Islamisasi melalui jalur ekonomi pada saat penjajahan sangat masif contohnya saja pada saat sedang melakukan transaksi atau perdagangan, seperti teori yang paling populer yakni teori gujarat.  Pada masa penjajahan pedagang muslim merasa bahwasannya mereka diperlakukan secara tidak adil oleh Penjajah. Hal tersebut dikarenakan pedagang China pada saat itu memiliki hak lebih luas dan status lebih tinggi dibanding pengusaha pribumi. Di sisi lain, Kolonial Belanda yang berkuasa pada saat itu selalu membuat kebijakan-kebijakan yang merugikan pedagang pribumi muslim. Dalam rangka menandingi kekuatan pedagang  China Kyai Haji Samanhudi mendirikan suatu Organisasi yang ia namakan Sarekat Dagang Islam. Organisasi ini menghimpun pedagang-pedagang Islam yang menentang masuknya pedagang asing untuk menguasai ekonomi rakyat pada masa itu (Pramono:2017).Â
Pembentukan SDI sebagai sebuah organisasi tidak lepas dari campur tangan pemikiran Pan-Islamisme. Hal tersebut diperkuat dengan terlibatnya Ahmad dan Said Ba Junayd sebagai lulusan Istanbul yang kembali ke Indonesia pada Mei 1907. Keduanya adalah seorang pedagang  Hadrami di Hindia Belanda yang sering bolak-balik Jawa- Istanbul-Damaskus-Beirut-Mesir yang menyebabkan mereka menguasai banyak bahasa seperti Bahasa Inggris, Francis, Turki, Arab dan Melayu. Disaat organisasi islam mulai bermunculan Ahmad dan Said ikut serta dalam membantu perkembangannya.Â
Salah satu orang yang bekerja sama dengan Ahmad dan Said Ba Junayd adalah Raden Mas Tirto Adhie Soerjo, beliau termasuk golongan priyayi yang lahir di Blora dan pernah menyam pendidikan di STOVIA. Beliau juga adalah salah seorang penggerak Islam "nasionalis" dan jurnalistik di Hindia-Belanda. Sebelumnya dijelaskan bahwasanya pendidikan yang diterima adalah pendidikan dengan gaya pemikiran barat tetapi beliau ini banyak mendapatkan juga pandanya dari  Ahmad B Junayd tentang pandangan islam dari sudut pandang pemerintahan usmani karena bersekolah di Istanbul. Disisi lain akibat dukungan moral oleh Ahmad dan Said Ba Junayd akhirnya Tirto diberikan dukungan untuk berkecimpung dalam dunia jurnalistik dengan didirikannya Medan Prijaji, Soeloeh Keadilan, dan Poetri Hindia. la juga didaulat untuk menjadi editor di koran Militair Djawa, Pewarta S.S. (Staats Spoor), Sri PaSundan, dan Pantjaran Warta (Pandawa:2021).
Prinsip yang melekat pada pemikiran  Ahmad dan Sa'd B Junayd terkait dengan islam dan perdagangannya sebagai guru agama dari Tirto yang membuat mereka bersepakat untuk mereka bersepakat membentuk Sjarikat Dagang Islamijah di Buitenzorg. Dalam sebuah pertemuan pada tanggal 27 Maret 1909, struktur kepengurusan Sjarikat Dagang Islamijah dibentuk, dengan menunjuk Ahmad B Junayd sebagai presiden, Mohammad Dagrim, seorang dokter Jawa, sebagai wakil presiden, Sa'id B Junayd sebagai bendahara, dan Tirto sebagai sekretaris dan penasihat Sjarikat Dagang Islamijah. Ahmad B Junayd menyediakan 500 gulden untuk membantu kelompok tersebut, diikuti dengan kontribusi dari anggota Arab dan anggota lainnya, yang pada akhirnya mencapai 1.000 gulden yang terkumpul (Toer,1985).
Sjarikat Dagang Islamijah, yang didirikan oleh Tirto dan beberapa orang Arab, didirikan untuk melayani "kepentingan umat Islam di Hindia Belanda," khususnya terkait perdagangan yang diprakarsai oleh "para pedagang kita, komunitas Muslim di Hindia." Tujuan Sjarikat Dagang Islamijah, yang terbatas pada "bangsa Islam di Hindia," melambangkan esensi persatuan Islam yang didirikan organisasi ini semata-mata dalam batasan-batasan kolonial Belanda, yang disebut sebagai "nasionalisme agama". Namun, masalah-masalah yang kompleks dengan cepat menghadang administrasi Sjarikat Dagang Islamijah yang baru lahir. Pemerintah kolonial Belanda sangat khawatir dengan partisipasi B Junayd bersaudara, Ahmad dan Sa'id, dalam administrasi Sjarikat, yang keduanya adalah alumni sekolah 'Usmniyyah. Pemerintah Kolonial segera membekukan Sjarikat Islamijah, karena menganggapnya sebagai perpanjangan tangan dari Pan-Islamisme Kekhalifahan 'Usmniyyah dan mengutip larangan asosiasi antara kelas pribumi (inlander) dan "orang asing" Arab (vreemde oosterlingen) (Pandawa:2021).Â
Akibat dari kemuakan Ahmad dan Sa'id B Junayd dengan tindakan belanda tersebut akhirnya mereka memutuskan untuk datang ke pergi ke Istanbul untuk mengubah kewarganegaraan. Hal tersebut supaya memudahkan jalur gerak mereka karena berkedudukan sebagai orang Eropa. Hanya saja pengajuan mereka ini ditolak mentah-mentah oleh Den Haag melalui konsul Belanda di stanbul, Van der Does de Willebois (Schmidt:2003). Sikap Pemerintah Belanda ini tidak diragukan lagi memperkuat tekad Tirto. Ia menegaskan bahwa Ahmad B Junayd dan saudaranya, Sa'id B Junayd, memiliki keakraban yang lebih besar dengan dunia Barat karena pendidikan dan kemahiran mereka dalam bahasa Eropa. Pada saat yang sama, sebagaimana dilaporkan oleh Tirto, permohonan Khouw Oen Hoei, seorang mantan perwira Tionghoa, untuk mendapatkan kewarganegaraan Eropa di Hindia Belanda disetujui oleh Gubernur Jenderal, meskipun ia tidak memiliki kemampuan berbahasa Eropa  (Pandawa:2021).
Bukan hanya itu pada tahun 1910, Ahmad B Junayd dan istrinya Fahire Hanim yang ingin kembali ke Hindia Belanda, menghadapi berbagai tantangan terkait situasi paspor Belanda dan dicurigai konsul Belanda di Istanbul kalau ia dan rekan Turki-nya yakni Kemal Bey, bersekongkol untuk menghasut untuk mengacaukan kalangan orang Arab, Tionghoa Belanda-Indonesia, dan serdadu kolonial pribumi. Selanjutnya Sa'id B Junayd tinggal di Istanbul hingga tahun 1911, namun ketika Pemerintah Umniyyah memintanya untuk menjadi penerjemah bagi konsul Umniyyah yang baru saja diangkat di Batavia. Sa'id B Junayd diketahui telah pindah ke daerah Boyacky, ibu kota Kekhalifahan 'Usmniyyah.Â
Disisi lain Tirto, seorang alumnus Istanbul, menyampaikan ketidakpuasannya terhadap Pemerintah Kolonial Belanda yang menekan Sjarikat miliknya karena keikutsertaan keluarga B Junayd dalam organisasi tersebut. Kemudian Tirto menceritakan kejadian tersebut dalam korannya yang dikutip oleh Pandawa dalam bukunya seperti  "Waktoe Sjarikat Dagang Islamijah oleh kita digerakkan," ujar Tirto, "Maka orang-orang pemerintah jang berpengaroch, baik di Hindia baik di Nederland, soedah berteriak, bahwa Sjarikat ini adalah uiting-nya (pengejawantahan, pen.) Pan- Islamisme." Tuduhan seperti itu, bagi Tirto, hanya akan menghambat "gerakan jang bermaksoed baik pada pedagang kita itoe".Â
Artikel berikutnya yang ditulis oleh Tirto dengan judul "Toerki Pada Masa Ini" yang dikutip lebih lanjut pada buku yang ditulis oleh Pandawa menjelaskan dan mempertegas posisinya untuk membela belanda pada saat itu dengan mengemukakan narasi yang cenderung lebih sepakat kepada Sultan Mehmet V Reat yang berhasil menggulingkan Pemerintahan Sultan Abdlhamit. Kemudian dari tulisan ini menyarankan kepada Belanda untuk bersikap lebih baik kepada orang muslim utama para pedagang jangan sampai bersaing dengan Pemerintahan 'Umniyyah. Jika Sultan di stanbul lebih memperhatikan kaum Muslim di Hindia-Belanda, menurut Tirto, maka Pax-Neerlandica akan dikalahkan oleh Pan-Islamisme 'Umniyyah.
Referensi
Pandawa, N. (2021). Khilfah dan ketakutan penjajah Belanda: riwayat Pan-Islamisme dari Istanbul sampai Batavia, 1882-1928. Komunitas Literasi Islam.