digunakan sebagai dinding rumah, pagar, atau sekat ruangan. Namun, seiring dengan berkembangnya teknologi dan perubahan gaya hidup, penggunaan gedek di masyarakat kini semakin jarang ditemui.

Pada masa lalu, gedek bambu adalah salah satu bahan utama dalam pembangunan rumah-rumah tradisional, khususnya di pedesaan. Gedek mudah dibuat, ramah lingkungan, dan memiliki sifat alami yang baik, seperti kemampuan menyerap panas dan sirkulasi udara yang baik. Oleh karena itu, rumah yang menggunakan gedek cenderung lebih sejuk dibandingkan bangunan modern yang menggunakan bata atau beton.

Namun, saat ini, penggunaan gedek bambu mulai ditinggalkan. Masyarakat semakin beralih ke bahan bangunan modern seperti beton, batako, atau kayu olahan yang dianggap lebih kuat dan tahan lama. Perubahan ini tidak lepas dari pengaruh modernisasi dan globalisasi, di mana masyarakat mulai terpengaruh oleh desain arsitektur urban yang dianggap lebih praktis dan "berkelas." Gedek, yang dulu menjadi simbol sederhana dari kehidupan tradisional, kini dianggap ketinggalan zaman.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan penggunaan gedek semakin jarang ditemukan. Pertama, perubahan gaya hidup masyarakat modern yang lebih memilih bangunan permanen dan tahan lama. Rumah dengan gedek dianggap kurang mampu bertahan dari kerusakan akibat cuaca ekstrem atau bencana alam, seperti banjir dan angin kencang. Bahkan tanpa faktor cuaca ekstrem gedek memang tidak bisa bertahan lama karena mudah lapuk dan patah ,apa lagi jika terserang hama rayap yang membuat gedek yang notabenenya tipissehingga cepat habis di santap rayap

Kedua, ketersediaan bambu sebagai bahan baku juga mulai menurun di beberapa daerah akibat eksploitasi yang berlebihan tanpa reboisasi yang memadai. Meskipun bambu tumbuh cepat, permintaan yang tinggi untuk kebutuhan industri dan kurangnya perawatan lingkungan telah mengurangi ketersediaannya untuk bahan bangunan tradisional seperti gedek.

Ketiga, kurangnya regenerasi keterampilan dalam membuat gedek menjadi salah satu alasan mengapa anyaman bambu ini semakin jarang digunakan. Keterampilan membuat gedek yang dahulu diwariskan dari generasi ke generasi kini mulai terlupakan, karena generasi muda lebih tertarik pada pekerjaan di sektor modern yang dianggap lebih menguntungkan dan prestisius.

Hilangnya penggunaan gedek bukan hanya tentang perubahan dalam aspek teknis pembangunan rumah, tetapi juga berkaitan dengan perubahan identitas budaya lokal. Gedek bukan hanya sekadar bahan bangunan; ia juga melambangkan nilai-nilai kehidupan yang lebih harmonis dengan alam dan budaya gotong royong dalam masyarakat. Proses pembuatan gedek, yang biasanya melibatkan banyak orang, mencerminkan kebersamaan dan kerja sama antarwarga yang kini semakin luntur dalam masyarakat yang cenderung individualis.

Dulu, saya tinggal di sebuah desa yang dikenal sebagai pusat kerajinan gedek, anyaman bambu yang menjadi mata pencaharian utama sebagian besar penduduknya. Sebut saja kata "gedek," maka orang-orang dari Kabupaten Pati pasti akan langsung teringat pada desa saya. Hampir setiap rumah di sana memiliki dinding dari gedek buatan tangan, sebuah simbol kearifan lokal yang tak terpisahkan dari budaya kami. Namun kini, pemandangan itu perlahan menghilang. Rumah-rumah berdinding gedek semakin langka, digantikan oleh material modern. Kehilangan ini bukan sekadar perubahan fisik, tetapi juga menyiratkan pudarnya tradisi yang dulu diwariskan dari generasi ke generasi, membawa kesedihan tersendiri bagi saya yang pernah hidup di tengah kekayaan budaya itu.

Jika dibiarkan terus menghilang, kekayaan budaya dalam bentuk arsitektur tradisional seperti gedek bisa hilang. Ini bukan hanya akan memengaruhi keberagaman arsitektur Indonesia, tetapi juga memutus mata rantai sejarah budaya yang kaya akan kearifan lokal.

Meskipun penggunaan gedek mulai jarang, beberapa upaya pelestarian telah dilakukan oleh pihak-pihak yang peduli terhadap warisan budaya. Beberapa arsitek modern mulai mencoba menggabungkan unsur-unsur tradisional seperti gedek dalam desain bangunan kontemporer untuk menciptakan perpaduan antara tradisi dan inovasi. Selain itu, ada juga komunitas yang secara aktif mempromosikan penggunaan material ramah lingkungan seperti bambu, mengingat sifatnya yang berkelanjutan dan ekonomis. Selain itu, tren penggunaan anyaman bambu, termasuk gedek, kini mulai berkembang di industri food & beverage (F&B) berbintang, baik di dalam maupun di luar negeri.

Penggunaan gedek dan anyaman bambu lainnya kini mendapatkan apresiasi baru dalam konteks desain interior restoran dan kafe berbintang di beberapa kota besar dunia. Bambu sering digunakan sebagai elemen dekoratif untuk menciptakan suasana alami dan ramah lingkungan. Di negara-negara seperti Jepang, Amerika Serikat, hingga negara-negara Eropa, bambu menjadi simbol desain yang menyatu dengan alam, serta memperkuat komitmen keberlanjutan yang banyak diapresiasi oleh para pelanggan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun di tingkat lokal penggunaannya menurun, di luar negeri gedek dan anyaman bambu justru mulai menjadi tren dalam industri modern.

Pemerintah dan organisasi masyarakat perlu turut serta dalam mendukung pelestarian gedek, baik melalui edukasi maupun penyediaan insentif untuk mempertahankan penggunaan bahan-bahan tradisional dalam konstruksi. Jika tidak, kita akan kehilangan salah satu elemen penting dari warisan budaya yang memperkaya identitas kita sebagai bangsa yang berakar pada alam dan tradisi.

Penggunaan gedek yang semakin jarang di masyarakat mencerminkan perubahan yang lebih besar dalam cara kita memandang kehidupan dan budaya. Meskipun modernisasi menawarkan banyak manfaat, kita juga perlu mempertimbangkan pentingnya menjaga warisan budaya seperti gedek bambu. Bukan hanya sebagai simbol masa lalu, tetapi juga sebagai bentuk kearifan lokal yang bisa diadaptasi dalam konteks kehidupan yang lebih berkelanjutan di masa depan.

                                                                                                            

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun