Satu hari menjelang Ramadan, biasa saya bersama kawan-kawan satu kajian warung kohwa (ditulis kohwa biar ke Arab-Araban) melaksanakan ibadah Rihlah (mengunjungi tempat yang kami anggap syarat akan nilai spiritualis-historis) hingga kemudian semua sepakat untuk berkunjung ke Ampel Surabaya.
Dalam perjalanan menuju ke lokasi kami sempat ngobrol-ngobrol kecil saat perjalanan, membahas tujuan datang ke sana hendak mengapa dan apa esensi kami untuk datang ke sana? Apakah mau ke makam Sunan Ampel atau ke Masjid Ampel atau malah cuman sekedar jalan-jalan dan kulineran malam di sekitaran pasar Ampel? Nyatanya ke semua target itu kami jalankan semua.
Di awal kedatangan, kami langsung bergegas mengunjungi Makam Sunan Ampel. Satu hikmah yang kami pelajari disini adalah Religiusitas tidak terbatas oleh masa apalagi wabah.Â
Semakin larut, kunjungan ke makam pun bukan semakin sepi, peziarah pun malah semakin membanjiri lokasi. Aktivitas ziarah kami tutup dengan mengunjungi makam K.H. Mas Mansyur, yang merupakan salah satu Pahlawan Nasional dan juga Tokoh Muhammadiyah yang lokasi makamnya berada diseberang makam Sunan Ampel dekat dengan makam Mbah Soleh.
Setelah dari lokasi makam, kami berjalan-jalan di sekitar pasar. Tampak pedagang dari kalangan Arab, Jawa dan Madura menjajakan dagangannya. Beberapa pedagang juga nampak terbujur lelah menjajakan dagangannya. Seketika saya sempatkan bertanya ke salah satu pedagang dengan menggunakan bahasa lokal Suroboyoan, "Ngeten niki nek Pandemi tambah laris nopo tambah sepi lek?"
Kemudian pedagang tersebut tersenyum sembari merespon, "Rejeki iku guduk itungan matematikane menungso mas, nek pancen rejekine ngge pasti wes diatur kale Seng Kuoso" atau jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia berarti rezeki itu bukan hitungan matematika manusia, semua sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa.Â
Jawaban tersebut langsung menikam keras qalbu saya sembari overthinking terkait bagaimana bisnis pedagang kecil dalam menjalankan usahanya di tengah kondisi dan keadaan wabah pandemi covid-19 saat ini.
Selepas perbincangan, saya dan kawan-kawan saya langsung bergegas mencari warung kopi sembari menikmati kopi khas Arab dengan perpaduan rempah khas Timur-tengah.Â
Tampak memperhatikan sekitar jalan pasar secara seksama, saya memandangi para pelintas jalan sambil memperhatikan lekuk tapak kaki dan seringai wajah mereka. Semua tampak kosong, pasrah dan menyerahkan diri hanya kepada-Nya. Tak terlintas kegelisahan pada mereka apalagi berpikiran jika pandemi akan menyerang mereka.