Mohon tunggu...
Rizky AdiFirmansyah
Rizky AdiFirmansyah Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa Universitas Mercu Buana

55522120038 - Magister Akuntansi - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Dosen Pengampu : Apollo, Prof.Dr, M.Si.AK - Pajak Internasional/Pemeriksaan Pajak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kebatinan Ki Ageng Surypmentaram: Transformasi Audit Pajak dan Memimpin Diri Sendiri

8 Juli 2024   11:39 Diperbarui: 8 Juli 2024   11:46 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut temuan ki Ageng Suryomentaram, dasar bagi seseorang untuk meraih kebahagiaan adalah kaweruh jiwa atau "pengetahuan tentang diri:, yaitu cara kita memahami diri sendiri secara benar, tepat, dan jujur. Ki Ageng Suryomentaram lahir tahun 1892, tetapi secara berpikirnya persis dengan filsuf Barat Jurgen Habermas yang lahir dan muncul belakangan yang juga berpandangan bahwa manusia bisa bahagia jika memahami dirinya sendiri secara tepat, benar, dan jujur atau tulus. Jujur atau tulus ini penting, tetapi banyak orang yang tidak bisa memandang dirinya seperti itu. Tahu dirinya sebenarnya salah, tetapi masih tetap berusaha mencari pembenaran atas kesalahanya. Tahu jika dirinya tidak sukses, tetapi terus mencari justifikasi argumentasi agar dia bisa terlihat benar. Itulah yang namanya tidak jujur. 

Ada juga orang yang hidupnya tidak benar karena menggunakan standar yang keliru. Manusia memiliki standar - standar dalam hidupnya tentang yang benar dan yang salah. Tetapi, jika yang digunakan adalah standar yang keliru, akhirnya yang salah bisa menjadi benar bagi dirinya. Sehingga, penting bagi kita untuk mencari standar yang benar dan tepat. Yang berarti pas atau sesuai dengan ruang, waktu, dan situasi. Maka dari itulah penting bagi kita untuk memahami diri kita sendiri secara benar, tepat, dan jujur tanpa tergantung pada syarat-syarat dari luar diri kita, seperti tempat, waktu, dan keadaan. Dalam bahasa ki Ageng Suryomentaram, kita harus berbuat benar, tepat, dan jujur, mboten gumantung papan, wekdal, lan kawontenan. Artinya, untuk bisa memahami diri secara benar, tepat, dan jujur, kita tidak harus punya pangkat atau menjadi kaya dulu. Itu bukan syarat untuk bahagia. Syarat utamanya adalah kaweruh jiwa atau mengenali diri itu tadi. Jika kita tidak mengenali diri sendiri, pasti tidak akan bahagia. Karena kita tidak tahu apa yang cocok bagi diri sendiri atau apa saja yang bisa membuat diri senang secara lahir maupun batin. Kita perlu mengenal fisik sendiri agar tahu mana makanan yang cocok atau tidak cocok dengan metabolisme tubuh kita. Demikian juga dengan batin, kita harus mengenalinya. Karena, hanya dengan mengenalnya itulah kita tahu apa yang dibutuhkan. Dengan mengenal diri sendiri, maka kita bisa memposisikan diri kita secara pas.

Dalam konsep Ki Ageng Suryomentaram, jalan pertama untuk mencari kebahagiaan sejati adalah mengelan diri sendiri. Caranya dengan menempuh pengawikan pribadi atau mempelajari dan memahami rasa dalam diri kita sendiri. Pengawikan pribadi kadang juga disebut dengan "mawas diri". Jika filsuf lain menganggap bahwa yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah karena manusia bisa berpikir rasional, tidak demikian dengan Ki Ageng Suryomentaram. Menurut beliau, yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah rasa hidup. Yaitu, kesadaran kita sebagai makhluk hidup khusus karena memiliki keinginan, kemauan, dan tujuan. Kalau modus rasional menjadi ukuran perbedaan, sebenarnya binatang juga memiliki rasionalitasnya sendiri. Kadang - kadang, binatang juga bisa menanggapi situasi secara cerdas. Makan, menurut pandangan Ki Ageng Suryomentaram, sesuatu yang tidak dimiliki oleh makhluk selain manusia itu bukan rasionalitas, tetapi pengawikan pribadi atau dalam istilah jawa lainya disebut raos gesang atau rasa hidup. Dengan mengenali diri kita sendiri, kita bisa memahami orang lain. Jika ditarik lebih luas, ketika kita sudah memahami diri kita dan memahami orang lain, pada akhirnya kita bisa memahami hadirnya wilayah ketuhanan dalam diri kita. 

Jalan kebahagiaan yang kedua adalah meruhi gagasane dewe. Kita harus menyadari apa saja yang membuat kita senang atau susah dengan segala atributnya. Levelnya lebih dalam yaitu menyadari, bukan sekedar mengetahui. Menurut Ki Ageng Suryomentaram, ada tiga hal yang bisa membuat seseorang senang, yaitu semat (kekayaan), derajat (kedudukan), dan kramat (kekuasaan). Kebanyakan kita takut sekali kehilangan tiga hal itu. Banyak orang takut miskin. Banyak orang khawatir tidak dihargai. Banyak orang khawatir tidak punya pengaruh, tidak punya kekuasaan, karena kebanyakan orang tidak suka dicuekin. Itu semua adalah atribut yang sebenarnya tidak selalu memengaruhi kebahagiaan kita. Bukan diri kita yang sejati, maka dari itu , menurut Ki Ageng Suryomentaram, kita harus bisa memenuhi gagasan dewe, menyadari apa yang kita butuhkan. Dalam bahasa Ki Ageng , kita harus bisa membedakan antara "Aku" dan "aku", yaitu nama "Aku" yang sejati dan mana "aku" yang hanya atribut - atribut. Selama ini kita menganggap bahwa "aku" ini adalah seseorang siapa, padahal itu hanyalah atribut. Menurut Ki Ageng Suryomentaram, orang yang bahagia adalah orang yang bisa memilah antara "Aku" yang sejati dan "aku" yang atribut. Dengan memisahkan keduanya, jika ada masalah dengan atribut kita misalnya, saya ada masalah dengan profesi saya, maka itu tidak serta merta akan membuat keruh "Aku" pada diri saya yang sejati. Karena segala atribut itu hanyalah tempelan. Maka dari itu, Ki Ageng Suryomentaram punya istilah, Orang yang sukses memisahkan dirinya dengan segala atributnya disebut manungsa tanpa tenger atau manusia tanpa ciri.

Manusia seperti ini adalah manusia yang damai, tidak mudah terpengaruh, lebih percaya diri, dan lebih bahagia. Masalah terbesar manusia saat ini adalah karena atribut - atribut yang menempel pada dirinya. Sementara manusia tanpa ciri atau manusia tanpa tenger ini bisa membangun jarak antara dirinya dan atributnya. Maka, ketika ada masalah dengan atribut - atributnya tersebut, masalah tersebut tidak berpengaruh terhadap kejernihan jiwanya. Seseorang yang belajar spiritual dan tasawuf, ketika disuruh membersihkan jiwanya dengan menyingkirkan kemelekatanya dengan atribut-atribut yang ada pada dirinya, kadang bingung bagaimana menyingkirkan atribut-atribut tersebut. Pada kenyataanya, memang seseorang tidak bisa melepaskan atribut -atribut dalam kehidupan sehari - harinya. Dia harus bekerja, bersosialisasi, atau melakukan berbagai macam kegiatan lain dalam masyarakat. Yang semuanya memerlukan atribut. 

Ki Ageny Suryomentaram punya jawaban terhadap kebingungan tersebut, Menurut beliau, seseorang tidak perlu melepaskan atau membuang atribut - atribut tersebut. Karena memang masih diperlukan dalam kehidupan. Yang perlu dilakukan adalah mengambil jarak dengan atribut - atribut tersebut, bukanya melepaskan atau membuangnya. Yang diperlukan adalam menumbuhkan kesadaran bahwa atribut - atributnya yang sejati atau bukan "Aku" yang sejati. Manungsa tanpa tenger adalah mnusia yang dalam bahasa spiritual bebas dari segala keterikatan. Ada jarak antara dirinya yang sejati dengan atributnya. Maka menurut Ki Ageng Suryomentaram, mari kita memenuhi gagasan dewe. Mari kita kenali atribut - atribut kita dan mengambil jarak darinya.

Pelajaran penting dari Ki Ageng Suryomentaram adalah manusia perlua menyadari keinginannya dan juga menyadari batasanya. Menurut Ki Ageng Suryomentaram, "di atas bumu dan kolong langit ini tidak ada barang yang pantas dicari, dihindari, atau ditolak secara mati-matian. Meskipun demikian manusia berusaha mati-matian untuk mencari, menghindari, atau menolak sesuatu walaupun itu tidak sepantasnya dicari, ditolak, dan dihindari. Padahal apa yang dicari atau ditolaknya itu tidak menyebabkan orang bahagia dan senang selamanya, atau celaka dan susah selamanya. Tetapi ketika orang menginginkan sesuatu, pasti dia mengira atau berpendapat bahwa, "jika keinginanku tercapai, tentulah aku bahagia dan senang selamanya, dan jika tidak tercapai tentulah aku celaka dan susah selamanya"".  Sebagian besar dari kita menginginkan sesuatu biasanya  akan berusaha mati - matian untuk mendapatkanya. Seolah - olah keinginan itu harus didapatkan, dan jika gagal, dia merasa dunia bakal kiamat. Menurut Ki Ageng Suryomentaram, mental kebanyakan orang selalu seperti itu. Padahal, menurut beliau, tidak ada sesuatu di dunia ini yang harus kita cari atau kita tolak sampai mati- matian. Sebab, hidup ini dinamis dan berkembang. Maksudnya, ketika seseorang sudah mendapatkan apa yang diinginkan, mkaa bukan berarti semua urusanya selesai, karena dia akan menghadapi urusan- urusan selanjutnya. 

Justru orang bahagia, menurut Ki Ageng Suryomentaram, adalah orang yang menyadari atas keinginanya. Batas keinginan itu bisa diukur secara kualitatif dan kuantitatif. Batas kuantitatif misalnya, ketika kita menginginkan rumah, maka kita harus bisa mengukur sejauh mana kemampuan kita, jika kita hanya mampu membeli rumah seharga 100 juta, jangan mati - matian memburu rumah seharga 1 miliar, sebab kita tidak akan mampu menggapainya. Hal itu akan menyebabkan kita terus menerus merasa gelisah. Sedangkan yang dimaksud batas kualitatif adalah, boleh menginginkan sesuatu, tetapi tidak boleh terlalu menginginkanya. Jangan membayangkan jika keinginan tersebut adalah kunci kebahagiaan kita. Ketika menginginkan sesuatu, berpikirlah jika bisa mendapatkanya syukur, tidak dapat juga tidak apa - apa. Dengan begitu akan merasa lebih membahagiakan. Wajar ketika seseorang memiliki cita - cita ke dalam diri sedalam - dalamnya. Seolah cita  - cita itu adalah kunci segalanya. Sebab, kadang- kadang ketika kita menginginkan sesuatu mati - matian memperjuangkanya, ternyata rasanya cuma biasa saja. Misalnya, kita sangat ingin memiliki rumah bagus, tetapi ketika berhasil memilikinya, ternyata rasanya biasa saja, tidak seheboh ketika kita bermimpi untuk bisa mendapatkanya. Mari kita pahami bahwa ternyata begitulah tabiat dari keinginan, Maka untuk menjadi bahagia, kita tidak harus mati - matian ketika menginginkan sesuatu, sewajarnya saja.

Jika inging bahagai, seseorang menurut Ki Ageng Suryomentaram, rumusnya ada enam, yaitu sabutuhe (sebutuhnya), seperlune (seperlunya), sacukupe (secukupnya), sebenere (sebenarnya), samesthine (semestinya), dan sak penak e (sepantasnya) Itulah prinsip enam "Sa" disebut demikian karena diawali dengan suku kata "sa". Jika menginginkan sesuatu, cari atau ambil sebutuhnya saja atau ambil sesuai kebutuhan. Ambil yang penting saja. Berikutnya cari seperlunya saja, yang sesuai dengan kondisi kita ambil secukupnya saja. Ambil yang semestinya, yaitu jangan menginginkan sesuatu yang lebih dari seharusnya. Ambil sepantasnya, atau cari apa yang pantas untuk diri kita, jangan mencari yang tidak pantas, kendati sesuatu itu sebenarnya bisa atau boleh kita  raih. Sebab, tidak semua keinginan kita yang sebenarnya diperbolehkan harus kita turutkan. Itulah prinsip enam "sa" dalam rangka mencukupi kebutuhan sekaligus mencari kebahagiaan. Keenamnya bisa kita jadikan rumus hidup, agar kita selalu merasa tenang.

Transformasi audit pajak merupakan bentuk mawas diri dari sistem perpajakan yang ada. Jika ditarik benang merah dari apa yang diajarkan oleh Ki Ageng Suryomentaram, apabila semua orang memiliki kesadaran diri, maka Pajak sendiri merupakan sesuatu yang bukan lagi membebani dari masing- masing individu. Tetapi kepercayaan juga harus dibuat oleh para pemangku perpajakan jika ikin wajib pajak memiliki kesadaran diri akan pentingnya dan kepatuhan pajak. Hal ini tentu saja dua sisi yang harus saling berbenah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun