Dunia Islam kembali di uji dengan keputusan kementrian komunikasi dan informatika-kemenkominfo, atas laporan yang telah dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme-BNPT, yang melaporkan sebayak 22 situs Islam, yang ada di negara ini, dianggap menyebarkan paham radikalisme. Berdasarkan surat keputusan Nomor : 149/K.BNPT/3/2015 tentang situs/website radikal. Ke-22 situs tersebut adalah, arrahmah.com, voa-islam.com, ghur4ba.blogspot.com, panjimas.com,  thoriquna.com, dakwatuna.com, kafilahmujahid.com,  an-najah.net, muslimdaily.net, hidayatullah.com, salam-online.com, aqlislamiccenter.com, kiblat.net, dakwahmedia.com, muqawamah.com,  lasdipo.com, gemaislam.com, eramuslim.com, daulahislam.com, mshoutussalam.com, azzammedia.com, Indonesiasupportislamicstate.blogspot.com
Keputusan yang sangat tiba-tiba, tanpa sebuah penjelasan yang memadai, seolah-olah menutup kran transparansi, yang telah dirintis di negara ini. Ketakutan yang besar pemerintah, menyikapi isu-isu radiakalisme, menjadi sebuah keprihatinan tersendiri. Apa yang telah dilakukan oleh pemerintah saat ini, mengingatkan kita pada zaman rezim orde baru, Pada awal kekuasaan orde baru, dibawah kendali Presiden Soeharto, masyarakat dijanjikan oleh pemerintah akan adanya kebebasan dalam berpendapat, Kala itu masyarakat bersuka cita, dengan janji-janji yang diberikan oleh pemerintah, namun janji tinggalah janji yang tidak berbanding lurus dengan implementasi yang ada. Dunia pers yang seharusnya bersuka cita menyambut keputusan tersebut, malah sebaliknya. Pers mendapat berbagai tekanan dari pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar pemerintah. Semua media yang tetap nekad memberitakan keburukan pemerintah, siap-siap, mendapatkan peringatan keras, dan akan siap-siap mendapati SIUP yang akan dicabut, jika tidak mengindahkan peringatan pemerintah. Kedudukan pers saat itu benar-benar mandul, peran dan fungsinya sebagai pengawas pemerintah dan pembela serta mendukung masyarakat, hanyalah theory yang tidak terealisasi.
Penutupan situs-situs Islam, seolah-olah mengingatakan kita pada peristiwa Malari pada 15 Januari 1974, yang mengakibatkan kerusuhan. Pemerintah beranggapan pers turut bertanggung jawab atas peristiwa ini karena mereka jugalah yang memanaskan situasi politik lewat pemberitaan mereka. Oleh karena peristiwa itu, 12 surat kabar dibredel, yaitu:Â Harian Nusantara, Harian KAMI, Harian Indonesia Raya, Harian Abadi, Harian The Jakarta Times, Harian Pedoman, Harian Suluh Berita, Minggua Wenang, Mingguan Pemuda Indonesia, Majalah Ekspres, Mingguan Mahasiswa Indonesia dan Mingguan Indonesia Pos. Sejak saat itulah, media sangat dikontrol ketat oleh pemerintah.Kemudian pembrdelan majalah
Peran media, terutama media Islam saat ini memang di perlukan. Selain memberikan informasi aktual terkait perkembangan Islam, tempat untuk menuntut ilmu, namun juga bisa berperan sebagai alat penyeimbang pemerintahan dalam melakukan cross and balance. Peran media Islam adalah sebagai media pemberi masukan atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang keluar atau tidak sesuai dengan Islam dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap rakyat. Pemblokiran media Islam jelas akan memberikan dampak yang sangat besar terhadap Islam dan umat Islam..
Pemblokiran terhadap media islam, tentu menjadi perenungan kita bersama, apa yang telah dilakukan pemerintahan kita saat ini bukanlah langkah yang bijak. Kebebasan berpendapat, menyuarakan ide gagasan dan fikiran, sudah jelas, diatur dalam undang-undag yang telah dibuat oleh pemerintah di Pasal 5ayat (1), Pasal 20 ayat(1), dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945.
Atas kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah, dengan melakukan pemblokiran terhadap situs Islam, memang mengudang reaksi keras dari para netizen,. Jelas sekali kebijakan yang telah dilakukan sangat merugikan golongan agama tertentu. Langkah bijak yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan memberikan keterangan secara terbuka dan transaparan kepada masayarakat terkait dengan kebijakan yang sangatmenimbulkan kontoversi. Keputusan pemerintah yang bersifat SARA, ini harus disikapi secara bijak oleh masyarakat. Pendiri pondok pesantren Darut Tauhid K.H Abdullah Gymanstiar, meminta masyarakat untuk menjaga perdamaian, mengikut sertakan ulama dan pemilik situs sebagai penengah dalam permasalahan tersebut, seruan tersebut dilakukan melalaui akun twitter pribadi K.H Abdullah Gymanstiar, harapanya adalah dengan disikapi secara bijak , maka potensi perpecahan yang terjadi masayarakat tidak akan meluas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H