"Pemimpin dalam masyarakat lebah sudah dipilihkan langsung oleh Tuhan. Sedangkan manusia, kita masih harus direpotkan untuk memilih pemimpin diantara kita". Ungkapan tersebut adalah salah satu sentilan Agus Sukoco kepada masyarakat di Kabupaten Purbalingga dalam rangka mengajak berpikir dekonstruktif mengenai proses pemilihan kepala daerah beberapa waktu yang lalu. Agus sengaja menjadikan masyarakat lebah sebagai analogi, dimana di masyarakat lebah proses pemilihan ratu diantara mereka masih berlangsung alamiah, spesifikasi dan kriteria yang sudah disiapkan Tuhan diiyakan begitu saja untuk masyarakat lebah mengangkat ratu sebagai pemimpin mereka. Masyarakat dan para tokohnya diajak untuk mau membuka pikiran membaca ketidakalamiahan dan rekayasa yang berlangsung dalam mekanisme pemilihan pemimpin yang saat ini dianut oleh bangsa ini.
Sentilan Agus Sukoco untuk mengajak berpikir dekonstruktif mengenai kepemimpinan pertama kali ia torehkan dalam orasi kebudayaan bertajuk "Mandat Suci Kepemimpinan". Gagasan tersebut disampaikan dalam forum dialog budaya dengan menghadirkan Muspida Purbalingga, pejabat Pemkab dan para tokoh masyarakat di Kabupaten Purbalingga. Agus Sukoco sengaja membawakan gagasan tersebut semoderat mungkin dengan kemasan kebudayaan, dengan harapan gagasan tersebut dapat diterima secara maksimal dengan reaksi penolakan yang minimal. Karena capaian dari dilontarkannya gagasan tersebut bukanlah mengincar kedudukan tertentu atau menggoyang posisi seseorang di jabatan tertentu, tetapi semata-mata bertujuan memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai berpolitik sesuai akal sehat.
Bagi pria kelahiran Purbalingga 8 September 1976 ini, karier untuk menduduki jabatan dan posisi tertentu bukanlah sesuatu yang ia idam-idamkan. Disela-sela kesibukannya sebagai seorang yang berprofesi di dunia perbankan, Agus Sukoco aktif berinteraksi dengan berbagai kalangan. Tanpa memiliki bendera LSM tertentu, Agus Sukoco terbiasa diminta duduk sejajar bersanding bersama para tokoh LSM dan penggerak sosial untuk mengatasi berbagai problematika sosial di Kabupaten Purbalingga. Di kalangan Nahdlatul Ulama, ia termasuk salah satu tokoh muda paling pro-aktif dengan dipercaya memegang jabatan sebagai Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM di dalamnya. Ia yang sejak puluhan tahun silam dekat dengan masyarakat dan kaum jalanan, kerap didatangi kalangan pemerintah untuk menjadi penyambung birokrasi dengan rakyat.Â
Gagasan "Mandat Suci Kepemimpinan" kemudian bertransformasi menjadi "Mandat Politik Walisongo". Masyarakat dan para tokohnya seolah diajak untuk rehat sejenak dari keimanan yang mutlak kepada demokrasi, untuk melihat kemungkinan adanya konsep-konsep alternatif mengenai kepemimpinan dan kekuasaan sebelum Demokrasi hadir di negeri ini. Agus Sukoco mencoba mengubah pengenalan yang sempit terhadap peran Walisongo yang hanya sebatas juru dakwah, karena fakta sejarah menyebutkan bahwa Walisongo memiliki peran strategis di bidang politik, kekuasaan dan penataan masyarakat.
Agus Sukoco mencoba mengangkat hubungan Sunan Kalijaga dan Raden Patah dalam Kesultanan Demak, Sunan Kalijaga sang Walisongo menjadi Sesepuh, sebagai pengayom juga penasehat. Sedangkan Raden Patah sebagai eksekutornya. Inspirasi Sunan Kalijaga dan Raden Patah sebetulnya masih dibawa hingga awal berdirinya NKRI, yakni KH. Hasyim Asy'ari sebagai representasi spiritualitas Bangsa sebagai sesepuh, dan Bung Karno sebagai representasi nasionalis sebagai eksekutornya. Agus Sukoco mengkhawatirkan hilangnya inspirasi brilian tersebut saat ini, sehingga yang terjadi adalah gelaran penobatan penguasa yang semakin hari semakin jauh dari tatanan masyarakat ideal.
Ujung dari letupan gagasan-gagasan "radikal" yang dibawakan secara kultural dengan demikian moderat oleh Agus Sukoco tersebut adalah memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai pendidikan kepemimpinan, politik dan penataan masyarakat. Edukasi tersebut sebetulnya adalah tugas dan tanggung jawab partai politik. Akan tetapi Agus Sukoco mengambil sejumput peran tersebut, karena partai politik kini alpa kepada tugasnya.Â
Indikasi yang ditemukan oleh Agus Sukoco berikutnya adalah bahwa yang terjadi dalam tananan masyarakat saat ini adalah hilangnya sesepuh. Ia membuat analogi, ibaratnya negara ini adalah sebuah rumah. Rakyat adalah anak-anak di dalam rumah tersebut. Sedangkan Pemerintah adalah pembantu yang diberi imbalan untuk melayani. Serapih apapun aturan di sebuah rumah, kalau tidak ada orang tua, maka anak-anak bisa berbuat sekehendak hati, bertengkar satu sama lain. Lalu, siapakah orang tua di dalam rumah bernama negara?Â
Rekontekstualisasi lokal dari analogi tersebut, ibarat Kabupaten Purbalingga adalah sebuah rumah, rakyat purbalingga adalah anak-anaknya. Pemerintah adalah pembantunya. Lalu siapakah orang tua Purbalingga? Gagasan ini tidak dianggap sebuah penemuan yang berarti, karena cara berpikir orang modern selama ini tidak menemukan pembeda antara ada dan tidak ada orang tua di "rumah" bernama negara atau kabupaten. Yang dipersalahkan selalu saja sistem dan aturan, tidak mencoba menelusuri kebobrokan yang terjadi saat ini kepada sebab yang lebih mengakar.Â
Butuh waktu panjang untuk mengajak masyarakat menemukan keberadaan "orang tua", kemudian menengahkannya dalam artian memberikan legitimasi untuk melakukan intervensi kekuasaan. Oleh karenanya, Agus Sukoco mencoba tidak terburu-buru dan larut dalam obsesi. Tahap yang baru bisa dicapai saat ini baru pada tahap memberikan lontaran-lontaran gagasan dengan tujuan menggoda masyarakat dan para tokohnya untuk mau berpikir lebih luas.Â
Ditengah mengerjakan gagasan besar mengenali kembali sesepuh, menemukan dan menengahkan "orang tua" kultural, Agus Sukoco disibukkan dengan permintaan penyelesaian problematika sosial yang kasuistik. Ia kerap diundang untuk mengisi orasi budaya di kalangan institusi pemerintahan dengan menyampaikan tema seputar rekonstruksi kepemimpinan dan paradigma kerja birokrasi. Kejaksaan Negeri Purbalingga adalah salah satu institusi yang intens berdialog, berkonsultasi dan memberikan ruang. Diantara edukasi yang ia tanamkan kepada para Jaksa adalah bahwa profesi Jaksa adalah pejabat Negara sekaligus pejabat Langit. Jaksa menjadi kepanjangan tangan Tuhan untuk menegakkan hukum-Nya "Faman ya'mal mitsqaala dzaratin khairay yarah, waman ya'mal mitsqaala dzaratin syarray yarah", yang kurang lebih artinya barang siapa mengerjakan kebaikan sebesar biji, maka kebaikan balasannya. Barangsiapa mengerjakan keburukan sebesar biji, maka keburukan balasannya. Dikuatkan lagi dalam putusan peradilan selalu tertera "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Dasarnya berpangkal dari Tuhan, bukan semata demi Negara.Â
Dari urusan para Jaksa hingga pedagang keliling diterima di kediaman sederhananya di Desa Sokawera, Kecamatan Padamara, Kabupaten Purbalingga. Pedagang Somay diajak berpikir dekonstruktif bahwa berdagang bukanlah kegiatan mencari uang. Membuat somay dan mendorong gerobak keliling adalah dalam rangka memberi makan makhluk-makhluk Tuhan, kalau Tuhan senang dengan perbuatan itu, rejeki sudah pasti akan Dia turunkan. Cara berpikir semacam ini menjadi energi yang lebih steady ditengah peliknya persaingan dan melelahkannya berprofesi menjadi pedagang kecil.