Masjid Ageng Nur Sulaeman terletak persis di sebelah Barat Alun-Alun Banyumas. Selayaknya kota-kota lain di Tanah Jawa, Kota Lama Banyumas memiliki penataan yang sepola, ciri khas kota peninggalan pemerintahan Hindia-Belanda. Bedanya, kalau di Kota Lama Banyumas masih relatif tertata rapi, sedangkan di kota lain, sudah banyak yang rusak oleh bercokolnya bangunan-bangunan baru.Â
Nama Masjid Ageng Nur Sulaeman tidak lepas dari nama yang tertera di sebuah cungkup pusara di kompleks pemakaman adipati-adipati Banyumas, di desa Dawuhan, yakni cungkup pusara Ki Ageng Sulaeman dan Nyai Ageng Sulaeman. Mereka berdua hidup sezaman dengan Adipati Yudhanegara II, Adipati Banyumas ke-7.Â
Di era itulah Masjid utama Kota Lama Banyumas itu berdiri. Masjid itu didirikan oleh pemerintah Kadipaten Banyumas. Sebuah sokogurunya disumbang oleh Demang Nur Dlaiman, Ia adalah Demang Gumelem, sekarang masuk wilayah Banjarnegara. Khatib dan Imam mesjidnya adalah Ki Ageng Sulaeman, seorang perantau dari Jawa Barat yang selesai Ia nyantri di Pondok Somalangu Kebumen diminta untuk menjadi penghulu agama di Banyumas oleh Sang Adipati.
Bangunan masjid itu tetap berdiri kokoh di era kolonial, bahkan melewati perang besar tanah Jawa yakni Perang Diponegoro. Mbah Yasir, seorang pelaku sejarah bertutur, bangunan asli masjid kemudian dipugar tahun 1889 di era Adipati Martadireja I. Hingga awal tahun 1930-an, Sokoguru yang lama masih disimpan rapi di samping masjid, hingga kemudian dipindah di daerah Sokajara. Hingga kini. Dan entah tidak diketahui keberadaannya.
Bangunan Masjid bermaterial utama kayu yang megah yang kita lihat hari ini adalah bangunan yang masih utuh dari tahun 1889. Awet sekali. Kayu kokoh, tembok tebal dan tegel kuno menjadi angresnya suasana Masjid Alun-Alun Banyumas itu.Â
Hingga Republik berdiri, tidak ada imbas perang berarti menimpa bangunan. Bangunan nyaris terancam dihancurkan justru tahun 1960-an. Ketika itu akan dibuat proyek pembangunan masjid baru. Lalu, Mbah Yasir bertutur, semua pejabat daerah dikumpulkan oleh Mister Sudirman, seorang tokoh lokal Banyumas. Lalu Mister Sudirman melontarkan, "Masjid ini boleh dibongkar dan diganti baru, tetapi harus ijin dulu kepada yang punya!".Â
Mister Sudirman menyampaikan itu dengan tidak bisa menahan air mata. Hingga akhirnya diakui bahwa Masjid ini adalah milik Keluarga Martadireja. Dan sebagai bentuk penghormatan, Masjid tidak jadi dibongkar. Tetap mempertahankan bangunan lama. Begitu akhirnya hingga Undang-Undang Cagar Budaya lahir, dan Masjid Ageng Nur Sulaeman menjadi cagar budaya pertama yang terdaftar di wilayah Kabupaten Banyumas.Â
Begitulah, agama dan budaya harus dirawat, bukan dibongkar, bukan dibentur-benturkan. Konon suatu ketika seseorang bertanya sejarah kepada Takmir Masjid, dan tidak ada yang bisa menjelaskan. Ini sekelumit kisah dari Masjid bersejarah itu. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H