Perempuan itu berjalan di antara gerimis dan licinnya jalan kampung. Bagian bawah kainnya sudah basah terkena percikan. Ia menenteng sendalnya di tangan kirinya sementara tangan kanannya memegang sebuah payung. Di antara lumpur dan dedaunan ia terus berjalan mengikuti arah pikirannya.pada sebuah jalan mendaki ia berusaha memanjat menentang licin lumpur. Turun lagi di antara bebatuan dan terus berjalan, melewati kumpulan pandan duri raksasa, kumpulan pohon apel hutan, kumpulan semak ruku-ruku dan semak berbunga ungu yang ia tak tahu namanya. Hingga terbentang di hadapannya sebuah pantai landai yang menampakkan samudera. Ia duduk pada sebuah batu besar. Mungkin sungai jaman purba membawa batu itu ribuan tahun lalu dan menempatkannya ratusan meter dariletak muara yang ada kini. Gerimis masih menyisir udara namun di kejauhan mentari senja juga menunjukkan dirinya. Bersiap-siap untuk melanjutkan tugasnya di belahan dunia lain. Ia duduk dan diam memandang ke depan. Ke arah matahari yang perlahan mengucapkan salam perpisahan untuk hari itu, ke arah satu dua burung yang terbang di atas hamparan biru, ke arah kumpulan awan besar yang bergulung membentuk sebuah kerajaan dewata dengan semua penghuninya.
Ia menunggu...
‘Sudah berapa lama kau ada di sini?’
‘Sudah hampir setengah jam. Mengapa kau lama sekali?’
Tidak mudah berenang dari tengah lautan kemari,’
Perempuan itu lalu melihat pada lawan bicaranya, seekor penyu yang juga telah berada di sebelahnya. Memandangi lautan.
‘Alasan saja. Kau dapat berenang dengan cepat, tidak mungkin ombak menjadi penghalangmu.’ Penyu itu tersenyum. Keduanya lalu terdiam dalam semburat jingga senja.
Apa yang sangat kau inginkan dalam hidupmu?’ tanya si perempuan suatu kali saat ia dan penyu itu kembali bertemu pada sebuah senja.
‘Apa yang dapat kau harap lebih dari kehidupan seekor penyu?’
‘Kau dapat berbicara seperti aku. Itu membuktikan kau bukan seekor penyu biasa. Dan bukan penyu biasa sepertimu pasti memiliki keinginan yang berbeda dari penyu lainnya.’
Penyu itu menyunggingkan bibirnya.
‘Apakah terlalu berlebihan kalau aku mengatakan ingin menjadi manusia sepertimu?’ perempuan itu melihat pada lawan bicaranya, lalu ia kembali memandang ke depan.
‘Tidak. Namun mengapa?’
‘Karena kurasa menjadi manusia sepertimu adalah suatu anugrah.
‘Namun aku satu-satunya manusia yang kau ketahui.’
‘Benar.’
Keduanya saling memandang dan kemudian tertawa.
‘Entahlah. Dapat bertahan hidup saja sudah lebih dari cukup bagiku.’
‘Apakah kau tidak ingin sesuatu yang lebih bombastis dari itu?’
‘Aku tidak ingin yang bombastis. Toh semua itu hanya permainan pikiran saja.’ balas penyu lagi.
‘Ya, itu hanya pengandaian.’
‘Kau sendiri? Apa yang menjadi tujuanmu sebenarnya?’
‘Aku ingin kebahagiaan.’
‘Terlalu klise.’
‘Memang. Tapi itu yang sebenarnya. Aku ingin berteman dengan senja. Aku ingin menyatu dengan samudera. Aku ingin setiap orang akan mengenangku bila melihat semburat jingga, aku ingin setiap nelayan dan ikan, dan karang, dan pasir, dan burung yang terbang, merasakan diriku. Dan bila itu terjadi, aku bahagia.’
‘Kau yakin?’
‘Ya.’
‘Kau tahu bila itu akan terjadi?’
‘Bila aku telah siap.’
Lalu keduanya diam.
Lalu setelah itu penyu tidak lagi bertemu dengan si perempuan. Beberapa senja terlewat, beberapa minggu minggu juga lewat. Ia tetap sendiri menunggu di batu besar itu memandangi matahari melambaikan tangannya sebagai penanda berkahirnya hari. Ia bertanya pada batang kelapa apa yang terjadi pada sahabat perempuan, mereka tak tahu. Ia bertanya pada burung-burung yang hinggap, mereka juga tak tahu. Ia merasa sendiri dan ditinggalkan. Senja menjadi sunyi tanpa persahabatan mereka.
Hingga kenmudian, angis sore datang pada sang penyu dan berbisik padanya.
‘Perempuan itu sakit. Dan karenanya ia tidak dapat menemuimu selama ini.’
‘Benarkah? Adakah aku dapat menolongnya?’ angin sore mengeleng,
‘Jangan. Namun, aku akan menyampaikan salammu padanya.’ Penyu terdiam. Ia merasa gundah.
Sehari setelah itu, sang angin sore belum datang kembali padanya membawa kabar,
Dua hari juga tak ada. Penyu semakin gelisah. Ia berencana untuk melihat keadaan si perempuan keesokan harinya.
Senja ketiga, angin sore datang tepat saat ia ingin pergi berkunjung.
‘Ia menitip pesan padaku untukmu. Tunggulah di sini esok hari seperti biasa. Ia akan datang menemuimu.’
‘Benarkah? Bagaimana keadaannya?’ angin sore tak berbicara namun matanya sendu merana.
Perempuan itu berjalan di antara gerimis dan licinnya jalan kampung. Bagian bawah kainnya sudah basah terkena percikan. Ia menenteng sendalnya di tangan kirinya sementara tangan kanannya memegang sebuah payung. Di antara lumpur dan dedaunan ia terus berjalan mengikuti arah pikirannya.pada sebuah jalan mendaki ia berusaha memanjat menentang licin lumpur. Turun lagi di antara bebatuan dan terus berjalan, melewati kumpulan pandan duri raksasa, kumpulan pohon apel hutan, kumpulan semak ruku-ruku dan semak berbunga ungu yang ia tak tahu namanya. Pandangan matanya menampakkan kelelahan sangat. Namun ia terus berusaha. Pantai tak jauh lagi di depan ia telah menitipkan pesan pada angin sore akan janjinya. Ia berharap angin menepati janjinya. Ia ingin bertemu penyu temannya dan menyampaikan maafnya karena tak bersamanya selama ini. Dan hal lainnya,…
Di batu sungai besar itu ia sampai kini. Dan penyu sudah ada di sana.
‘Kau datang.’
‘Ya, aku datang. Aku telah berjanji kan?’
‘Kau terlihat… sakit.’ penyu merasa bersalah. Perempuan itu duduk di sebelahnya, memandangi mentari di kejauhan yang bersiap-siap melambai menyampaikan salam perpisahan untuk hari itu.
Perempuan itu tersenyum,
‘Ya, aku sakit. Maaf selama ini aku tidak bisa menemanimu duduk di sini.’
‘Kau tak usah pedulikan itu, aku…’
‘Aku juga ingin mengatakan,’ ia memotong perkataan si penyu,
‘Aku juga ingin mengatakan, kalau… kurasa inilah waktunya.’
‘Maksudmu?’
‘Ingatkah akan tanyamu tempo hari? Tentang kebahagiannku?’
‘Ya,’
‘Kurasa inilah waktunya?’ matanya sendu namun ia tersenyum. Lalu ia membuka seluruh bajunya dan berjalan ke depan.
‘Iringilah aku.’
‘Kumohon jangan lakukan ini.’
‘Ini yang kumau, ingat?’
‘Tapi…’ perempuan sudah jauh di depannya. Penyu melangkahkan kakinya lebih cepat untuk mengejar.
‘Aku ingin menjadi bagian dari samudera.’ katanya. Dan samudera menyambutnya, senja melihatnya. Begitu ia menapak di ombaknya, ia melebur menjadi bagian dari impinya. Penyu mengikutinya dari belakang. Namun ia merasa berbeda. Samudera menjadi lebih hangat dari biasanya. Dan ia tersenyum untuk sahabatnya.
- Cerita ini didedikasikan untuk temanku Hastuty Miran yang meninggal karena penyakit Lupus pada tahun 2004. Kami masih mengenang keseluruhan dirimu. -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H