Mohon tunggu...
Rizki Fujiyanti
Rizki Fujiyanti Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswi Universitas Pamulang

Rizki Fujiyanti, anak ketiga dari empat bersaudara. Hobi menulis sejak duduk di bangku SMP. Mahasiswi aktif Universitas Pamulang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pria Pengobar Semangat

22 Oktober 2014   22:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:05 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Seorang pria duduk di pelataran Balai Kota Bandung sambil menyeruput secangkir teh hangatnya. Gemericik hujan menemani lamunan. Beberapa cipratan air itu membasahi wajah. Ia termenung, memori bermain di pikiran laki-laki berusia empat puluhan itu.
Cuplikan-cuplikan masa kecil pria yang biasa disapa Agung itu terngiang. Saat-saat yang sangat indah ketika Bapak selalu ada di sampingnya.
*****
Agung saat itu masih berusia sebelas tahun. Ia memang memiliki cacat dari lahir namun semangatnya tinggi. Bocah itu menggerakkan dua tongkatnya cepat dengan secarik kertas di salah satu tangan. "Bapak!"
"Opo, Le?" Bapak keluar dan berdiri di depan pintu menyambut anaknya.
"Bapak, ini!" seru Agung seraya menyodorkan kertas tersebut.
Bapak memincingkan matanya saat membaca tulisan pada kertas itu agar terlihat jelas. Tiba-tiba pria itu terdiam lantas menatap Agung. "Kamu mau ikut, Le?"
Yang ditanya mengangguk pasti. "Bapak kan tahu aku sangat memimpikan bisa ikut lomba lari."
"Sini duduk dulu." Bapak duduk di sebuah balai kecil di teras rumah dan diikuti Agung. "Kamu tahu toh Bapak pasti khawatir?"
Agung menunduk. "Jadi Bapak juga mau meremehkan dan mengangap aku tidak akan sanggup mencapai garis finish seperti teman-temanku?" Nyaris saja air mata bocah itu tumpah.
"Bukan begitu, Le. Tapi ...," kata-kata Bapak terputus, "ya sudah. Bapak izinin kamu untuk ikut." Sebenarnya ada perasaan cemas menggelayut pada hati pria itu.
"Benar, Pak? Asyik!" Agung memeluk Bapak. "Terimakasih, Pak."
*****
Waktu berjalan cepat. Tak terasa hari perlombaan tiba. Bapak duduk di antara riuh penonton lainnya. Kedua mata yang menua itu menggambarkan dengan jelas rasa panik.
Dari kejauhan Agung nampak percaya diri dengan alat bantu berdiri yang terbuat dari kayu. Alat buatan Bapak itu terpasang di sepatunya dan memanjang berbentuk rangka hingga lutut. Ia menggerak-gerakkan kaki seraya melambaikan tangan ke arah Bapak dan dibalas dengan senyuman getir.
Suara pluit terdengar pertanda lomba akan dimulai. Semua peserta berjejer pada posisi masing-masing. Seorang pria memberi aba-aba dan saat bendera itu diangkat tinggi-tinggi, para peserta berlari mengerahkan kekuatan.
Di tengah keterbatasan Agung memimpin. Dengan sekuat tenaga ia berlari dan terus berlari demi mencapai garis finish pertama kali.
Melihat Agung, hati Bapak benar-benar tidak tenang. Beberapa kali ia mengganti posisi duduk pertanda cemas.
Salah satu baut pada alat bantu Agung terlepas membuat bocah itu kehilangan keseimbangan dan tersungkur. Beberapa peserta dan penonton tertawa.
Dengan cepat Bapak bangkit lalu melompati pembatas antara penonton dan lapangan. Beberapa petugas menghadangnya. "Dia anak saya!" Pria itu mendorong petugas yang menahan tubuh rentanya lalu berlari dan menggendong Agung.
"Pak, kakiku sakit, perih."
Bapak melirik ke lutut Agung. Betapa perih hatinya saat melihat darah segar mengalir di sana. "Tenang, Le. Ada Bapak di sini." Ia berlari membawa Agung hingga garis finish. Beberapa penonton bersorak kagum melihat kegigihan Bapak walaupun hal tersebut tidak akan membawa Agung ke kemenangan.
*****
Agung duduk di samping Bapak yang sedang menyerut bambu untuk membuat kandang ayam. Wajah bocah itu terlihat murung.
"Kenapa, Le? Masih ndak bisa menerima kekalahan?"
Agung hanya terdiam sambil mengayunkan kakinya. Ia menatap luka pada lutut yang masih basah.
"Ndak apa biar kalah yang penting bisa sampe garis finish. Kamu tahu ndak orang beruntung itu seperti apa? Bukan mereka yang punya harta banyak ataupun memperoleh kesuksesan tanpa mengalami kegagalan. Tapi orang yang mampu bangkit setelah gagal dan terus optimis menggapai mimpi," jelas Bapak.
Agung tetap bergeming. Matanya bergerak-gerak seakan memikirkan sesuatu.
"Jika merasakan kegagalan berulang-ulang maka ketika mencapai puncak, kamu akan menghargai kesuksesan tersebut. Ingat, Le, Allah selalu bersama hamba-Nya yang sabar. Terus berusaha dan berdoa supaya apa yang kita inginkan tercapai."
"Iyo, Pak." Agung tersenyum simpul. Semangat kembali berkobar pada hatinya.
*****
"Pak, maaf. Seminar sedikit lagi dimulai. Harap Bapak bersiap-siap." Seorang wanita menepuk pundak Agung, membuyarkan lamunannya.
Dengan berpegangan pada dinding, Agung bangkit lantas mengambil tongkatnya. Ia memandangi langit seakan ada guratan wajah Bapak di sana.
Pak, aku sekarang sudah sukses, berguna bagi banyak orang bahkan negara lewat buku. Aku harap Bapak bangga dan aku pun sangat bangga menjadi anak Bapak, batinnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun