Mohon tunggu...
Humaniora

Miskin Kultural: Polemik Budaya dan Masalah di Situbondo

24 Desember 2015   21:37 Diperbarui: 24 Desember 2015   21:49 1073
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kemiskinan merupakan salah satu dari berbagai masalah yang diusahakan penyelesaiannya di Indonesia. Dikutip dari surya.co.id 2014, Jawa Timur menjadi salah satu provinsi yang gencar melaksanakan pengentasan kemiskinan. Pada tahun 2009, angka kemiskinan di Jawa Timur mencapai 16,68%, sedangkan pada tahun 2014, angka kemiskinan merosot cukup tajam menjadi 12,28%. Namun, angka tersebut bukan jaminan bahwa masalah kemiskinan di Jawa Timur telah teratasi. Ironinya, pengentasan kemiskinan belum merata di wilayah Jawa Timur, terdapat beberapa wilayah yang belum tersentuh oleh upaya pemerintah dalam menanganinya.

Kabupaten Situbondo, salah satu wilayah di Jawa Timur yang berpredikat sebagai  kabupaten dengan tingkat kemiskinan tinggi. Ini sebenarnya merupakan wilayah yang cukup strategis, berbatasan dengan Selat Madura di sebelah utara, Kabupaten Bondowoso dan Banyuwangi di sebelah selatan, Kabupaten Probolinggo di sebelah barat, serta Selat Bali di sebelah Timur. Dijuluki sebagai “Kota Kecil” dengan luas wilayah sekitar 1.669,87 Km2, serta terbagi dalam 17 Kecamatan, 4 Kelurahan dan 132 desa. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Situbondo tahun 2014, jumlah penduduk kabupaten Situbondo tercatat 665.818 jiwa.

Bila ditinjau dari angka kemiskinan, Dadang Wigiarto selaku Bupati Situbondo menyatakan bahwa prosentase penduduk miskin dapat dikatakan menurun. Pada tahun 2009, terdapat sekitar 15% penduduk miskin. Tahun 2010 naik menjadi 16,23%, kemudian disusul tahun 2011 turun menjadi 15,10%, pada tahun 2012 serta 2013 turun bertahap yakni 14,24% dan 13,79%. Hal yang dikemukakan Bupati Situbondo justru merupaka kontradiksi dengan data BPS Jawa Timur yang melabeli Kabupaten Situbondo sebagai daerah yang belum teratasi kemiskinannya.

Fakta mengenai kemiskinan yang terjadi di masyarakat Situbondo dipengaruhi oleh faktor budaya masyarakat setempat. Masyarakat Kabupaten Situbondo memiliki kecenderungan mengutamakan nilai-nilai tradisional, tidak terkecuali masalah ekonomi. Gubernur Jawa Timur, Soekarwo mengungkapkan bahwa Masyarakat Situbondo hanya miskin secara kultural, yakni kemiskinan yang muncul akibat faktor budaya atau mental masyarakat yang mendorong untuk hidup miskin, seperti perilaku malas bekerja, rendahnya kreativitas, atau tidak adanya keinginan untuk maju. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat di Situbondo belum memiliki etos kerja yang tinggi.

Sebagai contoh, sebagian masyarakat Situbondo puas bekerja hanya dengan mendapatkan upah berkisar Rp20.000; sampai Rp25.000; per hari sebagai buruh tani. Menurut pendapat mereka, asal dapat memenuhi kebutuhan pangannya pada hari itu, tak jadi masalah. Selanjutnya, mereka tidak memikirkan hari esok, apalagi untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti pendidikan atau dana cadangan untuk kesehatan serta kebutuhan lainnya di luar kebutuhan primer.

Pada dasarnya, Kabupaten Situbondo memiliki potensi yang luar biasa pada sektor pertanian dan sektor kelautan. Mayoritas penduduk di Kabupaten Situbondo pun bermatapencaharian sebagai petani dan nelayan. Namun,  baik petani maupun nelayan belum berinisiatif untuk menggali lebih lanjut pemberdayaan hasil kelola pertanian maupun kelautan tersebut. Hal ini terkait dengan tingkat intelektualitas masyarakat yang rendah. Ketidaksanggupan orang tua untuk membiayai pendidikan anaknya menjadi alasan yang paling sering diungkapkan. Sumardi (45), yang berprofesi sebagai buruh tani ringan mengatakan, “Toh, anak saya nantinya akan jadi petani seperti saya”.

Dalam upaya pengentasan kemiskinan, Pemerintah Kabupaten Situbondo telah memberikan perhatian yang cukup pada masyarakat sesuai dengan karakteristik daerah. Salah satunya program Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang memberi kemudahan bagi masyarakat Situbondo dalam menekuni usahanya, dimulai dari tahap produksi hingga proses pengemasan suatu barang atau makanan. Namun, hal tersebut belum memumpuni dalam mengatasi masalah kemiskinan kultural di Situbondo. Selama ini, program kebijakan pemerintah hanya berorientasi pada aspek ekonomi, tentang bagaimana penduduk setempat mendapat pekerjaan dan mengurangi pengangguran.

Dibutuhkan strategi terukur dan terencana sebab sasaran yang dituju dalam penanganan kemiskinan kultural adalah faktor budaya masyarakat setempat. Tentunya, hal tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama. Seperti yang telah diketahui, budaya telah mengakar kuat pada masyarakat serta mengalami proses pewarisan antar genersi. Hal tersebut merupakan tantangan nyata yang harus dihadapi oleh pemerintah.

Diperlukannya strategi dalam rangka mengembangkan intelegensi serta pembentukan karakter yang bertujuan untuk memberikan kesadaran kritis tentang kemiskinan serta motivasi pada masyarakat untuk lebih produktif, memiliki semangat kerja keras, inovatif, serta pantang menyerah. Agar program pemerintah dapat berjalan dengan baik, diperlukan pula partisipasi dari masyarakat Situbondo pada khususnya. Bila pemerintah serta masyarakat dapat membangun hubungan yang padu, dapat dipastikan beberapa tahun mendatang, Indonesia akan sejahtera. Sebab langkah awal perubahan besar dimulai dari gebrakan kecil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun