Inilah aku. Aku biasanya menjaga gunung dan hutan ini dengan gagah berani. Oh ya, itu benar. Kenangan akan orang-orang di masa lalu. Inilah aku. Aku biasanya menjaga gunung dan hutan ini dengan gagah berani. Ini adalah gunung kami. Ini adalah sungai kami. Kami adalah seediq bale yang sejati.
Kami berburu di gunung. Kami saling berbagi makanan dalam suku kami. Kami mengambil air dari sungai. Aku bertekad mengabdikan hidupku untuk hal ini. Wahai sungai, tenanglah sejenak. Burung sisin akan bernyanyi. Tolong nyanyikan untuk kami lagu yang merdu. Nyanyian untuk orang-orang kami. Sebuah lagu tentang roh leluhur kami.
Aku bertekad mengorbankan nyawaku. Tatkala petir menyambar bebatuan, pelangi kan datang. Siapa gerangan yang berbahagia ini? Diakah keturunanmu?
- Kidung Suku Seediq, kidung perjuangan. Biasa dinyanyikan saat berjuang dan saat melihat pelangi.
Diskursus soal film bertema solidaritas, tak afdhol rasanya jika tidak mengikutsertakan film epik Warriors of The Rainbow: Seediq Bale dalam deretan film recomended bertema solidaritas.
Film bergaya kolosal yang diangkat dari sebuah kisah nyata tentang perjuangan suku pedalaman di Taiwan ini dirasa memiliki spirit emosional yang tinggi bagi penonton Indonesia. Sebab, latar tempat dalam film beserta beberapa kostum baju adatnya hampir familiar menyerupai suku yang ada di bangsa kita Indonesia. Meski agak sedikit sadis, sebab bekisah tentang suku pemenggal kepala yang kehilangan lahan perburuan akibat penjajahan Jepang.
Warriors of The Rainbows: Seediq Bale merupakan film produksi Taiwan tahun 2011. Disutradarai oleh Wei Te-Sheng dan di produseri oleh John Woo. Film ini mengangkat kisah nyata dari perjuangan Mouna Rudo, salah satu patriot suku Seediq (sebuah suku pedalaman asli Taiwan) yang saat ini perjuangannya harum dikenang oleh rakyat Taiwan serta di abadikan sebagai salah satu pahlawan nasional Taiwan.
Total durasi dalam film Seediq Bale terbilang cukup panjang. Total, sekitar 4,5 jam durasi tontonnya, dengan dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama dengan sub judul The Sun Flag dan bagian kedua dengan sub judul The Rainbow Bridge.
Bagian pertama, mengisahkan tentang keberhasilan Jepang dalam menguasai Taiwan melalui perjanjian Shimonseki (1895). Lalu juga mengisahkan tentang bagaimana Jepang berhasil dengan mudah menguasai jantung penting Taiwan, yakni Wushe dengan cara mempolitisasi dan mengeksploitasi suku Seediq. Suku yang dikenal buas dan sadis karena memiliki tradisi memenggal kepala manusia.