Warna pink sering kali dianggap sebagai lambang feminitas dalam budaya populer saat ini. Namun, hubungan ini tidaklah benar sebaliknya, ia merupakan hasil dari konstruksi sosial yang terus berkembang sepanjang sejarah. Dalam artikel ini, kita akan menelusuri asal-usul hubungan antara warna pink dan gender, bagaimana persepsi sosial tentang warna ini telah berubah, serta bagaimana perubahan tersebut mencerminkan pergeseran norma-norma sosial.Â
Sejarah Awal Warna Pink
Pada abad ke-18 dan ke-19 di Eropa, pink tidak memiliki hubungan khusus dengan satu gender tertentu. Sebaliknya, pink sering dipandang sebagai versi lembut dari merah, yang melambangkan kekuatan dan keberanian. Oleh karena itu, warna pink sering dihubungkan dengan laki-laki muda, sedangkan biru dianggap lebih sesuai untuk perempuan karena warna biru memiliki karakteristik yang lembut dan tenang.
Namun, perubahan mulai terjadi pada awal abad ke-20. Dengan kemunculan industri tekstil massal dan pengembangan pemasaran modern, warna mulai digunakan untuk mengelompokkan produk-produk bayi dan anak-anak. Dalam konteks ini, hubungan gender dengan warna pink dan biru mulai terbentuk, meskipun hal tersebut belum sepenuhnya konsisten.
Pink sebagai Simbol Feminitas
Penghubungan warna pink dengan perempuan mulai menjadi dominan pada pertengahan abad ke-20, terutama di negara-negara Barat. Perubahan ini banyak dipengaruhi oleh kampanye pemasaran dan media populer yang memperkuat stereotip gender. Sebagai contoh, produk anak perempuan seperti mainan, pakaian, dan perlengkapan sekolah sering kali dirancang dengan warna pink, menekankan aspek "feminisme".
Pada saat yang sama, biru bertransformasi menjadi simbol maskulinitas. Asosiasi ini semakin dikuatkan oleh budaya populer, termasuk dalam film dan iklan, yang menciptakan pembagian warna yang tegas berdasarkan gender. Pembagian ini turut mendukung norma-norma tradisional yang mengharapkan perempuan berperilaku lembut, manis, dan feminin
Paoletti, yang menulis buku Pink and Blue: Telling the Boys from the Girls in America, menjelaskan bahwa anak perempuan memakai warna biru sehubungan dengan Perawan Maria yang dianggap memakai banyak warna biru.
Kode gender untuk pink dan biru mulai berubah pada awal abad ke-20. Pada tahun 1930-an dan 1940-an, anak perempuan lebih sering memakai warna pink daripada anak laki-laki.
Greyser mengatakan ada banyak pendapat dari sejarawan tentang mengapa hal ini terjadi, tetapi teori yang berlaku adalah bahwa warna yang lebih gelap dikaitkan dengan maskulinitas karena seragam militer.Â
Pada tahun 1980-an warna pink hampir sepenuhnya dianggap sebagai warna perempuan. Pada saat itu juga mulai populer tes kehamilan USG yang membuat calon orang tua bisa mengetahui jenis kelamin janin mereka. Greyser mengatakan, perusahaan melihat ini sebagai sebuah peluang untuk memasarkan produk karena orang tua bersedia menghabiskan uang lebih banyak ketika mereka bersiap menyambut kehadiran bayi. Dari sini lahirlah pasar pakaian dan aksesori pink dan biru untuk menghiasi kamar bayi, dengan gagasan bahwa setiap warna eksklusif untuk jenis kelamin tertentu.Â
Pergeseran Pandangan Modern
Dalam beberapa dekade terakhir, pandangan terhadap warna pink mulai mengalami perubahan. Gerakan feminisme, kritik terhadap stereotip gender, dan kesadaran yang semakin meningkat akan pentingnya inklusivitas telah menantang asosiasi tradisional yang mengaitkan pink dengan feminitas.
Contohnya, pria yang mengenakan pakaian warna pink kini tidak lagi dianggap melanggar norma maskulinitas. Sebaliknya, pink sering digunakan sebagai simbol pemberontakan terhadap konvensi gender atau sebagai bentuk ekspresi individualitas.