seni rupa tahun 1970an dari Gendingan, Solo yang disebut dengan gerakan "kepribadian apa?"
Salah satu gerakanAlasan tersebut dilakukan untuk dapat berkamuflase hingga pada akhirnya nama gerakan tersebut diganti menjadi "pipa". Di dalam katalog seninya pun, digunakan nama "pipa" dan memberikan simbol pipa yang sebenarnya.Â
Gerakan "pipa" ini terdiri atas tujuh orang perupa diantaranya Bonyong Munni Ardhi dan Mohammad Kholid. Para eksponen "pipa" beberapa masih hidup dan beberapa telah menjadi kawan tanah pekuburan.Â
Kegiatan yang dilakukan gerakan "pipa" saat ini adalah berbagi informasi, diskusi masalah sosial hingga membahas isu mengenai seni (film, seni rupa, musik, dan lainnya yang berhubungan dengan musik).Â
Seni telah membawa gerakan ini ke dalam sebuah ranah berkesenian yang bebas. Kala itu ketertekanan sosial dan politik tidak menghambat semangat berkesenian mereka.Â
Menjadi pelaku seni pada masa awal-awal orde baru harus berhadapan dengan suasana represif sosial dan situasi politik yang agak panas sedang mengerumuni kehidupan masyarakat maupun lingkungan akademisi, termasuk di kampus.Â
Mohammad Kholid kini bergiat menjadi redaktur seni budaya di majalah Tempo, sejak tahun 1979 ketika pada masanya beliau selalu menjadi bagian yang mengurusi humas dalam rangka meminta izin penyelenggaraan pameran.Â
Tidak jarang beliau bersama kelompok "pipa" mendapatkan teguran dari pihak berwajib terkait penyelenggaraan pameran, baik masalah konten maupun pelaksanaannya. Mohammad Kholid rasanya menjadi orang yang tidak pernah berkesenian secara utuh karena hal tadi.Â
Berbeda dengan Mohammad Kholid, Bonyong Munni Ardhi menjadi sosok sentral dalam pergerakan ini. Selain sebagai sosok yang dituakan, Bonyong menjadi penginspirasi bagi perkembangan seni di Indonesia terutama bagi perkembangan seni rupa modern yang mengarah pada seni instalasi. Keaktifan gerakan ini dalam berdiskusi sehingga sering melahirkan ide-ide baru, dewasa ini istilahnya yaitu out of the box. Ketika itu tahun 1979, seorang Bonyong melakukan sebuah gebrakan baru dalam dunia seni. Bonyong melakukan seni instalasi -- padahal waktu itu seni yang dilakukan Bonyong dianggap bukan seni oleh dosen seninya -- di Pantai Parang Teritis. Bonyong memasang line art cukup panjang melebihi ukuran 10 meter, membentang di pesisir pantai. Konsep karya itulah yang kemudian di akhir-akhir tahun 80-an menjadi populer dengan sebutan seni instalasi. Karena gebrakan pemikiran itulah sebenarnya Bonyong dkk. telah melakukan pembaruan dalam seni rupa, tepatnya sejarah seni rupa di Indonesia.Â
Gerakan "pipa" ini merupakan sebuah gerakan yang sangat berpengaruh bagi perkembangan seni di Indonesia. Kehadirannya di Bandung dan Yogyakarta menjadi bukti pengaruhnya di bidang seni rupa, apalagi Yogyakarta yang saat itu sedang dalam tahap pembentukan kota budaya menjadi basecamp pameran bagi gerakan ini. Contoh lain, di Bandung ketika seorang dewan mahasiswa ITB mengundang "pipa"untuk pameran di kampus (walaupun gagal pameran) menjadi bukti keberpengaruhan gerakan ini bagi lingkungan seni di tahun 70 hingga 80-an.Â
Semangat yang ditularkan oleh gerakan ini setidaknya dapat menginspirasi kaum muda dalam berkesenian, terutama seni rupa. Ketertekanan lingkungan masa itu membuat kegiatan seni bagi gerakan ini semakin memanas dan karena terjepit akhirnya meledak. Pernah suatu saat ketika hendak menggelar pameran di Yogyakarta. Bonyong dkk. Dilarang menggelar pameran karena tidak ada izin dari kepolisian setempat. Akibatnya mereka tidak jadi pameran tetapi bukan diam saja. Bonyong dkk. Memberikan nampan makanan kepada polisi sebagai tanda terima kasih. Sang polisi membuka nampan yang tertutup tersebut. Ketika di buka ternyata isinya dalah tai anjing. Keren!