Terhitung sejak tanggal 22 Juni 2013, pemerintah benar-benar merealisasikan janji pahitnya untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Tidak tanggung-tanggung, BBM jenis premium yang awalnya seharga Rp 4.500/liter dinaikkan menjadi Rp 6.500/liter. Kenaikan sebesar Rp 2.000 ini dijanjikan oleh pemerintah akan diganti dengan pemberian dana Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) kepada rakyat yang kurang mampu. Sebelumnya, pemerintah beralasan bahwa selama ini subsidi BBM terlalu membebani APBN, dan digunakan tidak tepat sasaran. Sehingga akhirnya diputuskanlah kebijakan untuk menghapuskan subsidi BBM dan digantikan dengan BLSM, yang diklaim penyalurannya akan lebih tepat sasaran.
Program BLSM merupakan program kompensasi atas kenaikan harga BBM, yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyat miskin. Anggaran untuk BLSM ini adalah sebesar Rp 9,3 triliun dan diberikan kepada 15,5 juta rumah tangga sasaran (RTS). Setiap rumah tangga mendapatkan Rp 150.000 per bulan, selama empat bulan. Namun, benarkah BLSM menjadi solusi yang terbaik bagi rakyat?
Fakta di lapang menunjukkan, di berbagai tempat, ternyata penyaluran BLSM ini berjalan kurang mulus. Masih ada sebagian masyarakat yang protes karena merasa penyaluran BLSM tidak tepat sasaran. Seperti diungkapkan oleh salah seorang Bendahara Kelurahan di Solo yang mengurusi BLSM. Menurutnya, pendataan penerima BLSM asal-asalan karena terbukti banyak yang salah sasaran. Banyak warganya yang termasuk miskin tapi tidak mendapatkan BLSM. (tempo.co, 25/6). Penyaluran BLSM juga menuai protes di Banyumas Jawa Tengah, lantaran ada salah seorang warga miskin yang tidak menerima jatah padahal kondisinya memprihatinkan. (metrotvnews.com, 25/6).
Selain itu, sejumlah Kepala Desa di Bandung bahkan menolak menyalurkan BLSM karena dinilai tidak bisa memberikan solusi atas kondisi kemiskinan masyarakat saat ini. (tribunnews.com, 23/6). Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin, yang mengaku kecewa dengan langkah pemerintah memberikan BLSM. Menurut Din, program tersebut tidak dapat mengentaskan penderitaan masyarakat miskin. (okezone.com, 24/6).
Itulah sedikit gambaran bahwa ternyata program BLSM masih belum mampu menyelesaikan masalah kemiskinan di negeri ini. Apalagi anggaran senilai Rp 27,9 triliun yang diberikan pemerintah untuk program kompensasi ini, masih jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan cicilan bunga utang yang rencananya akan dibayar tahun ini sebesar Rp 113,24 triliun. Jika selama ini sering dikeluhkan bahwa APBN banyak terbebani oleh subsidi BBM, maka tidakkah pemerintah terpikir bahwa utang lah yang jauh lebih membebani APBN?
Seperti yang diungkapkan oleh anggota Komisi III DPR, Bambang Soesatyo, beban cicilan pokok dan bunga utang luar negeri dan dalam negeri alokasinya mencapai 25 persen dari total APBN. Sedangkan besaran subsidi BBM di APBN 2013 hanya sekitar 12 persen dari total APBN. Dan yang sangat disayangkan, meskipun subsidi BBM sudah dikurangi, pemerintah berencana akan menambah utang baru sebesar Rp 390 triliun tahun ini. (koran-jakarta.com, 17/6).
Hal ini benar-benar membuktikan bahwa pemerintah rupanya belum bisa berlepas diri dari utang. Bahkan, demi memenuhi utang tersebut, pemerintah rela mencabut subsidi rakyatnya sendiri. Pemerintah lebih mengutamakan pengabdiannya kepada Barat, daripada pengabdiannya kepada rakyat. Pemerintah justru menjadikan rakyatnya sebagai pengemis BLSM, yang itupun hanya diberikan selama empat bulan. Lantas, setelah empat bulan terlewati, bagaimana nasib rakyat selanjutnya? Mungkin rakyat akan diiming-iming lagi dengan bantuan kompensasi lainnya. Atau bahkan mungkin rakyat akan dijanjikan penurunan harga BBM, sebagai pencitraan partai yang berkuasa agar terpilih kembali di pemilu tahun depan.
Demokrasi Merampas Hak Rakyat
BBM merupakan salah satu hasil dari kekayaan alam berupa minyak dan gas (migas). Kekayaan alam inilah yang seharusnya menjadi aset negara untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Sebagaimana yang tercantum di dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 33 ayat 3, yang berbunyi: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Pasal tersebut menunjukkan bahwa seluruh kekayaan alam di negeri ini, termasuk BBM, seharusnya menjadi hak setiap rakyat. Jika aturan ini benar-benar dilaksanakan, maka jumlah rakyat miskin pasti bisa dikurangi. Namun, kenyataannya ternyata tidak demikian. Karena sebenarnya pasal-pasal yang tertulis dalam UUD 1945 tersebut hanyalah kumpulan teori ideal yang dijadikan formalitas belaka, dan tidak pernah ada realisasinya.
Buktinya, angka kemiskinan di negeri ini masih tergolong cukup tinggi. Pada tahun 2013 diprediksi angka kemiskinan di Indonesia mencapai 26,250 juta jiwa atau sekitar 10,5 persen dari jumlah rakyat secara keseluruhan. (kompas.com, 27/5). Pemerintah sendiri bahkan mengakui salah urus dalam mengelola potensi kekayaan alam negara. Hal ini diakui oleh Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Susilo Siswo Utomo, bahwa kesuksesan ekspor kekayaan alam Indonesia belum mampu menyejahterakan rakyat. (merdeka.com, 25/6).
Apalagi dengan kenaikan harga BBM, menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Armida Alisjahbana, diperkirakan jumlah orang miskin tahun ini akan naik 1,6 persen menjadi 12,1 persen atau sekitar 30,250 juta jiwa. Sehingga jumlah orang miskin baru akibat kenaikan harga BBM mencapai 4 juta jiwa. (kompas.com, 27/5).
Kondisi ini tentunya tidak akan terjadi jika pemerintah benar-benar mengalokasikan hasil dari pengolahan sumber daya alam tersebut untuk kepentingan rakyat. Karena selama ini, ternyata migas Indonesia justru dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing, seperti British Petroleum (BP), Chevron, Freeport McMoran, Newmont, ConocoPhilips, ExxonMobil, PT Heng Fung Mining Indonesia, Petro China, Total E&P Indonesie, Eramet, Canadian International Development Agency (CIDA), Sheritt International, Vale, dan lain-lain.
Keberpihakan pemerintah kepada perusahaan-perusahaan asing ini, bukanlah semata akibat keterbatasan sumber daya manusia yang dimiliki oleh negeri ini. Karena pada faktanya banyak ilmuwan yang ditelurkan dari berbagai perguruan tinggi yang tersebar di Indonesia. Sehingga, sejatinya campur tangan asing dalam mengelola sumber daya alam Indonesia ini lebih disebabkan oleh sistem Kapitalisme yang memang memberikan peluang sebesar-besarnya bagi pemilik modal untuk berkuasa. Hal ini diperkuat dengan diterapkannya sistem Demokrasi yang di dalamnya menjamin empat kebebasan, di mana salah satunya adalah kebebasan berkepemilikan. Kebebasan ini menjadi celah bagi perusahaan asing yang memang memiliki modal lebih besar, untuk menguasai sumber daya alam di Indonesia. Apalagi dengan disahkannya Undang-Undnag Penanaman Modal Asing (UU PMA), maka semakin memperkokoh cengkraman asing di negeri yang berdaulat ini.
BBM Murah Hanya Dengan Khilafah
Sistem Kapitalisme Demokrasi telah terbukti gagal dalam menjamin kesejahteraan bagi rakyat. Karena sistem ini hanya berorientasi pada keuntungan materi sebesar-besarnya. Sehingga wajar jika pemerintah lebih berpihak pada kepentingan asing yang memiliki modal besar, dan tidak lagi mempedulikan kepentingan rakyat. Akhirnya, BBM yang seharusnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kepentingan rakyat, justru diserahkan kepada perusahaan asing, dan dijual dengan harga yang tinggi kepada rakyat. Jadi, kenaikan harga BBM yang saat ini terjadi, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh sistem Kapitalisme Demokrasi.
Agar sumber daya alam benar-benar bisa menyejahterakan rakyat, maka pengelolaannya haruslah dikembalikan kepada negara, dan bukan diserahkan kepada swasta atau asing. Jika migas dikelola sendiri oleh negara, maka hasilnya akan mampu dinikmati oleh rakyat. Pengelolaan sumber daya alam oleh negara ini membutuhkan suatu sistem yang mampu mengatur, sehingga pendistribusiannya benar-benar adil dan tepat sasaran kepada rakyat. Namun, sistem tersebut pastinya bukanlah sistem yang berasal dari manusia. Karena jika sistem itu berasal dari manusia tentu akan memiliki tendensi pada kepentingan pihak tertentu yang merumuskan sistem. Maka, satu-satunya sistem yang menjamin keadilan bagi seluruh manusia adalah sistem yang berasal dari Pencipta manusia. Itulah sistem Syariah Islam yang hanya akan sempurna penerapannya jika didukung dengan adanya negara yang menerapkan, yaitu Khilafah Islamiyah.
Sistem Khilafah sudah pernah diterapkan dan bertahan selama kurang lebih 13 abad (1300 tahun). Saat itu, Khilafah mampu menjadi satu-satunya peradaban gemilang yang menguasai hampir 2/3 dunia, ketika Eropa sedang terpuruk dalam abad kegelapannya. Sistem ini juga telah terbukti mampu memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat yang hidup di dalamnya, yang terdiri dari berbagai macam golongan maupun agama. Dalam Khilafah, sumber daya alam merupakan milik umum sehingga tidak boleh dimiliki oleh individu atau pihak swasta. Kepemilikannya harus dikembalikan kepada negara dan hasil pengelolaannya diserahkan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah SAW. dalam sebuah hadits berikut.
“Manusia berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air, dan api.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Inilah sistem Khilafah, sistem ideal yang layak dipertimbangkan untuk dijadikan sistem alternatif pengganti sistem Kapitalisme Demokrasi yang telah terbukti kerusakannya. Dengan sistem Khilafah inilah, rakyat akan dicukupi kebutuhannya oleh negara. Sehingga rakyat bisa memperoleh BBM dengan harga yang murah bahkan gratis. Insyaallah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H