Terbitnya Instruksi Mendagri No.53 Tahun 2021 Tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 3, Level 2, dan Level 1 COVID-19 di Wilayah Jawa dan Bali menuai kontroversi bagi sebagian masyarakat. Hal ini dikarenakan adanya syarat wajib tes PCR (polymerase chain reaction) yang terdapat pada poin p dengan bunyi sebagai berikut:
pelaku perjalanan domestik yang menggunakan mobil pribadi, sepeda motor dan transportasi umum jarak jauh (pesawat udara, bis, kapal laut dan kereta api) harus:Â 1) menunjukkan kartu vaksin (minimal vaksinasi dosis pertama);Â 2) menunjukkan PCR (H-2) untuk pesawat udara serta Antigen (H-1) untuk moda transportasi mobil pribadi, sepeda motor, bis, kereta api dan kapal laut;Â
Aturan tersebut kian menjadi topik hangat yang ramai diperbincangkan warga di jagat daring. Banyak yang menyuarakan pendapatnya tentang kebijakan baru tersebut. Sebagian beranggapan telah memenuhi syarat vaksin dosis kedua. Lalu PPKM turun level 2, syarat terbang kok makin sulit dan lain sebagainya.
Pemerintah pasti mempunyai dasar yang kuat dengan diberlakukannya aturan PCR meskipun di beberapa daerah mengalami penurunan kasus dan ada yang turun ke level 1. Alih-alih keberpihakan dengan moda transportasi udara dengan mengizinkan keterisian kapasitas penumpang maksimal 100%. Menurut saya, alasan ini kurang logis dikarenakan sebelum adanya aturan ini, seat distancing tidak diberlakukan ketat oleh beberapa maskapai. Saya terbang dengan maskapai X di Bulan April 2021 dengan rute penerbangan YIA - KNO -CGK. Saat itu, pesawat penuh dengan penumpang sehingga tidak ada kursi berjarak. Lalu saya pikir tidak ada korelasi yang sinkron diantara tes PCR dan okupansi pesawat. Lagipula dengan penerapan syarat PCR tidak mengurangi risiko penularan tetapi hanya menyaring siapa yang tidak terpapar untuk dapat terbang.Â
Padahal jika dibandingkan transportasi lain, pesawat justru mempunyai filter udara HEPA (high efficiency particulate air) yang fungsinya untuk menjaga kualitas udara agar tetap bersih. Selain itu, penelitian US CDC (Centers for Disease Control) menyatakan filter HEPA dapat mengurangi penularan COVID-19 di dalam ruangan terlebih jika dikombinasikan dengan penggunaan masker dapat mengurangi paparan aerosol hingga mencapai 90%.
Pada kenyataannya, regulasi ini memberatkan pengguna transportasi udara. Pertama dari sisi harga tes PCR yang relatif mahal. Biaya tes rapid-PCR berkisar Rp400 ribuan sama dengan harga tiket penerbangan Jakarta ke Surabaya. Hal ini sangat memberatkan penumpang, apalagi untuk kelas menengah ke bawah. Kedua, layanan PCR membutuhkan hasil diagnosa yang cukup lama. Di beberapa daerah bahkan masih terbatas terkecuali di kota besar. Adapun yang hasilnya cepat alias same day tarifnya di atas Rp 1 juta. Sangat mahal sekali.
Publik memilih transportasi pesawat untuk menjangkau jarak dan mempersingkat waktu tempuh. Berubah-ubahnya peraturan yang diterapkan pemerintah membuat eksekusi di lapangan tidak sinkron satu sama lain. Saya mendapat informasi otoritas Bandara Internasional Ngurah Rai Bali masih memberlakukan tes antigen sampai dengan hari ini (23-11-2021) dan akan memberlakukan penyesuaian mulai esok hari. Efek lainnya adalah maskapai mengubah jadwal dan memutar cara agar penumpang tetap terbang. Kemarin saya mendapat pemberitahuan cancel dan perubahan jadwal penerbangan ke Bali di Bulan November. Mau terbang meski harus mikir dua kali. Pilihannya hanya dua yakni terbang dengan additional cost atau batal terbang. Pada akhirnya pengguna pesawat terbang mempunyai keputusan untuk mengubah jadwal, mengajukan refund, dan tak sedikit pula yang membatalkan penerbangan mereka.
Akibat pembatalan penerbangan tersebut tentu berkaitan pada sektor pariwisata. Salah satu sektor yang paling terdampak dan masih kembang kempis menghadapi pandemi. Kita bisa menengok lebih lanjut destinasi pariwisata tersohor negeri ini. Bali masih sepi dan nyaris mati suri. Seminggu lalu, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mempromosikan agar masyarakat ke(m)Bali untuk memacu pariwisata Bali kian pulih. Sebelumnya pula, pegawai pemerintahan dan BUMN disarankan untuk bekerja dari Bali. Terakhir dibukanya penerbangan internasional dengan daftar 19 negara terpilih dengan angka positivity rate yang rendah diharapkan menyuluh geliat kebangkitan dunia pariwisata Indonesia.
Ya, pariwisata dibangkitkan. Sebuah keharusan memang. Sebab pelaku wisata dan ekonomi kreatif sangat membutuhkan denyut ekonomi agar hidup normal kembali. Mengais pundi-pundi rupiah dari para wisatawan untuk kehidupan yang layak. Lantas sekarang, masyarakat kudu nerimo dengan labilnya aturan pemerintah dengan syarat yang terbilang mahal. Saya pikir tidak semua pengguna transportasi udara adalah orang kelas menengah ke atas. Kelompok menengah ke bawah juga berhak dan memiliki kepentingan untuk dapat menggunakan moda ini.Â