DKI Jakarta menghadapi tantangan serius terkait penurunan permukaan tanah (land subsidence) dan ancaman banjir rob. Giant Sea Wall, proyek tanggul raksasa yang diusulkan, disebut-sebut sebagai solusi untuk melindungi Jakarta dari ancaman tersebut. Namun, sejauh mana proyek ini memberikan dampak nyata? Apakah benar-benar menjadi solusi, atau justru memunculkan tantangan baru?
Berdasarkan data dari Badan Informasi Geospasial (BIG), penurunan muka tanah di Jakarta mencapai 1-15 cm per tahun, dengan wilayah Jakarta Utara sebagai daerah yang paling terdampak. Selain itu, laporan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menyebutkan bahwa sekitar 40% wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut.
Proyek Giant Sea Wall, yang disebut National Capital Integrated Coastal Development (NCICD), dirancang sebagai tanggul besar berbentuk seperti teluk buatan. Dengan anggaran yang diperkirakan mencapai Rp500 triliun, proyek ini tidak hanya melindungi Jakarta dari banjir rob tetapi juga menciptakan kawasan ekonomi baru di sekitarnya.
Namun, ada berbagai argumen yang mengkritisi proyek ini. Dari perspektif sosial, banyak masyarakat pesisir yang mengkhawatirkan bahwa pembangunan Giant Sea Wall akan menggusur permukiman mereka. Peneliti lingkungan dari WALHI menyebut bahwa proyek ini berpotensi memperburuk ketimpangan sosial, di mana masyarakat kecil justru menjadi korban pembangunan.
Dari sisi lingkungan, para ahli memperingatkan bahwa tanggul raksasa ini mungkin hanya solusi sementara. Sebagai contoh, Profesor Jan Jaap Bouma dari Universitas Wageningen mengingatkan bahwa tanpa memperbaiki tata kelola air dan penghentian eksploitasi air tanah, penurunan muka tanah akan terus berlangsung meskipun Giant Sea Wall telah dibangun. Jika ini terjadi, tanggul tersebut justru dapat menciptakan jebakan ekologis, di mana air yang masuk ke dalam wilayah Jakarta sulit dikeluarkan kembali.
Dalam teori pembangunan berkelanjutan, proyek infrastruktur besar harus memenuhi tiga pilar utama: manfaat ekonomi, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan. Jika salah satu pilar ini diabaikan, dampak jangka panjangnya bisa berbahaya. Al-Qur'an pun mengajarkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 205: "Dan apabila ia berpaling (dari kamu), dia berjalan di bumi untuk membuat kerusakan padanya dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kerusakan." Ayat ini mengingatkan kita bahwa setiap pembangunan harus memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat.
Giant Sea Wall memang menawarkan solusi ambisius untuk melindungi Jakarta dari banjir rob, tetapi keberhasilannya sangat bergantung pada keberlanjutan dan pendekatan holistik. Pemerintah perlu memastikan bahwa proyek ini tidak hanya sekadar proyek infrastruktur, tetapi juga mencakup pengelolaan air yang baik, pelibatan masyarakat lokal, dan perlindungan ekosistem. Tanpa hal-hal tersebut, Giant Sea Wall mungkin hanya menjadi tambal sulam yang berumur pendek.
Pertanyaan yang harus dijawab bersama adalah: Apakah kita membangun solusi untuk masa depan, atau justru menciptakan tantangan baru bagi generasi mendatang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H