Alkisah seonggok batu dan buih air,
Sekali batu tetap batu, dasar batu! Biar dibom, hancur sih, Jadi serpihan, ...tetap, batu.
Biar berkilau, kristal sekalipun, tetap, batu.
Biar terkikis, terseret aliran, Terberai dalam serbuk, tetap batu.
Bisa sih berganti rupa, diolah dan menjadi penopang, Tetap, batu, sekali batu, tetap batu!
Alam sudah menentukan wujud sesuai fungsi dan tempatnya, Bila batu tak mau tersenyum, Jangan menghadang riak dengan tembok, Riak pun tak mau membatu,
Bila batu merasa raja pegunungan, Riak memiliki hati yg mengalir, Semesta sudah cukup ramah menyediakan pesisir untuk bercengkrama, Jadikannlah itu sebuah memori yang baik,
Saat matahari terbit, Pasang menjadi surut, Bahkan ilmu pasti sanjunganmu sudah membuktikan arah gravitasi, Tak kan mungkin riak berpasrah hati dalam kungkungan tembok batu, Seperti magnet, Riak kan mengalir searah gravitasi, Mengalir mengisi aliran demi aliran, Mengikuti lekuk demi lekuk, Menikmati bintang dan matahari, berkompaskan bulan sebagai panduan, Gaia terlalu menyenangkan untuk tak dinikmati,
Hidup cuman sekali!
Kurasa, angin pun sudah cukup muak, Burung merpati pun sudah mengangkat bendera putih bertuliskan, “Sudahlah”, Bila tak berniat mengambil sirip untuk mengambang, Tak usah dipaksakan, Riak pun tak pernah memaksa dari awal, Kamu memilih untuk menjadi batu, Maka jadilah batu yg baik,
Tapi, itu pun kau tak bisa, Kau tetap saja menyusun kerikilmu untuk mengalihkan aliran riakku,