Setelah generasi milenial menjadi sorotan, yang disebut sebagai Generasi Z adalah populasi berikutnya yang menjadi sorotan dalam beberapa tahun terakhir, populasi ini memiliki potensi kekuatan politik yang besar karena jumlahnya yang besar.Â
Lebih dari setengah populasi Indonesia didominasi oleh milenial dan Gen Z. Lembaga polling Indikator Politik memperkirakan hampir 60% pemilih yang memenuhi syarat pada tahun 2024 akan berusia di bawah 40 tahun. Hal itu merupakan peningkatan besar dari 40% pada pemilu 2019.
Populasi generasi Z ini, tidak hanya tumbuh dan berkembang di Jawa atau kota-kota besar. Mereka juga besar jumlahnya, dan hampir merata di seluruh Indonesia.Â
Semua partai masih berpotensi untuk mendapatkan suara dari grup ini, karena memenangkan hati milenial tidak bukan berarti menyasar hanya mereka yang tinggal di perkotaan. Tapi semua anak muda yang punya internet akses dan media sosial. Institut Indonesia Survei Ilmiah (LIPI) menunjukkan bahwa 60,6% generasi Z atau anak muda yang lahir pada tahun 1995-2005 mengakses berita terkait politik melalui media sosial. Jadi asumsi bahwa partai politik dengan penguasaan konten media sosial yang baik berpotensi untuk menang.
Dalam jajak pendapat Indikator Politik, sejumlah pemimpin politik muncul sebagai calon presiden terdepan. Mereka antara lain Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Menteri Pariwisata Sandiaga Uno. Partai oposisi Gerindra dan Partai Demokrasi Perjuangan (PDI-P) yang berkuasa memimpin daftar partai politik dengan selisih yang cukup lebar.
sistem dan budaya politik Indonesia lebih menekankan pada tokoh dan pemimpin daripada loyalitas kepada partai politik tertentu. sikap ini mungkin lebih terlihat di kalangan anak muda daripada masyarakat umum.
Berbeda dengan negara-negara seperti Amerika Serikat (AS),Dalam beberapa jajak pendapat nasional yang mensurvei masyarakat umum, baik Gerindra maupun Prabowo sama-sama difavoritkan pada 2024.
Sebuah studi tahun 2018 oleh ilmuwan politik Dirk Tomsa di La Trobe University, Australia, dan Charlotte Setijadi di Singapore Management University menunjukkan tren person-over-party ini mungkin disebabkan oleh peningkatan aktivisme politik "berpusat pada kepribadian" yang diprakarsai oleh kaum muda dalam dekade terakhir. "Menggunakan Pilgub Jakarta 2012 yang melibatkan Jokowi (sekarang presiden) dan Ahok (mantan gubernur) sebagai titik awal studi", mereka mengamati munculnya kelompok-kelompok sukarelawan yang dipimpin oleh pemuda, Sepertinya ada bentuk baru gerakan pemuda yang lebih condong ke figur ketimbang partai.
Namun, partisipasi politik kaum milenial tidak boleh musiman. Milenial perlu bekerja lebih keras dan terus-menerus membenamkan diri dalam proses politik. Perdebatan seputar politik Indonesia seharusnya tidak hanya berkisar pada kepribadian para kandidat selama musim pemilu, tetapi lebih penting lagi, elemen demokrasi yang rentan terhadap ancaman, seperti kontrol penyalahgunaan kekuasaan, transparansi, dan toleransi politik.
Gerakan semacam ini mengambil alih fungsi partai politik seperti mobilisasi massa dan penggalangan dana. Selain itu, anak muda mungkin sudah bosan dengan tokoh politik veteran seperti Prabowo, Mereka sekarang mungkin mencari kandidat dengan rekam jejak pelayanan publik yang baik, bukan sekadar popularitas.Â