Mohon tunggu...
Rizky D. Rahmawan
Rizky D. Rahmawan Mohon Tunggu... Entrepreneur -

Menyukai jalan-jalan. Mencari inspirasi, mengulik potensi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Transportasi di Kota Purwokerto

10 Januari 2016   06:20 Diperbarui: 10 Januari 2016   09:44 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah karena anggaran yang dimiliki pemerintah daerah saat ini semakin meningkat, atau sebetulnya sama saja hanya pemerintah saja yang lebih jeli memaksimalkan anggaran, saat ini di Purwokerto dan daerah-daerah di sekitarnya perbaikan dan penghalusan jalan gencar dilakukan. Dari mulai jalan protokol yang masih mulus tapi sudah ditumpuk aspal lagi, sampai di pelosok-pelosok desa yang mungkin terakhir kali menggoreng aspal kala itu masih eranya Pak Harto berkuasa.

Ini tentu membuat senang hati pengendara kendaraan bermotor. Terlebih, pengguna kendaraan pribadi mungkin sudah mencapai 90% lebih disini jika dibandingkan dengan pengguna angkutan umum. Maklumlah, dealer kendaraan bermotor terus bertumbuh, menawarkan aneka produk otomotif yang menggiurkan untuk dimiliki. Disaat yang sama, di Purwokerto hanya angkot saja yang masih menjadi tulang punggung transportasi dalam kota. Dimana angkot tetap otentik dengan jarak waktu antar trayek yang tidak menentu dan tetap lestarinya tradisi 'ngetem' yang benar-benar tidak bersahabat untuk penumpang yang sedang diburu waktu.

Pemerintah Kabupaten Banyumas, tempat dimana Kota Purwokerto berada juga memberikan perhatian yang serius untuk fasilitas berkendara berupa sign dan marka jalan hingga ke desa-desa. Pemerintah juga memanjakan pengguna jalan di kota dengan pembaharuan marka dan penambahan apa yang sedang menjadi trend sekarang : Yellow Box Junction (YBC). Maka sekarang di perempatan-perempatan lampu merah besar, kita jumpai jalan diperempatannya terdapat ornamen kotak berwarna kuning, persis seperti jalanan di Ibukota. 

Pohon-pohon besar yang rawan roboh juga sudah ditebangi. Pohon berusia puluhan bahkan mungkin ada yang ratusan tahun ini tentu saja bernilai tinggi. Inilah untungnya menjadi pemerintah di negara tropis yang subur, tanaman dibiarkan saja setelah sekian puluh atau sekian ratus tahun sudah bisa jadi tambahan pendapatan dengan sendirinya. Sebagai gantinya, ditanamilah pepohonan baru. Sebut saja di Jalan Dokter Angka, Pohon yang ditanam tidak terlalu tinggi, tapi memiliki bentang ranting yang luas, sehingga terasa teduh ketika kita berkendara melintasi jalan itu. 

Hitung-hitung saya pemanasan hendak mengikuti touring Datsun Risers Expedition, kemarin saya sempatkan untuk touring keliling kota sendiri. Menjelajahi jalanan Purwokerto yang sudah semakin padat, ditemani hujan rintik-rintik yang membuat perjalanan tidak menjadi begitu panas. Pengendara di Purwokerto diberi perhatian lagi oleh pemerintah rupanya, yakni di tiap perempatan besar sudah dipasangi papan pengumuman berisi informasi Perda larangan menjadi pengemis dan larangan memberi kepada pengemis. Pengendara diharapkan menjadi lebih aman dari resiko gangguan kriminalitas karenanya. Semoga keberanian Pemerintah mengetuk palu dan memasang plang perda ini adalah bentuk sudah berhasilnya mereka mengelola Dinas Sosial dalam urusan pengelolaan para pengemis. 

Yang baru lagi di Purwokerto yang sangat berguna terutama bagi pendatang baru adalah adanya papan petunjuk nama-nama perempatan dan pertigaan. Nama-nama perempatan dan pertigaan dibuat baru, masih asing juga di telinga saya. Misalnya perempatan Srimaya, diberi papan nama Simpang Sutosuman, singkatan dari Simpang Jl. Suprapto dan Jl. Jend. Sudirman. Lalu di sebelah baratnya ada perempatan Palma, juga diberi nama baru, Simpang Giri Suman, singkatan dari Simpang Jl. Kol. Sugiri dan Jl. Jend. Sudirman. Kemudian ada lagi pertigaan di timur GOR, diberi nama baru Simpang Harsoparno, singkatan dari Simpang Jl Dr. Suharso dan Jl. Dr. Suparno. Wah, asik-asik juga nama barunya. Walau harus adaptasi lagi dari identifikasi nama-nama lama yang sudah kadung melekat di benak masyarakat.

Sambil keliling kota, saya tiba-tiba teringat dengan pengalaman berkendaraan belasan tahun yang lalu, betapa kota ini telah begitu pesat maju. Misalnya keberadaan SPBU, saat ini hanya jarak 3-4 km saja sudah ada SPBU lagi, tak perlu kuatir kehabisan bahan bakar. Berbeda dengan belasan tahun yang lalu, saya yang rumah tinggalnya 30 km dari pusat kota Purwokerto, untuk mencapai SPBU terdekat ya harus pergi ke dekat kota dulu. Untungnya saat itu saya belum punya kendaraan, jadi tidak perlu repot-repot melakukan itu.

Pada saat belasan tahun yang lalu, lampu merah adalah sesuatu hal yang istimewa. Kalau kita menjumpai perempatan yang ada lampu merahnya, itu pertanda bahwa kita sudah menjelang sampai di kota. Pada saat itu, kecuali jalan ditutup karena ada pohon tumbang, atau tronton mogok, selebihnya kemacetan adalah sesuatu hal yang takahyul belaka. Begitulah transportasi dan budaya berkendara berubah demikian cepat dan pesat, disini, akan tetapi demikian pulakah terjadi di Luar Jawa? 

Apakah ada parade klakson juga di luar Jawa? Bagaimana jarak antar SPBU dan harga bahan bakar disana? Apakah alam hayati yang masih hijau bersanding akur dengan infrastruktur jalanan yang mulus? Pertanyaan-pertanyaan kepenasaranan saya ini mudah-mudahan akan terjawab besok dalam blog trip pertama saya bersama Kompasiana. Besok, saya kebagian etape ke-1 : Wisata Pulau Terdepan.

 

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun