Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *) Ada dua fenomena yang menarik untuk dikaji pada pentas politik nasional beberapa bulan terakhir. Pertama, perdebatan-perdebatan politik antara kubu pendukung dan kritikus pemerintah pada rapat Pansus Century beberapa waktu lalu, yang kemudian membawa beragam isu seputar lingkar kekuasaan Presiden. Kedua, respons dan sikap presiden yang begitu defensif dan terkadang bernada keluhan dalam menghadapi berbagai dinamika politik, salah satunya terlihat dari pelbagai pidato presiden ketika menghadapi berbagai demonstrasi dan menghangatnya konstelasi politik nasional. Dua fenomena tersebut mengindikasikan jelas bahwa struktur politik Indonesia masih menempatkan Presiden dalam posisi yang sakral, seakan-akan tidak boleh dipersalahkan dan harus dibela dalam kondisi apapun. “Neo-Patrimonial State" Apakah di alam demokrasi, kondisi seperti ini dianggap wajar? David Brown (1996) memperkenalkan istilah neo-patrimonial state untuk menganalisis pola relasi kekuasaan yang diwarnai oleh hubungan patron-klien antara penguasa dengan elit-elit sekitarnya. Ketika sebuah rejim otoriter muncul, menurut Brown, pola relasi kekuasaan akan menempatkan penguasa sebagai patron politik, dan elit-elit lingkar kekuasaannya sebagai klien yang diberi kuasa. Ini terjadi pada raja-raja kuno nusantara dulu Penelitian Brown di Indonesia pada era Orde Baru memperlihatkan kecenderungan tersebut. Brown melihat sentralitas figur Soeharto yang bertindak sebagai patron politik untuk melindungi kepentingan oligarki di sekelilingnya. Senada dengan Karl D. Jackson (1987), Brown juga melihat birokrasi sebagai patron utama dalam lingkar kekuasaan Soeharto. Itulah yang disebut oleh Brown sebagai neo-patrimonial state. Negara yang diwarnai oleh kuasa oligarkis dan nuansa patron-klien ini menjadi salah satu karakter khas rejim otoriter, dan terbukti ketika Orde Baru runtuh, pola hubungan kekuasaan pun berubah dan tidak lagi menempatkan birokrasi sebagai patron sentral. Lantas, apakah hal tersebut juga terjadi di era Presiden Yudhoyono? Tentu saja, kita tak bisa terburu-buru menyimpulkan hal demikian. Di satu sisi, demokrasi menang telah menuju pada sebuah kutub dimana terjadi institusionalisasi kekuasaan. Untuk menyampaikan aspirasi, difungsikan Dewan Perwakilan Rakyat dan berbagai lembaga. Sektor publik dibuka total untuk menyampaikan aspirasi masyarakat. Demokrasi telah terlembaga dalam ruang-ruang yang dapat diakses oleh masyarakat. Di sisi lain, telah terjadi kartelisasi dalam proses demokrasi. Kemenangan SBY-Boediono yang juga diikuti oleh kemenangan partai pendukungnya telah mengubah wajah politik Indonesia. Sisi positifnya, pemerintahan yang dibentuk akan lebih stabil. Akan tetapi, sisi negatifnya kerap muncul yaitu munculnya satu kelompok yang memimpin dan mengatur jalannya pemerintahan, yang juga diikuti oleh politik “rangkul” kepada lawan-lawan politiknya. Terjadi elitisasi kekuasaan. Akibatnya, personalisme dan lingkar-lingkar elit baru bermunculan di sekeliling Presiden. Fenomena ini dipotret oleh Robert Michels (1915) sebagai “hukum besi oligarki” yang diwarnai oleh personal rule di sekeliling ruang kekuasaan. Kendati hal ini adalah sebuah “hukum besi” dalam politik, Hal-hal semacam ini rawan terhadap munculnya gelombang otoritarianisme baru, jika tidak disadari oleh Presiden. Proses-proses seperti inilah yang menyebabkan jabatan Presiden menjadi begitu penting. Menurut penulis, untuk menghindarkan Indonesia pada jurang oligarki kekuasaan yang kontraproduktif terhadap iklim dan alam demokrasi, perlu adanya “desakralisasi” jabatan Presiden, atau menjadikan posisi seorang Presiden setara dengan rakyatnya tanpa jurang pemisah. Mendesakralisasi Presiden Untuk itu, ada beberapa cara yang mesti dipikirkan untuk membuat jabatan Presiden tidak sakral, tetapi juga tidak mengurangi kewibawaan presiden. Penulis menawarkan beberapa jalan. Pertama, membuka ruang-ruang dialog dengan massa di akar rumput atau para pengunjuk rasa yang menentang kebijakan Presiden. Ruang dialog ini penting untuk membuka komunikasi dua arah, serta berguna untuk memuaskan dahaga publik yang resah dengan kebijakan. Tindakan komunikatif dalam teori Jurgen Habermas patut dibaca dalam praksis bentuk kebijakan oleh pemerintah. Kedua, memutus lingkar-lingkar elit kekuasaan yang tertutup. Salah satu karakter oligarki adalah adanya sekelompok pihak yang menguasai untuk kepentingan tertentu. Dengan diputusnya elit-elit kekuasaan, akan ada keterbukaan kepada masyarakat untuk menilai kebijakan, juga pandangan yang lebih objektif untuk memandang kebijakan yang telah dibuat. Ketiga, diputusnya lingkaran elit harus diimplikasikan kepada dibukanya ruang-ruang partisipasi kepada pihak-pihak lain untuk mengkritisi, memberi masukan, dan bersama-sama berkontribusi untuk negara. Ruang-ruang partisipasi ini dapat dibuka melalui sarana-sarana komunikasi publik yang ada, agar kritik masuk dan dapat direspons secara terbuka pula. Inilah yang dimaksud oleh Jurgen Habermas sebagai public sphere, atau dalam praksis bahasa FB Hardiman, “demokrasi deliberatif”. Dengan demikian, ketika posisi Presiden tak lagi sakral, proses demokratisasi dapat berjalan lebih lancar. Maka, jadikan Presiden seorang rakyat biasa, dan beri ia posisi yang proporsional sebagai pemegang mandat rakyat. Bukankah presiden adalah rakyat biasa, dan akan kembali pada rakyat pula? *) Mahasiswa Fisipol UGM Angkatan 2008 [caption id="attachment_178194" align="alignleft" width="300" caption="Istana Presiden RI"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H