Semua yang termuat dalam tulisan berikut adalah pendapat pribadi
Beberapa bulan terakhir saya tertarik menonton film klasik Al Pacino, mulai dari Scarface, Carlitos Way, Scent of Woman, sampai yang lebih lama Trilogi The Godfather. Dari beberapa film yang ia perankan saya kagum terhadap karakter yang Al Pacino mainkan, ketika saya mencoba untuk belajar memahami konteks tahun film dibuat, bertambahlah kekaguman akan itu.
sumber :the guardian
Kali ini saya ingin menulis tentang kesan terhadap salah satu kutipan dari akhir Trilogi The Godfather. “Sekalipun merendam sekian lama, batu tidak akan mengizinkan air meresapinya” ungkap seorang pastor yang bercakap dengan Michael Corleone (Al Pacino) dalam film tersebut. Benar juga, selama apapun direndam dalam air batu hanya akan basah namun air tidak akan meresapinya. Maksud dari percakapan tersebut adalah tentang Katolik Roma yang telah lama menjadi agama dan tradisi di Italia, tetapi tidak diyakini yang hidup dalam keseharian.
Melihat dari sudut pandang negatif tentang batu, berapa banyak orang mengaku beragama tetapi menghidupi cara yang lain pada kesehariannya? Dalam konteks ini menjadi batu pada lingkungan yang baik menjadi kurang berarti. Mungkin kita lahir, besar bahkan hidup dalam lingkungan yang memiliki kehidupan agama yang baik namun hati kita keras tidak bisa diresapinya hanya basah pada permukaan. Pada konteks hidup yang demikian akan lebih elok jika kita belajar menjadi spons kering yang siap belajar menjadi manusia yang baik.
Dari sudut sebaliknya, berapa banyak orang yang amat membenci pekerjaanya tetapi tetap mengusahakan hasil yang baik dan maksimal? Saya tidak setuju dengan penilaian bahwa semua orang bekerja dengan baik tetapi tidak disertai kegembiraan mengerjakannya adalah bentuk kemunafikan. Saya lebih senang menggunakan istilah ‘perjuangan’ melawan keburukan dalam diri untuk mengerjakan sesuatu yang baik.
Perlawannya adalah terhadap kemalasan, hati yang enggan bekerja dan kenyamanan diri. Alih-alih percaya teori tabularasa milik John Locke tentang ‘manusia terlahir sebagai kertas putih’ (seperti lagu band Padi juga) saya justru meyakini kebalikannya. Sejak lahir manusia memiliki modal yang keburukan dalam dirinya. Sederhana saja, tanpa ada yang mengajari sedari kecil kita telah mahir untuk malas dan egois. Itu contoh bagaimana modal buruk itu telah kita miliki sejak awal kita memasuki kehidupan.
Saya merenung, ternyata menjadi batu yang keras pada semua situasi dan konteks kehidupan bukanlah sebuah kebijaksanaan. Lantas pertanyaannya berubah menjadi, kapan kita harus menjadi batu dan spons? Saya percaya jawabannya selalu dinamis, butuh latihan kepekaan untuk menemukan keputusan kapan harus memilih menjadi batu atau spons.