Usai sudah perjuangan Evan Dimas dkk dalam usahanya menembus fase semifinal Piala Asia U 19 dan merebut tiket Piala Dunia U 20.
Harapan begitu besar kepada anak-anak muda yang belum genap berusia 20 tahun itu selesai hanya dalam dua pertandingan awal.
Persiapan sekitar setahun dengan puluhan laga ujicoba dari Tur Nusantara, laga di Timur Tengah, "ujicoba dadakan" di Brunei sampai usaha terakhir mengasah mental di Spanyol, semuanya hanya menghasilkan kegagalan yang membungkam semua harapan pecinta sepakbola tanah air.
Digadang-gadang sebagai generasi emas sepakbola Indonesia, timnas U 19 tidak mampu berbuat banyak menjawab harapan jutaan supporter Indonesia.
Mereka yang tidak mampu atau mungkin kita yang terlalu berharap banyak pada anak-anak muda ini?
Saya mencoba mengingat kembali sewaktu saya berusia 19 tahun seperti Evan Dimas dkk.
Saat saya seusia mereka, saya tidak merasakan beban sebesar yang dipanggul anak-anak muda seusia saya di timnas U 19.
Paling banter saya hanya merasakan beban untuk kuliah dengan benar, segera lulus dan syukur-syukur bisa sukses mendapatkan gebetan yang cantik.
Jiwa muda saya lebih banyak menikmati kebebasan jauh dari pengawasan orangtua dan benar-benar bebas bertualang menemukan jati diri sebagai mahasiswa yang dipersiapkan untuk mendapatkan ijazah Sarjana sebagai bekal untuk mendapatkan pekerjaan.
Sangat jauh berbeda dengan beban yang dirasakan Ravi Murdianto, Evan Dimas, Ilham Udin dan teman-teman mereka di timnas U 19.
Jutaan harapan pecinta sepakbola Indonesia ada di pundak mereka.
Mereka seakan menjadi satu-satunya solusi meraih kejayaan dalam olahraga paling populer di tanah air ini.
Saya membandingkan penampilan timnas U 19 saat berlaga di piala AFF U 19 tahun 2013 yang mereka juarai, saat tidak banyak media yang menyorot aksi-aksi mereka.
Anak-anak muda ini bermain lepas tanpa beban.
Tidak peduli menang atau kalah, ada kegembiraan dalam permainan yang mereka tampilkan.
Melihat mereka saat itu, saya jadi ingat makna sepakbola untuk "bermain bola"...yah..bermain bola...ini hanya permainan maka bersenang-senanglah dengan bola itu.
Lalu ketika mereka sukses meraih gelar juara yang sudah puluhan tahun tidak pernah mampir di tanah air, euforia mulai tercipta.
Makin menjadi tatkala Evan Dimas dkk sukses menundukkan jagoan Asia Korea Selatan dengan permainan ciamik.
Publik menemukan harapan baru untuk merasakan kejayaan di Sepakbola, PSSI seperti mendapatkan sosok penyelamat atas kegagalan timnas yang ada selama ini...dan media menemukan selebriti baru untuk mengais pundi-pundi uang dari iklan dan rating tontonan.
Setahun yang penuh dengan sorotan media.
Sebelum mereka menjuarai AFF U 19, pernahkan kita mengetahui sepak terjang Evan Dimas dkk?
Masa-masa itu, rasanya tidak ada beban saat mereka berlari menggiring bola dan melakukan tembakan terbaik untuk mencetak gol.
Dan masa-masa sesudah euforia juara AFF U 19 penuh dengan sorotan media yang (mungkin) memberi pengaruh pada beban psikologis masing-masing pemain.
Setahun setelah momen emas di AFF U 19 itu, Ravi Murdianto mungkin merasakan ukuran gawang yang dijaganya menjadi lebih lebar dan tendangan ke arah gawangnya lebih sulit dimentahkan, Evan Dimas bisa jadi merasakan kakinya tidak seringan dulu lagi saat memberikan umpan terbaik kepada rekan-rekannya dan Ilham Udin merasakan kaki-kakinya dihinggapi jutaan beban pecinta sepakbola tanah air saat mencoba berlari kencang.
Terlepas dari kualitas permainan yang dianggap tidak berkembang, harus diakui bahwa beban yang ada dipundak anak-anak muda ini membuat mereka tidak mampu menampilkan kemampuan terbaiknya.
"kami merasakan gugup dan tertekan"
Itulah pernyataan pertama yang meluncur bersamaan permintaan maaf dari Evan Dimas, sang kapten saat dipastikan tersingkir dari turnamen.
Walau mungkin seharusnya ada pihak-pihak lain yang lebih wajib untuk meminta maaf karena tidak mampu merawat tim ini dengan baik dan tidak mampu mengembangkan bakat-bakat luar biasa dari anak-anak muda ini.
Bahwa Evan Dimas dkk sukses menjadi ikon baru sepakbola Indonesia saat menjadi juara AFF U 19, mereka meraihnya dengan cara terbaik untuk menjadi populer yaitu dengan menjadi juara.
Kepopuleran yang selanjutnya tidak ditangani dengan baik, salah manajemen.
Evan Dimas dkk mendadak jadi selebriti baru dan "secara rutin" muncul dalam tayangan tur Nusantara jilid satu dan dua...sudah seperti sinetron berseri.
Puluhan laga ujicoba disiarkan langsung atas nama rating tontonan...yang kemudian terbukti jadi cara terbaik untuk gagal disaat kita punya peluang bagus untuk berhasil.
Segalanya sudah terjadi, kegagalan sudah menjadi nyata.
Saatnya semua pihak mengevaluasi diri dan sungguh-sungguh memperbaiki diri dari kegagalan ini.
Jangan sampai kepedihan timnas senior saat ditaklukkan Malaysia di final AFF 2010 terulang kembali.
Saat itu semua pihak sepakat untuk belajar dari kegagalan tersebut...dan sayangnya semua itu hanya sebatas niat.
Apa yang terjadi pada timnas senior AFF 2010 berupa ketidakmampuan "menjaga timnas" dan eksploitasi media yang menjadikan pemain bak pahlawan (padahal belum memenangi gelar juara) dan berujung pada kegagalan menampilkan kemampuan terbaik terulang di adik-adik mereka, timnas U 19.
Mari belajar...kali ini benar-benar belajar untuk menjadi lebih baik.
Rizki Maheng
www.pengamatbola.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H