Budiman-budimin, momen bukber adalah momen yang selalu ditunggu-tunggu di bulan puasa. Agar bukber lebih bermakna biasanya kita mengatur konsep sedemikian rupa supaya terkesan istimewa.
Biasanya bukber erat kaitannya dengan berbuka bersama sahabat, kawan-kawan alumni sekolah, kampus, rekan kerja atau bahkan bukber dengan yang tak terduga, yakni bertemu mantan. Ehem.
Namun ada satu momen bukber yang akan selalu saya kenang dan saya rindukan selamanya, bukber yang terkesan sederhana dan biasa saja namun rasanya sudah tak dapat terulang kembali yaitu berbuka di rumah, berbuka bersama keluarga lengkap.
Tiga tahun yang lalu rumah terasa masih biasa saja, tak istimewa, namun semua masih lengkap satu keluarga utuh berada di rumah. Meskipun kondisi saat itu terbilang new normal pasca pandemi panjang setelah dihantam covid-19, kami menjalankan ibadah puasa dengan cukup sederhana.
Bapak yang sudah renta waktu itu dengan kebiasaannya menonton tv di kamar dengan dilengkapi catatan kecil untuk mencatat jadwal bola yang akan berlaga, ibu yang repot menyiapkan menu untuk sahur dan berbuka setiap harinya dengan dibantu kakak tertua saya yang meskipun sudah berkeluarga selalu menyempatkan waktunya berbuka di rumah orang tua saya.
Kemudian juga masih ada kakak kedua saya yang paling introvert tidak pernah keluar kamar kecuali makan, serta adik saya yang waktu itu masih sering berantem dengan saya karena rebutan takjil untuk berbuka.
Bisingnya rumah mendekati adzan maghrib berkumandang kala itu terasa tak istimewa sama sekali. Normal, apa adanya tapi setahun berselang setelah tahun itu, kakak kedua saya menikah dan ikut suaminya keluar kota.
Dan di tahun yang sama saat itu, dua bulan pasca bulan Ramadan, kami sekeluarga dihadapkan dengan peristiwa dimana detik berjalan lebih lambat dari biasanya dan hari itu menjadi hari paling lama dalam hidup. Yakni peristiwa terberat dalam hidup ditinggal oleh bapak kami yang menghadap kehadirat-Nya sepekan sebelum pelaksanaan Idul Adha.
Rasanya tidak dapat digambarkan namun harus mengikhlaskan.
Setelah tahun itu, Ramadan terasa hambar. Momen yang biasanya terasa tak istimewa menjadi momen spesial yang paling dirindukan meskipun sayang teramat sayang sudah tak dapat diulang kembali.