Kalau biasanya sejarah disajikan dalam himpunan huruf-huruf yang sulit untuk dibunyikan, Film Guru Bangsa Tjokroaminoto berhasil menyajikan kalimat sejarah yang tereja. Forum pertemuan, diskusi rakyat kecil, pesta panen kapas, panggung pertunjukkan dan paduan suara yang menjadi bagian dari adegan di film ini seolah membawa kita pada situasi zaman di masa itu yang otentik, yang ngangenin, belum ter-univormisasi oleh globalisasi seperti yang terjadi saat ini.
Film ini tepat hadir di zaman yang sedang gelisah ini. Kita hari ini sangat butuh kalimat-kalimat sejarah, bukan sekedar bunyi-bunyian huruf sejarah. Kalimat yang bisa menjadi refleksi kita untuk tepat mengambil sikap atas persoalan yang menimpa kita sebagai bangsa saat ini. Ada banyak pesan yang bisa kita kontekstualisasi ke situasi masa kini, beberapa yang bisa saya tangkap diantaranya sebagai berikut :
1.Cemeti perjuangan. Kata “hidjrah” menjadi cemeti perjuangan Haji Oemar Said Tjokroaminoto, lakon utama di film ini. Pesan sederhana tetapi begitu menggetarkan dari Kiai-nya semasa kecil Tjokro. Pendidikan dan pengajian yang hanya transfer kognisi akan sulit untuk kita internalisasi. Kalau sulit diinternalisasi, boro-boro jadi cemeti perjuangan, ia hanya akan menjadi angin lalu yang akan tersapu dengan sendirinya di ruang memory jangka pendek. Bisakah di masa seperti sekarang ini kita menemukan pendidik atau guru ngaji, coach, inspirator atau apapun namanya yang ia sanggup menyuguhkan kepada kita pesan-pesan kebenaran yang bukan hanya berupa kata “pecel”, tetapi benar-benar sepiring “pecel”, lengkap dengan bumbu, aroma dan citarasanya?
2.Manusia pusaka. Dalam film, Agus Salim menuturkan bahwa Pemimpin Sarekat Islam (SI) ini disebut-sebut namanya oleh semua jamaah haji di Jeddah pada masa itu dengan sebutan Tjokroaminoto Jang Oetama. Ia diyakini sebagai satria piningit, raja tanpa mahkota yang dirindukan rakyat seguliran zaman setelah era Diponegoro. Bisakah di masa sekarang kita menemukan manusia keris, manusia pusaka sekaliber Diponegoro, sekaliber Tjokro? Sedangkan kita entah oleh instruksi siapa sudah bersepakat untuk menghapus anatomi sosial kita. Kita lebih memilih meyakini bahwa atas nama demokrasi semua adalah sama. Sambil diam-diam mengistimewakan yang berpeci putih apalagi kalau ia bergelar “Lc”. Kebesaran sebuah kepemimpinan tidak bisa ditemukan dari rapat-rapat seperti yang dilakukan Semaun, Darsono dan kawan-kawannya. Karena kebesaran kepemimpinan membutuhkan kearifan untuk mengenali anatomi sosial kita, mana manusia cangkul, mana manusia pedang, mana manusia keris pusaka.
3.Diuntungkan momentum dan dirugikan momentum. Soekarno bukan hanya diuntungkan mendapatkan putri pertama Tuan Tjokro. Ia bahkan mendapat keuntungan publishitas sejarah yang gegap gempita atas jasanya memproklamasikan pemerintahan sendiri di tanah Bumiputera yang dicita-citakan Tjokro puluhan tahun sebelumnya. Di sisi lain Semaun, Darsono dan kawan-kawan dihabisi gerakannya oleh Pemerintah Hindia Belanda karena perlawanan-perlawanan revolutif mereka. Kusno atau Soekarno muda setia pada Pak Tjokro gurunya, sedangkan Semaun tergesa-gesa dengan gagasannya sendiri, ia memilih meninggalkan rumah bersama mereka. Begitulah dalam gerak zaman yang demikian besar ini, kita hanyalah titik berbekal Basmallah yang ditakdirkan entah diuntungkan atau dirugikan oleh bergeraknya zaman. Bisakah di masa sekarang ini kita menemukan panutan tempat untuk ber-mursyid yang mampu membaca lebih luas tentang peta gerak zaman ini? Atau memang yang bisa kita lakukan hanya bereksperimen dengan setiap gagasan-gagasan perubahan yang “keren-keren” dengan terlebih dahulu me-list daftar keberhasilan revolusi di seantero jagat.
4.Antara hidjrah dan strategi. Timur tengah yang tidak aman saat itu, memaksa Abdullah dan kawan-kawannya dari Yaman dan negara-negara Timur Tengah lainnya menetap di Jawa. Kepindahan itu dalam rangka hijrahkah atau hanya sebuah strategi? Begitulah pertanyaan Tuan Tjokro kepada Abdullah sang penasehat “penjajah” saat diinterogasi di dalam penjara. Bisakah di masa sekarang kita menemukan pembeda dari pada pendatang Arab di negeri kita saat ini, antara mereka yang memang datang berhidjrah menuju kebaikan dan mereka yang sedang berstrategi dengan diam-diam meniti karir menjadi agen kampanye “anti-syirik” dan “anti-bid’ah” sesuai tugas terselubung dari kantor pusat new-kolonialisme?
5.Bangsa adalah rumah bersama. Tak ada bangsa bila tak ada rumah bersama. Tak ada rumah bersama bila tak ada rasa persaudaraan dari sebuah sistem hubungan human-interpersonal. Tak ada hubungan human-interpersonal bisa dibina bila masing-masing didalamnya tak mengerti nilai dan prinsip kemanusiaan. “Kemanusiaan!”, kata Koesno atau Soekarno muda saat pidato di sidang SI. Bisakah di masa sekarang, kita membangun rumah bersama berlandaskan nilai dan prinsip kemanusiaan? Ataukah yang bisa kita lakukan saat ini hanya saling menuntut. Rakyat menuntut pemerintah, pemerintah menuntut rakyat dan satu kelompok menuntut kelompok lainnya dalam rangka tegaknya nilai dan prinsip kalkulatif-transaksional atau kompensatif-kontraprestatif. Kalau hanya urusan hubungan jual dan beli seperti itu, kapan kita akan mulai membangun hubungan kemanusiaan?
Pemerintah Hindia Belanda disepakati sebagai musuh bersama dari Bangsa ini setelah ia berada dalam film. Hari ini belum bisa film-kan. Seabad yang lalu bisa jadi sama seperti hari ini, banyak yang tidak mengerti siapa musuh bersama sebenarnya, sehingga salah menentukan musuh, salah membidikkan anak panah dan terlambat memasang kuda-kuda. Penting bagi kita untuk mengetahui kebenaran sejarah yang sudah terjadi di masa lalu, akan tetapi lebih penting lagi bagi kita adalah menjadikan pengetahuan sejarah yang benar untuk memahami peta situasi kita di hari ini. Sehingga kita bisa mewariskan sejarah yang benar bagi generasi mendatang.[]
Agus Sukoco
Rizky Dwi Rahmawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H