Inilah bedanya zaman orde paling baru dibanding zaman orde baru dulu, saat ini rakyat jelata macam saya bisa twitteran dengan tokoh-tokoh besar, hingga kaliber menteri. Bahkan di Kompasiana, bisa saling sapa dengan wakil Presiden langsung saat Wapresnya masih JK, karena Wapres yang sekarang tidak punya akun Kompasiana. Kemarin saya sampaikan unek-unek saya lewat twitter ke Pak Menteri Kominfo : Pak, kok sinetron tidak ditegur si... Lalu Pak Menteri me-reply "Bila ada masukan tentang kontent televisi, bisa disampaikan ke KPI, Rizky". Sepintas, tidak ada masalah dengan jawaban itu. Tapi coba perhatikan dengan seksama kalimat di atas. Untuk membantu perhatian Anda, saya bantu dengan analogi ya. Saya analogikan begini, Anda misalnya sedang ikut sebuah seminar, seminar itu acaranya molor dari jadwal, pembicaranya juga tidak seperti yang dijanjikan, materinya kurang sesuai dan pokoknya mengecewakan. Lalu ketua panitia seminar dalam pidatonya dengan santun berkata, "Kalau ada keluhan tentang seminar ini, tolong sampaikan pada lembar saran dan kritik." Ada dua kemungkinan tentang ketua panitia : Pertama, dia begitu bodohnya sampai tidak tahu bahwa seminar ini mengecewakan. Atau kedua, dia tahu seminar mengecewakan, tapi tidak mau ikut bertanggung jawab atas kondisi ini. Yang disuruh bertanggung jawab adalah lembar saran dan kritik. Begitulah, atas reply tweet saya itu saya jadi bertanya-tanya : Ini Pak Menteri tidak pernah mengamati sinetron kita, atau Pak Menteri tahu sinetron kita sangat jelek dan mengandung muatan yang berbahaya, tapi beliau tidak mau ikut bertanggung jawab? Yang diminta bertanggung jawab dan mengurusi KPI? Seharusnya kata-kata : "Kalau ada masukan tentang...", itu berlaku kalau sesuatu itu normal dan berlangsung baik. Misalnya Anda beli Handphone baru yang Anda tahu kualitasnya masih bagus, Penjual boleh bilang "Kalau ada keluhan tentang hape ini, tolong sampaikan pada kami". Tapi kalau sudah tahu hapenya jelek, mengecewakan, bermuatan yang membahayakan, alangkah dzholimnya penjual hape itu pura-pura tidak tahu. Pak Menteri tentu sangat tahu batasan dzholim dan tidak dzholim.
Saya kan jadi meragukan kapabilitas beliau menjadi Menteri kalau begini jadinya, kalau beliau saja tidak menyadari bahwa banyak sekali masukan yang harus diberikan untuk perbaikan kualitas konten televisi kita. Bagaimana mungkin beliau menjadi menteri tanpa memahami secara komprehensif dunia pertelevisian kita. Mengapa hanya rakyat yang dihimbau untuk memberi masukan, bukan beliau saja dengan otoritas yang melekat padanya. Bukankah menteri digaji dan difasilitasi bak fasilitas surga, untuk menjalankan otoritasnya demi kemaslahatan rakyat?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI