Mohon tunggu...
Rizki Wardhana
Rizki Wardhana Mohon Tunggu... Content & Digital Activation -

Freelance Music Journo & Free Thinker | Semper Fidelis | Feel free to contact me rizwar17@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Cerita di Balik Perundingan Helsinki: Ketika Ombak Membawa Perdamaian

3 Februari 2015   04:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:55 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1422886014239930166

[caption id="attachment_349125" align="aligncenter" width="480" caption="OMBAK PERDAMAIAN: INISIATIF DAN PERAN JK MENDAMAIKAN ACEH"][/caption]

Terhitung 10 tahun sudah bencana alam maha-dahsyat tsunami terjadi di Aceh dan sekian lama itu pula warga Aceh mencoba bangkit dari masa-masa kelam tersebut. Kini warga Aceh sudah tak dirundung sedih berkepanjangan lagi, mereka telah menjalani kehidupan seperti biasa kembali. Dalam buku berjudul Ombak Perdamaian: Inisiatif dan Peran JK Mendamaikan Aceh yang ditulis oleh Fenty Effendy, peristiwa tsunami Aceh diulas dengan sebagaimana mestinya. Penulis menempatkan latar detik-detik pasca tsunami hingga tahap rehabilitasi dan rekonstruksi sebagai bridging menuju perundingan perdamaian di Helsinki. Kedua pokok cerita tersebut tak terlepas dari peran besar seorang Jusuf Kalla (JK).

Meskipun buku tentang Aceh pasca Tsunami sudah sangat banyak, namun kehadiran buku Ombak Perdamaian seolah melengkapi karya-karya sebelumnya. Di Ombak Perdamaian, pembaca bisa mengetahui behind the scenes Perundingan RI-GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Helsinki secara lebih ringan. Penulis menempatkan figur utama yakni JK secara proporsional, tidak terlalu mendominasi tapi ketika mencapai klimaks cerita, JK hadir sebagai problem solver elegan dan taktis.

Permainan waktu yang dilakukan oleh penulis untuk menjelaskan kronologi bagaimana Aceh melalui banyak proses untuk menuju perdamaian menjadi salah satu khas di buku ini. Jalan panjang Aceh untuk menjadi merdeka seutuhnya dalam NKRI dituliskan dengan begitu mengalir, tanpa harus membuat sulit pembaca atau harus membuka file-file lama tentang Aceh. Beberapa ‘ledakan’ di setiap bab mampu membuat pembaca penasaran akan bagaimana perjuangan Pemerintah mempertahankan Tanah Rencong dari upaya disintegrasi.

Atas mandat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, JK membentuk tim inti yang menjadi tim perunding RI dengan GAM. Layaknya pelatih sepakbola professional, JK memilih pemain handal seperti Widodo AS, Hamid Awaludin, Sofyan Djalil, Farid Husain, Usman Basya dan I Gusti Agung Wesaka Puja untuk menghadapi laga big match di Helsinki. Pendekatan soft-power yang diterapkan oleh tim perunding Republik Indonesia (RI) mampu membuat lunak para pemimpin GAM yang awalnya meminta kemerdekaan.

Dari sisi GAM, penulis tidak terjebak dalam tendensi menghakimi, bahkan penulis menempatkan pemimpin tertinggi GAM, Hasan Tiro, sebagai sosok penuh wibawa dan sangat dihormati di Aceh. Tentunya terlepas dari sikap kontroversialnya membentuk gerakan ekstrimis bernama GAM.

Salah satu tim perunding RI, Farid Husein, menggunakan diplomasi ‘unik’ dan lobi-lobi non formal untuk melunakkan hati GAM. Farid rela mengurusi akomodasi pihak GAM seperti membelikan air minum dan kebutuhan makanan. ‘Diplomasi toilet’ pun digunakan oleh Farid, kerap Farid menyusul ke kamar kecil ketika melihat delegasi GAM masuk ke sana. Farid berdiskusi dengan petinggi GAM, Malik Mahmud, sembari memperlihatkan fotonya dengan kakak kandung dan anak bungsu Malik yang sudah lama tak bertemu. Cara cerdas Farid tersebut seketika membuat Malik begitu emosional.

Rekan dari Farid yakni Hamid Awaludin juga pintar menerjemahkan taktik dari JK. Dengan latar belakang hukum yang ia miliki, kecakapan saat perundingan kadang menjadi begitu mudah baginya. Farid dan Hamid memang sudah banyak makan asam garam untuk perundingan, konflik Poso dan Maluku jadi saksi bagaimana keduanya menyelesaikan pertikaian di dua wilayah timur Indonesia tersebut.

Meski berpengalaman, tak menjamin perundingan lancar. Di beberapa sesi perundingan, sama sekali tak ada titik temu. Marttti Ahtisaari, pemimpin Crisis Management Initiative (CMI) yang didaulat sebagai mediator pun sempat terbawa emosi. “Jika Anda tetap tidak mau melupakan ide dan pembicaraan tentang kemerdekaan, lebih baik Anda meninggalkan tempat dan pertemuan ini. Tak ada alasan untuk berdiskusi dengan Anda semua. Anda hanya membuang-buang waktu saya. Namun sebelum Anda pergi, saya ingin mengingatkan bahwa mimpi Anda untuk merdeka tidak akan pernah kesampaian,” tutur Martti. Ketegasan Martti membuat dialog bergerak ke depan.

Kemajuan yang terjadi di Helsinki mendapatkan tekanan dari dalam negeri. Para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pengamat politik dan pengamat hukum internasional menuntut agar Hamid dkk kembali ke Indonesia secepatnya karena perundingan Helsinki dianggap buang-buang waktu, membahayakan keutuhan Indonesia dan hanya menguntungkan GAM karena menaikkan posisi tawar GAM. Namun, Pemerintah tetap berprinsip untuk terus melanjutkan proses perundingan.

Memasuki putaran keempat perundingan di akhir Mei 2005, delegasi RI datang dengan optimisme tinggi. Namun, kehadiran penasihat politik GAM, Damien Kingsbury, membuat buyar ekspektasi positif dari delegasi RI. Damien mengungkapkan praktik pemerintahan Indonesia adalah totalitarian atau sama saja dengan Nazi. Pernyataan kontroversial Damien membuat Hamid meradang. “Amat menggelikan melihat sosok Profesor Kingsbury. Anda itu bukan pihak yang bernegoisasi. Anda hanyalah penasihat GAM. Sekali lagi, bukan pihak. Artinya, hasil pembicaraan hanya mengikat para pihak yang mencapai kesepakatan. Ini rumus universal. Semestinya saya tidak mengajari lagi Anda pelajaran dasar ini,” tegas Hamid.

Setelah melalui banyak putaran perundingan, akhirnya kesepakatan antara kedua pihak tercapai, diantaranya adalah amandemen Undang-Undang (UU) tentang otonomi khusus Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), membuat Pemerintahan Aceh yang baru dan pembentukan partai lokal. Untuk perihal Hak Asasi Manusia (HAM), Pemerintah Pusat akan membentuk Pengadilan HAM di Aceh. Mengenai keamanan, Pemerintah Indonesia harus menarik mundur seluruh unsur polisi dan militer dari Aceh.

Adalah Memorandum of Understanding between The Government of Indonesia and Free Aceh Movement (Nota Kesepahaman antara Indonesia dan GAM), sebuah naskah bersejarah yang ditandatangani oleh kedua delegasi di Smolna, The Government Banquet Hall, Etalaesplanadi 6,di pinggir kota Helsinki. Delegasi RI pun tersenyum lega, tugas mulia mereka akhirnya selesai sesuai tujuan,mereka dengan skill individu masing-masing, menjalankan perintah JK dengan baik, tanpa egosentrisme atau merasa hebat sendiri. Satu derap langkah demi perdamaian. 15 Agustus 2005 akhirnya perundingan selesai dengan kesepakatan RI-GAM berdamai. Koordinator Badan Pekerja Kontras Usman Hamid menulis di harian Media Indonesia: “Momentum tsunami telah membawa Aceh ke tempat tertinggi dalam mengukur solidaritas kemanusiaan sesama anak bangsa,”.

Di akhir buku dalam Epilog: Jalan Kemanusiaan, penulis seolah seperti membuat credit title dalam sebuah film, menceritakan kekinian para tokoh sembari memberi selipan pesan dibalik buku Ombak Perdamaian ini. Adalah penting kehadiran buku ini dalam sejarah Aceh, refleksi 10 tahun menjadi momentum berharga bagaimana tsunami Aceh seperti membawa pesan tersirat agar Aceh segera mendapatkan perdamaian. Dalam buku ini, dijelaskan juga bagaimana strategi perundingan jenius dari seorang JK yang mampu membuat perundingan yang diidentikan dengan forum tendensius berubah sebagai forum menyentuh sisi kemanusiaan. JK dengan sangat sabar memberi panduan dan masukan bagi delegasi RI yang sedang berunding, meskipun terdapat perbedaan waktu Jakarta-Helsinki, dari larut malam hingga dini hari JK memberikan konsultasi kepada Hamid Awaludin dkk. Mantan Menteri Pertahanan GAM Zakaria Saman mengatakan, “Seorang keturunan Bugis, Jusuf Kalla, pendamai Aceh. Yang lain pandai bicara saja. Saya tahu sejarahnya … Kalau tak ada beliau yang mendamaikan, tak dapat mimpi Aceh damai,”.

Aceh begitu berharga dalam keutuhan NKRI, Aceh adalah bagian dari perubahan besar Indonesia, para warga Aceh telah melewati banyak ujian hidup, perdamaian adalah imbalan yang serupa. Melalui buku ini, kita diingatkan akan mahalnya sebuah perdamaian. Beurijang raye'k muda seudang, tajak bantu prang ta bela Nanggroe. Wahe aneuk bek ta duek le, beudoh sare ta bela bangsa. Bek ta takot keu darah ile, adak pih mate po ma ka rela (Cepatlah besar anakku sayang agar jadi seorang pemuda, supaya bisa berperang membela Nanggroe. Wahai anakku, janganlah duduk dan berdiam diri lagi, mari bangkit bersama membela bangsa. Janganlah takut jika darah mengalir, walaupun engkau mati, ibu sudah relakan — Dikutip dari lagu Aceh berjudul Dododaidi).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun