Bank Syariah telah menyihir banyak orang untuk berramai-ramai meninggalkan Bank Konvensional. Salah satu dari sekian banyak yang berramai-ramai mendatangi Bank Syariah itu adalah saya sendiri. Dari empat rekening dan kartu ATM yang saya miliki keempat-empatnya itu dari Bank Syariah.
Ya, saya tidak mempercayakan penyimpanan uang saya di Bank Konvensional tetapi di Bank Syariah saja dengan alasan utama adalah sebagai seorang muslim riba wajiblah dihindari, salah satunya adalah riba dari bunga bank, bank syariah menawarkan solusinya, karena prinsip pengelolaan uangnya menggunakan sistem bagi hasil, bukan bunga.
Namun, setelah lima tahunan saya menjadi nasabah Bank Syariah, ada sejumlah pertanyaan yang membuat saya kadang berpikir ternyata menyimpan uang di Bank Syariahpun belum benar-benar nyaman. Mengapa? Ada beberapa sebab mungkin, pertama adalah karena bagi hasil yang saya terima tidak terasa besarnya. Akan tetapi, setelah saya telusuri banyak informasi, ternyata bagi hasil dari Perbankan syariah cukup kompetitif bila dibandingkan dengan bunga di perbankan konvensional, yakni 8-10%. Oh, ternyata tidak ada yang salah dengan persentase bagi hasil, karena yang membuat saya tidak merasakan besarnya bagi hasil adalah karena nominal uang yang saya tabung itu memang belum begitu besar.
Lalu apa kekurangnyamanan saya berikutnya? Kekurangnyamanan saya yang kedua adalah soal maraknya Perbankan Syariah setelah berdirinya Bank Muamalat Indonesia di tahun 1991 atas prakarsa MUI, ICMI dan beberapa wirausaha muslim Indonesia mendapat respon positif dari masyarakat. Efek latahpun bermunculan, semua perbankan susul menyusul membuat perbankan syariah.
Nah inilah yang membuat saya tidak nyaman, apakah bank syariah dikembangkan hanya untuk unsur perluasan (ekspansi) pasar dan peluang mendapatkan investor? kalau memang iya, berarti itu sudah bergeser dari misi awal yakni menyediakan layanan keuangan yang bersih dan transparant.
Indikasi ini semakin peka saya tangkap ketika saya beraudiensi dengan beberapa petugas bank syariah dan badan perkreditan rakyat syariah yang mengeluhkan bahwa kebanyakan penyaluran kredit masih mengecewakan karena kebanyakan masih untuk keperluan konsumtif, bukannya produktif.
Inilah koreksi untuk penyedia layanan perbankan syariah, koreksi yang bisa dilakukan dengan menggencarkan kegiatan-kegiatan pelatihan dan sarana edukasi lainnya untuk menyediakan sumber inspirasi dan pencerahan bahwasannya bank syariah bukan untuk ekspansi pasar semata didirikan, tetapi untuk menggeser budaya pengelolaan uang yang bersih dari riba dan berorientasi pada produktivitas uang yang ada.
Sekali lagi, bank syariah dibentuk jangan hanya untuk ekspansi nasabah dengan menjajakan aneka rupa produk tanpa berkontribusi mencerdaskan masyarakat. Adakanlah pelatihan dan event2 edukatif untuk membuat masyarakat sadar untuk bersih dari riba dan mengutamakan uang untuk produktivitas, investasi ketimbang sekedar keperluan konsumtif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H